“Ada perbedaan mendasar antara padungku dengan ucapan syukur tahunan” ujar Yustinus Hokey “ hingga saat ini banyak yang salah paham dan menganggap sama padungku dengan ucapan syukur. Itu jelas berbeda. Padungku itu berasal dari kata dungku, yang berarti semua sudah selesai, sudah usai, sudah final. Apa yang sudah selesai?Para petani di seluruh negeri sudah selesai memanen, alat-alat pertanian seperti pemaras padi, ani-ani, alat pembajak, mesin penggiling, semua sudah disimpan, dirapikan, bersih di lumbung. Pada saat itulah disebut dungku. Sudah usai.
Mengapa harus setelah usai? Karena proses padi ditanam hingga masak dan dipanen, itu mempengaruhi seluruh gerak sosial masyarakat. Misalnya, pada masa-masa padi mau masak, suami istri tidak boleh satu bantal, para suami hidup di pondok lain. Ada kata-kata pamali yang tidak boleh diucapkan. Itu agar dewi padi tenang dan bisa merawat, menjaga setiap bulir padi sehingga tumbuh dengan bernas (sangat baik). Ketika seluruh proses itu selesai, usai, termasuk alat-alat pertaniannya sudah dirapikan maka semua orang akan mengumpulkan hasil panen yang pertama (padi pertama yang dipetik dan disimpan di lumbung), memasak dan makan bersama dalam satu komunitas. Itulah yang disebut Padungku, hari raya panen. Dan itu berlaku bagi para petani, khususnya petani sawah dan ladang. Nah, gereja mengadopsi hanya pada aktivitas terakhir itu, yakni mengumpulkan hasil kerja dan menjadikannya hari pengucapan syukur tahunan. Pengucapan syukur tahunan juga dilakukan oleh para pegawai atau wiraswasta.
Kalau melihat perkembangan saat ini hasil kerja bukan lagi dikumpulkan untuk dibagi bersama dan dinikmati bersama dalam satu komunitas, tapi menjadi satu keluarga sendiri dengan keluarga yang lain. Sayangnya orang tetap bilang ini Padungku bukan ucapan syukur tahunan. Padahal sekali lagi, padungku itu berkaitan dengan seluruh proses pertanian, hubungan antara para petani, tanah dan padi sehingga memiliki makna dan dampak yang berbeda dengan apa yang kita lakukan sekarang, ucapan syukur tahunan”.
Ngkai Tinus, demikian panggilan akrab budayawan Poso ini, memulai Padungku dalam konsep Molimbu yang diadakan oleh Sekolah Perempuan dan Sanggar Anak Lintuyadi pada hari Sabtu, 9 Oktober, dengan kritik yang tajam. Kritik tajam ini dibahas panjang lebar oleh Ngkai Tinus, mulai dari sejarah, makna, dampak makna terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat termasuk perkembangannya saat ini. Ngkai Tinus juga mengungkapkan bahwa banyak sastra dan tarian di Tana Poso justru muncul dari proses pertanian, sayangnya ketika dikembangkan dalam bentuk tarian untuk kepentingan pariwisata, maknanya menjadi kabur.
Cerita sejarah yang membuat banyak kepala ibu-ibu dan anak-anak mengangguk-ngangguk ataupun keheranan seperti di atas, hanyalah sebagian dari gambaran kemeriahan dan kesederhanaan Padungku-Molimbu.