Padungku, Hari Raya Panen di Poso

0
6407
Ituwu, cara memasak di dalam bambu dalam tradisi kuliner di Poso. Foto : Dok. Mosintuwu/Lian

Padungku. Kata ini disebarkan dengan gembira oleh seluruh warga Poso sejak bulan Juli 2010. Sempat ditunda selama bulan Agustus 2010, Padungku kembali marak dilakukan di desa-desa di seluruh Kabupaten Poso, tidak terkecuali di Poso, ibukota Kabupaten.

Jika masa Padungku datang, maka seluruh warga desa sejak seminggu sebelum masa itu akan sibuk mempersiapkan diri, mulai dari mencari dedaunan, bambu, kayu api, mempersiapkan beras terbaik termasuk menghubungi sanak saudara di wilayah lain untuk datang berramai-ramai. Malam sebelum hari Padungku, seluruh desa akan dikepun asap pembakaran nasi bambu dimana-mana, juga teriakan gembira bersahut-sahutan, para pria dan wanita berkumpul di rumah-rumah bernyanyi-nyanyi sambil menyiapkan makanan untuk keesokan harinya.

Saat Padungku tiba, jalanan di desa juga kota akan ramai melebihi masa hari raya keagamaan. Motor, mobil hilir mudik juga yang berjalan memenuhi desa. Setiap rumah pasti dikunjungi, setiap rumah dipenuhi keluarga dari jauh, setiap rumah penuh gelak tawa, nyanyian dan gurauan diselingi tari-tarian. Di seluruh isi desa. Yang ada adalah kekeluargaan. Muslim, Kristen, Hindu, semuanya.Ini pesta syukur atas panen yang dihasilkan, atas kerja yang dicapai oleh para petani. Petani? Ternyata bukan hanya petani, namun oleh semua orang. Demikian makna Padungku saat ini.

Baca Juga :  Workshop Dongeng dan Dongeng Damai dalam Gambar di Festival Dongeng

Padungku sebenarnya berasal dari bahasa Pamona yang berarti semua sudah rapi, sudah tertib,sudah tuntas. Hal ini disimbolkan dengan dua hal: pertama, padi sudah tersimpan di lumbung. Kedua, alat pembajak sudah dibersihkan dan ditempatkan di bawah rumah (kolong rumah). Ketika kedua hal tersebut sudah dilakukan oleh seluruh petani di satu desa maka diadakan pesta bersama yang disebut mo padungku.

Dalam mo padungku, semua petani mengolah padi yang mereka panen dan simpan, terutama padi pertama yang dipanen dan disimpan di lumbung. Hasil olahan itu dimakan bersama-sama dengan seluruh warga desa melalui molimbu. Molimbu adalah kegiatan makan bersama dimana seluruh penduduk membawa makanan masing-masing dari rumah mereka dan saling membagikan makanan untuk dimakan bersama-sama di Lobo atau baruga desa (balai desa). Nasi bambu adalah nasi khas yang menjadi olahan wajib saat Padungku.

Namun menyebutkan Padungku saat ini menjadi berbeda maknanya dan berbeda nuansanya. Padungku diadopsi oleh gereja menjadi pesta ucapan syukur yang tidak saja bagi petani namun juga bagi semua jenis pekerjaan lain. Sejak tahun 2000an praktis tidak lagi diselenggarakan Molimbu, sebaliknya pesta panen raya dilakukan di rumah masing-masing penduduk.

Baca Juga :  Menjiwai Kedaulatan di Maskot Festival Mosintuwu

Pada malam hari di desa dimana diadakan Padungku akan dibuat tarian bersama, dero. Biasanya, dero dilakukan di rumah-rumah tertentu atau diadakan bersama di balai desa dengan menggunakan alat musik yang sudah disewa (tentang perubahan Dero akan dibahas dilain waktu). Singkatnya, Padungku menggambarkan pesta setelah panen raya yang bisa diadakan seluruh warga di desa, dimana seluruh warga dari desa-desa lain bisa berkunjung dan memenuhi rumah-rumah untuk bersilahturahmi, makan bersama dan berpesta pora.

Jadi, kalau mendengar kata Padungku. Imajinasi masyarakat langsung terkait pada hari raya pasca panen dan pesta pora (termasuk Modero), dan nasi bambu. Hanya saja semoga makna ucapan syukur pasca panen, dimana tanah telah memberikan hasil untuk dimakan dan karenanya tanah harus selalu dijaga, dan dilindungi tidak dijual benar mendapatkan nilai perjuangannya. Karena setelah berpesta, kita akan menanam lagi…di tanah.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda