Sanggar Lintuyadi berawal dari kumpulan siswa SMU di wilayah Tentena yang membentuk kelompok diskusi dengan nama SDOC. Pada diskusi awal SDOC dengan tema pergeseran budaya, anak-anak SDOC menginisiasi terbentuknya sebuah sanggar yang berfungsi untuk ruang diskusi tentang bagaimana mereka memandang masa depan pasca konflik yang sarat dengan ingatan yang traumatik dan saat yang sama didesak berhadapan dengan modernitas yang mengeksploitasi mereka. Sanggar ini kemudian diberi nama Sanggar Lintuyadi. Lintuyadi merupakan nama salah seorang anak perempuan dalam kisah budaya Poso yang memiliki peranan penting dalam membantu keluarganya menjalani masa transisi kebudayaan. Menurut mereka Sanggar ini akan membantu mereka untuk mengembangkan budaya yang menempatkan anak-anak potensial terus berkembang sehingga memampukan mereka berhadapan dengan teknologi (televisi, handphone, internet) yang menjebak mereka pada perilaku negatif. Mereka juga berharap bisa bertemu dengan kawan-kawan lain seusia mereka di sanggar ini yang berbeda agama dan suku sehingga bisa berperan dalam menata masa depan generasi mereka yang baik.
Saat ini anggota Sanggar Lintuyadi telah terdiri dari 27 siswa SMP dan SMU dan masih terus bertambah. Bersekretariat di rumah MOSINTUWU, sanggar ini mengelola perpustakaan SOPHIA dan melakukan pengembangan bakat dan ketrampilan yang sekaligus merupakan terapi trauma healing melalui teater.
Sebagai sebuah sanggar yang baru, masih terdapat berbagai pembenahan yang dilakukan sendiri oleh para anggota sanggar, misalnya kesepakatan untuk belajar mendengarkan dan mendiskusikan hal penting bagi pengembangan kepribadian mereka. Hal lain yang juga masih sedang diusahakan oleh seluruh anggota sanggar yang masih sangat muda-muda ini adalah melibatkan sebanyak mungkin kawan mereka dari berbagai agama dan suku. Tapi setidaknya mereka sudah memulainya.