“Perempuan, imam perempuan adalah pihak yang terus berjuang melawan kebijakan kolonial hingga akhir hayat… Perlawanan sporadis yang dilakukan oleh pejuang Tana Poso perlahan-lahan mampu ditundukkan oleh Hindia Belanda hingga dibentuk Keresidenan Poso. Penundukkan ini diikuti oleh larangan-larangan melakukan kegiatan yang dianggap bertentangan atau melawan kehendak kolonial. Termasuk larangan Mowurake.
Mowurake adalah ritual kebudayaan spiritual yang dilakukan untuk memanggil roh pelindung alam semesta. Mowurake pada saat itu hanya dilakukan oleh imam perempuan. Perempuan sebagai imam dipercaya sebagai perantara spiritual antara manusia dengan Tuhan dan alam, untuk keseimbangan semesta. Meskipun Mowurake dilarang oleh Hindia Belanda namun imam perempuan tetap melakukannya meskipun secara sembunyi-sembunyi. Akibatnya, mereka diburu, dikejar, dicap sebagai tidak beradab. Penundukkan imam perempuan baru berhasil dilakukan tahun 1951. Saat itu Indonesia sudah diproklamirkan merdeka 7 tahun sebelumnya. Penundukkan ini dalam pengertian penghapusan ritual Mowurake, namun imam perempuan tetap menyimpannya dalam keyakinan. Jadi, kalau bisa dibilang ritual Mowurake boleh dibungkam, dihentikan tapi keyakinan tentang itu tetap dibawa hingga akhir hayat….
(diceritakan oleh Yustinus Hokey, budayawan Poso, kepada Perempuan Poso-LG. Dalam refleksinya, Nkai Tinus-panggilan akrabnya menjelaskan bahwa pembungkaman terhadap perempuan di Tana Poso dimulai dari penghapusan Mowurake, dimana perempuan memegang peranan penting)