Temu Kangen Warga Kristen,Muslim Lombogia di Idul Adha

0
2074

Lombogia. Mendengar nama tempat ini pasti akan terbayang awal pertama konflik Poso terjadi. Yah, di wilayah Lombogia, yang berdekatan dengan Kasintuwu adalah wilayah dimana konflik kekerasan pertama dimulai dan tercatat sebagai wilayah yang pertama rata dengan tanah oleh pembakaran dan penyerangan. Warga di wilayah Lombogia bahkan dikenal sebagai wilayah simbol agama tertentu, meskipun wilayah ini didiami beragama suku dan agama. Bukan cuma itu, Lombogia juga terhitung paling lambat dalam pemulihan. Hingga tahun 2006, program pemulangan pengungsi, hanya satu dua keluarga yang memutuskan kembali ke Lombogia, sementara yang lain bertahan di wilayah pemukiman pengungsi atau wilayah lainnya. Ini bukan berarti tidak ada kerinduan untuk kembali ke Lombogia. Semua rindu pulang. Semua rindu ingin bertemu kembali.Namun, rasa tidak aman dan nyaman masih terasa.

Lalu saat itu tiba, Hari Raya Idul Adha menjadi moment bersama warga Lombugia baik yang Kristen maupun yang Muslim. Inisiatif muncul dari warga Kristen yang merindukan pulang dan bergabung bersama warga Muslim. Warga Kristen mengusulkan agar moment Hari Raya Idul Adha dijadikan moment bersama untuk bertemu. Inisiatif ini disambut hangat warga Muslim. Bahkan disepakati agar panitia Idul Adha adalah warga Kristen. Diberilah judul pertemuan bersama moment Idul Adha itu “ Temu Kangen Warga Lombogia” dengan ajakan: Mari Pulang ke Lombogia, Kita Saling Jaga di Sini.

Baca Juga :  John dan Metafora Bumi

Acara temu warga Lombogia ini  digelar secara spontan dengan inisiatif dan biaya berasal dari warga sendiri  dengan cara patungan. Warga Muslim dan Kristen bersama-sama menyebar gagasan pertemuan dan undangan. Semua warga Lombogia yang tersebar di kecamatan lain misalnya Pamona Raya, Lore Selatan dan Lore Utara bahkan yang masih bertahan di Morowali hingga yang ada di Propinsi Sulawesi Utara diundang untuk datang kembali. Kisah penuh haru dan penuh makna dimulai saat kerinduan disambut dengan hangat dengan kembali dan bertemu. Pertemuan yang diwarnai  adegan saling peluk dan jabatan tangan erat para warga Lombogia yang baru bertemu kembali setelah terpisah hampir 11 tahun. Pertemuan juga di warnai dengan canda khas Lombogia dengan menggunakan bahasa yang menurut salah seorang warga memang sudah menjadi bahasa sehari-hari khas di wilayah yang dulunya terdiri dari berbagai suku dan agama ini.

Cerita-cerita tentang kekerabatan yang terputus sejenak berkembang yang kemudian membangun saling pengertian dan maaf yang tak terkatakan. Bastian misalnya, sudah lama dirinya ingin pulang tapi karena masih ragu, akhirnya Bastian memilih bertahan di Morowali sampai akhirnya dirinya di undang oleh bekas tetangganya yang muslim untuk hadir di acara temu warga.

Baca Juga :  Lokakarya Guru-Guru Agama Poso : Bentuk Siswa ToleranTraining of Religious Teacher in Poso

“Pulang jo kamari, torang hidup seperti dulu lagi sebagai saudara,saling jaga ” ajak Zammil, seorang warga Lombogia. Bahkan keluar pernyataan “Memang sejak dahulu sampai hari ini, kita tidak pernah berkonflik, tapi kita yang diadu domba untuk berkonflik” kata salah seorang tokoh pemuda Lombogia. “Kita semua berdiri menghadang mereka yang dating menyerang kemari, jadi bukan kami yang menyerang, tetapi kami menghadang mereka yang berniat menyerang”katanya meluruskan pandangan dari luar yang salah selama ini.

“Saya selalu merindukan kampong ini, seperti saat dulu sebelum konflik terjadi”  kata Ime, salah seorang warga Lombogia yang masih bertahan di Palu. Dia ingat  saat terjadinya penyerangan tahun 1998, warga Lombogia saling melindungi, bahkan banyak yang berdiri di garis depan menahan orang yang hendak menyerang Lombogia. “Saat itu, tidak ada istilah agama apa yang dianut, yang ada pada saat itu, kita merasa sebagai orang Poso tanpa melihat agama atau suku” kata Ime.

Sementara itu salah seorang warga Lombogia yang masih bermukim di Tentena, mengatakan salah satu penyebab dirinya bersama keluarga belum kembali lagi  ke Kelurahan Lombogia karena belum ada rumah untuk tinggal. Sekarang menurut Roy Palensa, warga yang belum kembali pulang bukan karena takut, hanya persoalan yang mereka hadapi adalah membangun kembali rumah-rumah yang dahulu terbakar.
Sebagian dari mereka juga tidak mendapatkan bantuan perumahan dari beberapa program pembangunan rumah bagi warga korban kerusuhan oleh pemerintah. Saat ini kelurahan Lombogia dihuni sekitar 200 kepala keluarga, jauh lebih sedikit disbanding pada tahun 1998 sebelum kerusuhan, saat itu jumlah penduduk Lombogia mencapai sekitar  600 kepala keluarga.

Baca Juga :  Cerita Kami, Cerita Perdamaian

Acara temu kangen warga Kristen dan Muslim Lombogia ini diakhiri dengan dero bersama dalam suasana akrab dan meriah. Suasana yang menyerukan ajakan: Ayo Pulang Ke Lombogia, Kita Saling Jaga Di sini.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda