“Masa lalu adalah rumah kita” (Pramoedya Ananta Toer)
“Masa depan adalah milik mereka yang belum lahir” (Daniel Sparingga)
Anak-anak adalah sisi yang ironi. Terdapat ribuan anak yang tersebar di hampir seluruh Sulawesi yang mengalami konflik kekerasan di Poso. Mereka mengalami masa pengungsian, berjalan kaki menembus hutan berhari-hari bahkan minggu, tanpa makan dan minum yang memadai. Sebagian diantaranya melihat orangtuanya terbunuh, disiksa, ditembak, kehilangan kakak atau adik, rumah dibakar. Banyak diantaranya yang jatuh sakit parah dan akhirnya meninggal dunia. Dan, anak-anak memaknai peristiwa konflik dengan cara yang berbeda dengan orang dewasa. Dalam usianya yang sangat belia saat konflik kekerasan terjadi, anak-anak memaknainya dalam kesenyapan, polos, hitam putih. Ironisnya karena usia mereka pula anak-anak sering dianggap tidak mengetahui apa-apa. Kenyataannya, ingatan mereka sangat detail dan melekat, unik seringkali menggunakan bahasa orang dewasa. Hegemoni wacana tentang konflik Poso sebagai konflik agama menyeret mereka lebih dalam dan traumatis dalam kotak hitam putih. Tidak ter-temani, menderita sendirian.
gambar berikut hanya salah satunya:
Digambar oleh salah seorang anak (11 tahun) dalam mengekspresikan pesan kehidupan yang mereka pernah jalani dan maknai : rumah dibakar, penembakan di depan mata,pembunuhan,hutan, pengungsian,dikejar-kejar di wilayah pengungsian.
(gambar merupakan dokumentasi dari @Perempuan Poso)