Orang yang berempati tidak larut atau terhanyut dalam emosi/permasalahan klien/orang lain, sedangkan kalau dalam simpati kita ikut larut/terhanyut dengan masalah orang yang kita berikan layanan (konseling/pendampingan). Demikanlah pelatihan demi pelatihan membahas perbedaan simpati dan empati. Contoh yang sering dipakai adalah: kalau sedang mendengarkan cerita sedih, maka orang yang bersimpati akan ikut menangis, sedangkan yang berempati akan mampu menahan tangisnya. Maka kita sebagai peserta pelatihan akan dianjurkan untuk berempati, bukan bersimpati.
Sewaktu saya kuliah di psikologi dulu, demikian pula lah yang dijelaskan oleh dosen-dosen saya ketika membahas ketrampilan konseling. Waktu itu saya iya-iya saja. Saya pikir, kalau kita ikut merasa marah, kecewa, sedih, dll, sebagaimana yang dirasakan oleh klien, maka saya bukanlah psikolog atau konselor yang baik. Perasaan-perasaan itu dipercaya akan merusak objektivitas dalam profesi menolong orang lain. Berempati membantu kita dalam bersikap netral ketika menghadapi klien yang bermasalah. Sikap netral diharap dapat membantu kita tetap berpikir objektif dan membantu memfasilitasi pencarian solusi untuk klien bermasalah. Begitulah pandangan ilmu psikologi yang diajarkan pada siswa-siswanya. Jadi, kalau saya mendengar kisah sedih seorang klien dan saya merasa bahwa saya akan ikut merasa sedih, maka saya menyuruh diri saya untuk tidak ikut merasa sedih. “Jangan sedih! Nanti kamu tidak bisa bersikap netral dan berpikir objektif,” kata saya pada diri sendiri.
Lulus kuliah sebagai psikolog saya mulai menggiati kerja-kerja kemanusiaan dan bekerja di daerah-daerah bermasalah (konflik, pengungsian, kemiskinan). Cukup sering saya tidak mampu mempertahankan empati dan netralitas saya. Rasa sedih, kasihan, marah, kecewa, apatis, putus asa, dll muncul begitu saja dalam diri saya dan saya tak mampu membendungnya. Kisah seorang ibu yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang perut hamilnya berkali-kali ditendang oleh suaminya akan membuat saya ikut merasa sakit, menitikkan air mata dan gemuruh rasa marah dalam dada saya. Kisah seorang miskin yang sudah patah arang karena usahanya mencari bantuan ke mana-mana tidak berhasil untuk mencukupi sekedar kebutuhan makan anggota keluarganya akan membuat saya ikut merasa apatis. Kisah seorang perempuan korban perkosaan aparat keamanan akan membuat saya merasa takut dan benci melihat laki-laki aparat keamanan berseragam. Namun entah mengapa, saya tidak lalu merasa tidak kompeten atau gagal sebagai pendamping.
Saya tidak ingat pastinya kapan, di mana dan oleh siapa, saya mendengar sebuah paparan yang mengkritik tentang sikap netral. Jika saya simpulkan dengan kata-kata saya sendiri, dalam pekerjaan kemanusiaan, seseorang tidak bisa bersikap netral, karena dalam konteks ketimpangan relasi kekuasaan, opresi dan diskriminasi, maka pekerja kemanusiaan atau pendamping harus mengambil keputusan akan keberpihakan. Sikap netral adalah sikap yang tidak acuh terhadap konteks aktual, gagal memiliki akar untuk membentuk komitmen kemanusiaan. Sebuah pekerjaan disebut kemanusiaan karena keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan, kepada kelompok yang dimiskinkan, yang mengalami diskriminasi dan dibuat tak berdaya oleh pihak-pihak yang berkuasa dan menindas. Dari situlah saya menyadari bahwa selama ini saya tidak salah ketika saya mengambil sikap berpihak pada korban.
Di lain peristiwa adalah ketika saya membaca tulisan kritik terhadap aliran positivisme, sikap yang biasa diambil oleh para pelaku ilmu-ilmu eksak, di mana dalam konteks penelitian, subyek (peneliti) dituntut untuk objektif dan mengambil jarak terhadap permasalahan dan objek yang ditelitinya. Sikap objektif dikritik sebagai sikap yang dingin, kaku dan tidak manusiawi. Memandang diri peneliti sebagai subyek dan yang diteliti sebagai objek tidak dapat diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Lebih jauh lagi, penelitian yang menekankan nilai partisipatoris menuntut bahwa orang/masyarakat yang diteliti juga dijadikan subyek penelitian, bahkan pelaku aktif penelitian. Bahwa peneliti hidup di dalam, ikut melakukan praktek-praktek budaya dalam masyarakat, berinteraksi secara intensif dengan anggota masyarakat. Penelitian partisipatoris tidak terlalu mengambil pusing terhadap objektivitas data penelitian, melainkan lebih menekankan tentang kebermanfaatan hasil penelitian tersebut untuk masyarakat. Hahaha, aduh, bagaimana ya? Saya kok merasa senang sekali ada pandangan seperti ini?
Suatu waktu saya memfasilitasi workshop membangun kesepahaman dalam penanganan kasus berbasis gender untuk para aparat penegak hukum wilayah Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi). Waktu itu pesertanya adalah para jaksa. Dari hari pertama sampai terakhir saya mengamati diam-diam sikap resistensi mayoritas peserta, sampai suatu saat seorang jaksa perempuan dengan gemasnya bertanya, “Kami ini mau diminta apa sih? Kami kan harus bersikap adil. Berarti mau perempuan atau laki-laki pun kita harus adil dan sama-sama menuntut seberat mungkin untuk tindak pidana yang sama, kan?” Jadi, ketika seorang istri korban kekerasan membunuh suaminya karena setelah bertahun-tahun menerima segala macam bentuk kekerasan dari suaminya harus dikenakan tuntutan pidana sama beratnya dengan ketika seorang suami membunuh istrinya karena cemburu, misalnya.
Di kesempatan lain, saya memfasilitasi workshop membangun kerja terintegrasi berbasis komunitas untuk perempuan korban kekerasan di Aceh. Pesertanya adalah tokoh-tokoh kunci dalam komunitas. Dalam suatu sesi roleplay penanganan kasus, si kepala desa menjatuhkan sanksi adat berupa uang sebesar Rp 500.000,- tiap bulan selama tiga tahun kepada suami (pelaku KDRT-Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang harus dibayarkan pada istrinya dalam kasus penelantaran ekonomi dan perselingkuhan. Anak si pelaku dan korban ada dua anak dan masih berusia balita dan 5 tahun (kalau saya tidak salah ingat) dan pengasuhan anak diberikan pada si ibu, sementara si suami sudah hidup dengan istri barunya.
Setelah roleplay, si kepala desa tersebut menerima pertanyaan dari peserta lain mengenai hukuman yang dinilai terlalu ringan itu. Si kepala desa beralasan bahwa demi keadilan maka sebaiknya sanksi tidak terlalu berat sehingga pelaku bisa memenuhinya. Menurutnya, sanksi uang pengasuhan selama tiga tahun sudah cukup. Kepala desa tersebut tidak memperhitungkan tanggung jawab pelaku sebagai ayah kepada anak-anaknya di tahun-tahun setelah tiga tahun tersebut. Kepala desa juga lupa untuk menetapkan mekanisme pengawasan untuk memastikan pelaku membayar denda tersebut, mungkin karena dia tidak tahu bahwa sudah terlalu banyak kasus terjadi di mana pelaku yang dikenakan sanksi lalu ingkar dan kabur begitu saja dari tanggung jawabnya.
Itukah keadilan? Keadilan seperti yang dipahami oleh para jaksa dan kepala desa itu yang berusaha bersikap netral apa pun kasusnya? Sebuta itukah keadilan? Tidak bolehkah keadilan memiliki perasaan? Kalau saya kembali pada pertanyaan tentang empati dan simpati: apakah dalam empati saya harus membutakan mata saya pada penghayatan emosional korban dengan berusaha untuk memblokade perasaan-perasaanku yang timbul karena pengalaman korban? Memangnya kenapa kalau perasaan-perasaan itu timbul? Apakah itu lalu langsung berarti bahwa saya tidak akan mampu berpikir jernih ketika memfasilitasi pengambilan keputusan bersama korban?
Saya menolak pandangan bahwa kalau kita bersimpati maka kita akan gagal berpikir jernih. Pertama, merasa adalah hal yang manusiawi dan gagal merasa berarti gagal menjadi manusia. Mampu merasakan secara alami hal yang dirasakan oleh orang lain akan memperkaya pengalaman emosional kita sendiri. Malahan manusiawi juga kalau kita mampu mengakui dengan jujur pada klien/korban bahwa kita ikut merasa sedih dan ikut menitikkan air mata… Kenapa tidak?
Ingat film layar putih Avatar? Andaikan Jake Sully memilih bersikap “profesional” dalam tugasnya membujuk bangsa Na’vi untuk meninggalkan tanah mereka, maka Jake Sully tidak akan berakhir sebagai pembela bagi Na’vi melawan kaumnya sendiri yang ingin membabat habis bangsa Na’vi dengan kekuatan militer agar bisa bebas mendulang unobtanium. Bahkan Grace sekalipun, peneliti senior yang mengepalai tugas untuk mendekati dan bernegosiasi dengan bangsa Na’vi, yang sikapnya ilmiah, dingin dan kaku, pada akhirnya mengambil sisi bersama bangsa Na’vi.
Kedua, tugas berikutnya bila kita sudah mampu bersikap manusiawi dengan ikut merasakan adalah: mengelola emosi yang sudah ada tersebut menjadi sesuatu yang produktif dan bermanfaat bagi klien/korban dan bagi diri kita sendiri. Justru di sinilah letak tantangan yang sebenarnya, tantangan yang datang dari diri kita sendiri. Ah, betapa kayanya dan mendewasakannya proses ini, sehingga rasanya pantas dijalani biarpun sulit. Dari waktu ke waktu saya berusaha melakukan refleksi hal-hal yang terkait dengan perasaanku, memaknainya, bagaimana saya mengelola perasaanku dan kemudian berujung pada suatu komitmen, sikap atau tindakan.
Terus terang, saya sempat merasa gemas dan marah pada bapak Kepala Desa yang di Aceh itu, dan di muka kelas saya sempat berdebat dengan agak keras (keras kepala, malahan). Untungnya kawan saya sesama fasilitator menengahi, lalu spontan saya mundur dari muka kelas dan mengamati situasi yang ada, mengamati proses di dalam diri saya sendiri. Saat break makan siang, saya makan satu meja dengan pak Kepala Desa itu dan kami berdua berbicara baik-baik dengan nada lebih santai. Saya jadi mendapat pemahaman bahwa bapak itu sebenarnya memiliki hati yang baik dan ikut prihatin dengan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayahnya. Mungkin dia belum paham saja konteks yang lebih mendalam dari isu ini dan bagaimana caranya bekerja dengan lebih adil tapi juga manusiawi. Selesai acara kami berdua berjabat tangan erat dan saling minta maaf. Mudah-mudahan tidak terlalu banyak kerusakan terjadi dengan hubungan kami berdua.
Ketiga, ketika pengalaman-pengalaman orang lain yang memiliki intensitas emosi yang kuat tapi saya gagal memahami dan mendalami perasaan dan pemaknaannya, di situlah justru saya harus waspada pada diri saya sendiri. Ada suatu “masalah” pada pendamping yang dalam psikologi dinamakan compassion fatigue (kelelahan kepedulian) dan burn out (kira-kira artinya terbakar habis, seperti lilin yang apinya mati karena diri si lilin habis terbakar) yang terjadi pada mereka yang bekerja untuk melayani/membantu/mendampingi orang lain akibat beban kerja yang sudah berlebihan (dalam banyak kasus juga karena beban ditambah oleh kurangnya dukungan psikologis dan sosial untuk pendamping sendiri).
Sumber daya yang saya punya selama ini kebanyakan dari “time-out” yang saya lakukan cukup sering. Soal time-out, saya akan membahasnya lebih mendalam di lain kesempatan. Menjadi “recycle-bin” bagi banyak orang lain tapi saya sendiri tidak memiliki orang lain yang bisa saya akses sebagai recycle-bin membuat saya memilih untuk sering-sering memakai time-out sebagai mekanisme pemulihan personal saya. Dan sekali lagi, saya memandangnya sebagai hal yang manusiawi. Bila saya terpapar pada pengalaman orang lain yang sangat sulit masalahnya, ikut merasakan, mendalami dan memaknai permasalahan mereka, berpihak pada mereka, maka manusiawi bila suatu waktu saya mengalami kedua hal itu (compassion fatigue dan burn out).
Sekali lagi, saya tetap tidak memilih sikap empati yang dingin dan tetap menggunakan sikap simpati, sehingga mau tak mau bila konsekuensi logisnya adalah compassion fatigue dan burn out, maka saya sudah memiliki mekanisme pemulihan saya sendiri. No problem. Saya sudah paham dan siap dengan konsekuensi itu. Yang penting bagi saya, saya tetap hidup sebagai manusia yang manusiawi, bekerja sebagai pekerja kemanusiaan yang manusiawi.
Rekan-rekan saya sesama psikolog yang tetap memakai empati, mungkin mudah bagi mereka melakukan itu, karena mereka tidak menemui situasi seperti yang saya alami. Mereka mungkin tidak pernah bertemu dengan para korban perkosaan dari peristiwa penyisiran aparat militer di desa yang sambil menyisir desa, mereka sambil memperkosa dan merusak organ-organ reproduksi perempuan di desa itu. Mereka mungkin tak pernah bertemu dengan para anggota keluarga korban penghilangan paksa yang setelah sekian lama menuntut kebenaran dan keadilan, kebenaran dan keadilan tidak kunjung datang. Mereka mungkin tak pernah bertemu para ibu yang anaknya diperkosa oleh ayahnya sendiri, atau oleh saudaranya sendiri. Mereka mungkin tidak pernah hidup bersama anak-anak korban kekerasan guru-guru mereka sendiri dan menyaksikan bagaimana anak-anak dilecehkan dan dikenakan hukuman fisik hari demi hari. Mereka mungkin duduk seharian di kantor atau ruang konsultasi mereka yang nyaman, menunggu klien datang. Atau mereka mungkin sehari-harinya bekerja menjadi konsultan atau orang personalia yang mengadakan psikotes untuk menentukan orang mana yang akan diterima bekerja di suatu perusahaan, mana yang akan dipecat karena kurang berprestasi. Mungkin memang sikap empati diperlukan untuk bisa bertahan hidup dalam kenyamanan dengan perasaan tetap nyaman. Well, saya bukan mereka…
Maguwoharjo, 7 Juli 2010