“Tidak logis. Tsunami di Mentawai kemarin itu tidak dapat diterangkan dengan logika,” kata pria itu, salah satu relawan yang telah bertahun-tahun bekerja di Mentawai sejak gempa tahun 2007 lalu. “Patahannya di sepanjang ini, pusat gempa di sini dengan kedalaman sekian,” dia menggambar dengan jarinya imaji Mentawai di atas meja makan. “Nah, di sebelah sini sebenarnya hanya ekor gempa dengan kekuatan yang sebenarnya secara logika tidak menyebabkan tsunami. Tapi kenapa justru di sini tsunami-nya?” Dia melanjutkan dengan bersemangat, “Nah, kalau air naik dari sisi laut sebelah sini, kenapa di daratan dia berbelok? Padahal semestinya daratan sebelah sini yang habis! Ada rumah di sini, di tengah perjalanan gelombang tsunami, justru tidak apa-apa karena tsunami berbelok lalu memutar di belakang rumah ini.”
Aku, yang bukan pakar dalam gempa dan tsunami, hanya bisa terheran-heran dan termangu mendengar paparannya. Ini adalah pernyataan keheranan kedua yang kudengar dari dua orang berbeda tentang tidak logisnya tsunami di Mentawai yang terjadi di bulan November lalu. Sumber yang pertama, yang juga telah bertahun-tahun bekerja di Mentawai, bahkan berkata bahwa gelombang tsunami itu sepertinya sengaja ‘memilih’ titik-titik lokasi pemukiman penduduk, sementara ladang-ladang penduduk yang relatif kosong pada saat itu, bisa dibilang tidak mengalami kerusakan yang berarti. “Gempanya tidak seberapa. Orang-orang bahkan waktu itu berkata, ‘Kurang keras, Tuhan!’ Mereka balik ke dalam rumah. Sebentar kemudian, mereka dihajar gelombang itu.”
Bahkan ada cerita tentang masyarakat di suatu daerah di Mentawai yang setelah gempa pertama, kembali lagi masuk ke rumah untuk meneruskan nonton sinetron kesayangan mereka. Karena kembali masuk ke rumah, jumlah korban di daerah itu menjadi relatif banyak.
“Aku pikir tsunami kemarin itu untuk kasih orang-orang Mentawai pelajaran. Karena kita tidak mau berubah perbaiki diri,” pria itu berkata, dia salah satu dari penyintas tsunami yang setelah berjam-jam digulung air laut, akhirnya berhasil keluar hidup-hidup dari tragedi itu. Dia sekarang menjadi pengungsi. “Yang bikin aku paling terpukul adalah, aku tidak bisa mengubur ibuku sendiri dengan benar. Padahal dulu aku pernah bantu tetangga mengubur ibunya, kasih dia kayu untuk bikin peti. Kenapa ibu sendiri tidak bisa aku kuburkan secara pantas? Sampai sekarang aku tidak bisa maafkan diriku sendiri. Anak macam apa aku ini, tidak bisa menguburkan ibu sendiri dengan layak.”
Dalam satu peristiwa, aku kebetulan bertemu dengan seorang bayi laki-laki (yang waktu terjadi tsunami berusia tiga bulan) ditemukan selamat tergeletak di tanah, sendirian. Kabarnya kedua orang tuanya tidak selamat, demikian pula puluhan orang lain di dusun tersebut. Kisah bayi ‘tsunami’ itu tersebar dan dia dipercayai membawa keselamatan bagi orang yang berada di dekatnya, kalau-kalau tsunami terjadi lagi. Di mataku dia nampak kuat, sehat dan aktif. Pengasuhnya bilang dia jarang sekali menangis, bayi yang baik dan menyenangkan. Bayi itu berpindah dari tangan ke tangan, disayangi oleh orang-orang yang jatuh hati melihat keceriaannya. Dia tidak akan terlantar, sejauh orang-orang mempercayai nasib baik yang dibawanya.
Sebelum aku berangkat ke Mentawai untuk respon tsunami, aku mencari-cari bahan bacaan mengenai Mentawai dan hasilnya sangat minim, beberapa ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang kujumpai kemudian. Katanya Mentawai dikenal sebagai daerah tujuan para peselancar (surfers) domestik dan manca negara, sebuah kepulauan di sisi barat Indonesia yang memiliki ketinggian gelombang ombak yang digilai para pemuja ombak. Bahkan seorang peselancar nomor satu dunia mengatakan bahwa Mentawai adalah lokasi surfing nomor satu di dunia baginya. Jika laut sedang mengamuk, perahu bisa terjepit dan dipermainkan di antara tembok-tembok ombak dengan ketinggian sedikitnya lima meter di sekelilingmu. Jumlah dan statistik korban jiwa? Kita tidak pernah bisa tahu dengan pasti, karena pencatatan semacam itu tidak terjadi.
Namun reputasi mendunia ini tidak merubah kehidupan penduduk di Mentawai secara bermakna. Mayoritas penduduknya masih berpenghidupan dari berburu, berladang dan meramu, dengan makanan pokok mereka pisang, talas dan singkong. Kegiatan MCK mereka masih di sungai dan tepian pantai. Tidak ada rumah sakit. Puskesmas sedari dulu kekurangan tenaga layanan medis dan obat-obatan. Tidak ada pendidikan tinggi. Banyak anak (dan orang dewasa) tidak pernah sekolah. Masih banyak penduduk Mentawai yang belum bisa berbahasa Indonesia. Di hampir seluruh daratannya tidak dialiri sumber daya listrik, apalagi sinyal handphone dan internet. Generator dan bahan bakarnya, atau batu baterai, itu yang kau harus pastikan punya dulu sebelum memakai alat-alat listrik.
Tidak banyak pilihan transport yang tersedia untuk mencapai Mentawai. Untuk angkutan publik, hanya ada satu kapal ferry angkutan barang dan penumpang (yang dikenal dengan nama Ambu-Ambu, nama sejenis ikan laut dalam bahasa Mentawai) satu kali seminggu saja dengan menempuh perjalanan sekitar 12-13 jam, dalam cuaca baik. Badai seringkali mengurungkan jadwal pelayaran ferry. Dari Padang, Ambu-Ambu berangkat tiap Selasa sore dan mencapai tujuannya di Sikakap (sebuah kota kecil di Pagai Selatan yang menjadi jantung perekonomian Mentawai) hari Rabu pagi. Lalu Rabu sorenya Ambu-Ambu yang sama kembali ke Padang mengangkut barang dan penumpang. Yang mampu bisa menyewa kapal atau speedboat sendiri dengan jadwal yang lebih fleksibel. Jadi, bila kau sakit parah dan tidak punya uang untuk menyewa speedboat ke Padang untuk ke rumah sakitnya, maka kau hanya bisa menunggu Ambu-Ambu sampai Rabu depan, jika kau masih hidup pada hari itu. Atau kalau engkau gandrung dengan jenis pangan yang tidak diproduksi di Mentawai, walau itu sekedar sayuran selain daun singkong atau daun pepaya misalnya, kau baru akan dapatkan paling cepat hari Rabu dan akan mulai krisis lewat masa bertahannya kesegaran sayur-mayur tersebut. Maka, banyak barang memiliki harga yang mahal di Mentawai yang tidak terjangkau oleh masyarakatnya.
Agama-agama yang direstui negara baru memasuki Mentawai dengan misinya paling awal di tahun lima puluhan. Sekarang ini, agama mayoritas adalah Kristen dan Katolik, dengan agama Islam sebagai agama minoritas. Mereka mencoba masuk sampai pedalaman, walaupun masih banyak juga masyarakat asli di pedalaman yang masih teguh memegang kepercayaannya sendiri, seperti masyarakat di Siberut yang masih banyak bertempat tinggal di dalam hutan-hutan.
Tidak usah bicara soal hak pilih dalam pemilu. Banyak warga Mentawai yang lahir tidak pernah punya akte kelahiran dan kartu identitas lain. Seperti biasanya, kalau engkau tidak setuju menganut agama-agama restu negara, engkau tidak akan diperbolehkan membuat KTP, karena di KTP-mu harus ada tercantum agamamu. Tapi apa peduli mereka dengan akte kelahiran dan KTP, kalau selain mereka dipaksa beragama tertentu, juga mereka tidak memperoleh keuntungan apa-apa dari identitas itu, juga mereka tidak paham hak-hak mereka? Jadi, ngapain juga partai politik datang berkampanye dan melangsir janji-janji manisnya di situ? Tokh, penduduk dengan hak pilih tidak banyak jumlahnya di situ untuk bisa membuahkan kemenangan para politisi. Keuntungan-keuntungan bisa dicuri dengan cara-cara lain.
Orang-orang luar banyak yang berpendapat bahwa masyarakat Mentawai sudah kehilangan akar kebudayaan dan adat-istiadat nenek moyangnya (kecuali di beberapa tempat seperti di Siberut). Bila memang benar demikian adanya, aku belum mampu memahami penyebabnya dan belum mendalaminya dalam sejarah Mentawai. Tradisi warga berkumpul sebagai mekanisme pemecahan masalah bersama hampir tidak pernah kutemukan, kecuali bahwa pada hari Minggu mereka pergi ke gereja, duduk diam dengan manisnya mendengarkan khotbah, menyanyi dan berdoa, lalu pulang. Bila di dalam masyarakat terjadi perbedaan yang sampai menimbulkan konflik, maka yang kalah biasanya memilih untuk pergi meninggalkan kampung tersebut, membawa serta orang-orang lain yang berada di pihaknya, mencari tempat tinggal dan melanjutkan penghidupan di tempat lain. Jika, misalnya, engkau tidak setuju pada kepala dusunmu yang menjual bebas kayu-kayu kepada perusahaan kayu, maka engkau harus keluar dari dusun karena kepala dusun yang kaya raya dari hasil negosiasi kayu itu bisa dengan mudah mempengaruhi warga yang lain agar mendukungnya dan melawanmu.
Banyak kayu di hutan-hutan dengan kualitas terbaik di situ yang sudah habis digondol perusahaan-perusahaan kayu di masa pemerintahan Soeharto. Menurut cerita, pada era reformasi, perusahaan-perusahaan kayu tutup dan meninggalkan bisnisnya karena diusir penduduk. Kabarnya, mereka berhasil diusir karena dibantu dengan kekuatan magis dukun-dukunnya yang tersohor di Mentawai. Bangunan dan rumah-rumah temporer dengan kualitas rendah yang dulu ditempati para pekerja perusahaan kayu kemudian diambil alih oleh penduduk sampai sekarang. Karena penduduk tidak mampu merawatnya, banyak bangunan dan rumah itu sekarang sudah terlihat kumuh, gelap dan kotor.
Sebagai daerah kepulauan dengan banyak sungai dan rawa, satwa yang berbisa dan berbahaya adalah buaya, ular laut dengan bisa yang mampu mencabut nyawa manusia dalam hitungan menit, beberapa jenis ikan-ikan berduri dan beracun. Lainnya adalah nyamuk malaria yang menyebarkan penyakit endemis. Seorang Pastor pernah bercerita padaku bahwa ada satu jenis ular hutan di Mentawai (aku lupa namanya) yang berukuran besar, berwarna hitam, bermata merah dan (yang membuatnya lebih menakutkan) punya perilaku mengejar mangsanya, termasuk bila dia bertemu manusia. Malaikat-malaikat pencabut nyawa lainnya yang berhasil diketahui adalah usia tua, penyakit parah, kecelakaan di laut karena tenggelam, terjangan ombak dan dikoyak batu karang yang tajam, kematian ibu dan anak karena kehamilan dan proses kelahiran yang tidak aman dan tidak sehat. Yang sekarang sedang tersohor, walaupun aku yakin bukan yang satu ini yang menjadi penyebab utama dan terbesar kematian di Mentawai, adalah bencana alamnya: gempa dan tsunami.
Hidup dalam kondisi diabaikan dan terlupakan, minim pengelolaan dan penikmatan sumber daya dan nyaris statis, masyarakat hanya memiliki sedikit pilihan sumber kesenangan dan hiburan. Aku sempat terkejut menanggapi sebuah informasi, namun kemudian ketika berpikir ulang jadi terdengar logis, bahwa aktivitas seksual menjadi salah satu sumber utama hiburan. Aktivitas seksual bebas-tidak aman dan berganti pasangan, baik sudah menikah maupun belum. Bahkan aku mendengar beberapa cerita mengenai kasus-kasus incest, bertukar mitra seks, aktivitas seks bebas yang menjadi pengisi tradisi ritual di sebuah hari rakyat oleh para penduduk.
Engkau terkejut? Aku juga, pada mulanya, sebagaimana yang sudah kukatakan tadi. Namun pikirkan ini: ketika engkau tidak punya uang untuk bisa beli apa-apa karena hampir semua barang harganya mahal, tidak bisa ke mana-mana karena transport sulit dan juga mahal, tidak bisa melakukan dan tidak tahu pilihan kegiatan lain apa yang bisa dilakukan untuk menghibur diri, bukankah seks adalah satu pilihan hiburan murah/gratis, dekat, mudah dan alami? Dan jika informasi dan layanan medis dan kesehatan reproduksi tidak tersedia untuk kita mungkin melakukan aktivitas seksual yang aman dan bertanggung jawab, bukankah penyakit-penyakitnya boleh jadi sudah ada tapi mungkin tidak diketahui? Dan jika penduduk lokal sudah terbiasa melakukannya, bukankah para pendatang dari luar (dengan kemungkinan sudah mengidap bibit-bibit penyakit tertentu yang bisa menular secara seksual) juga bisa dengan relatif bebas ikut menghibur dirinya serta pada saat bersamaan menularkan penyakit-penyakitnya? Dan dengan layanan pendidikan dan kesehatan yang nyaris tidak ada yang membahas dan mengobati penyakit-penyakit ini, jangan-jangan banyak orang sudah meninggal karenanya, namun gagal mengetahui penyebabnya dan memahami penyakit apa yang sebenarnya sedang membunuhnya.
Sebelum tergesa-gesa menghakimi perilaku menjengahkan yang satu ini, cobalah cari tahu dulu mengapa dari awal perilaku ini berlangsung dan terus dipertahankan. Bila engkau orang terpelajar dan terdidik dengan segala kemudahan akses sehingga bisa punya pilihan untuk tidak melakukan apa yang mereka lakukan, maka pikirkan mengapa mereka bisa-bisanya tidak terpelajar, tidak terdidik dan tidak punya akses seperti yang engkau miliki. Siapa saja yang sesungguhnya menuai keuntungan terbesar dengan membiarkan mereka hidup dalam kondisi terabaikan seperti itu? Dan siapakah pelaku utama yang semestinya menyediakan mereka pendidikan, fasilitas dan aksesnya? Bila satu telunjuk menuding si “terdakwa”, lihatlah lagi, jari-jari lainnya menuding ke arah mana. Sebuah isyarat tubuh yang cukup bijak, menurutku.
Mari memaknai selain aktivitas seksual mereka, karena itu sekedar tampilan luar. Mentawai, bisa dibilang punya potensi alam yang kaya. Kayu kualitas terbaik mereka sedang krisis. Syukurlah bila ada yang sadar dan menanam kembali pohon-pohon. Tapi siapa sih yang peduli? Yang menghabiskan kayu-kayu itu sudah kaya raya dan hengkang. Memang Ambu-Ambu hanya berlayar sekali seminggu, tapi kapal-kapal asing penangkap dan pengangkut ikan itu bisa dengan santainya mondar-mandir dan mengambil jatah ikan-ikan terbaik perairan Mentawai. Para peselancar? Asalkan ombak masih mengasyikkan, untuk apa susah payah memikirkan membangun kehidupan penduduk lokal? Biar saja mereka tetap bodoh supaya para peselancar tidak perlu membayar mahal plesir di situ. Kabarnya masih banyak spesies langka dan unik di Mentawai yang belum diidentifikasi. Tapi, pernahkah kau mendengar dari lembaga penelitian domestik kita yang mendeklarasikan temuan spesies langka dan unik dari Mentawai? Lalu, mengapa konflik-konflik antara warga tetap dibiarkan dikelola dengan tidak sehat sehingga yang lemah harus pergi, walaupun dia benar?
Siapa tahu, sebenarnya masih banyak lagi potensi yang sedang dieksploitasi dan tengah diintai-ditaksir, nantinya bisa didulang dan dihambur-hamburkan, asalkan masyarakat tetap bodoh dan tidak peduli, asalkan para pemimpin dan pihak penguasa masih bisa diajak kongkalikong. Jangan bilang engkau tidak menyadari ini, karena hey, bukankah engkau terpelajar dan terdidik? Masakan kau tidak tahu negara macam apa Indonesia ini? Kalau kau cukup jahat dan serakah, kau pun bisa ikut ambil bagian dalam persekongkolan ini. Tapi kalau kau masih punya hati dan otak yang baik, hentikan menudingkan jarimu ke rakyat Mentawai.
Maka aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mendebat si bapak tadi (yang sedang berduka karena tidak bisa menguburkan ibunya dengan layak akibat tsunami) ketika dia bilang bahwa tsunami adalah pelajaran untuk orang Mentawai yang tidak mau merubah diri mereka. Apakah anak-anak dan bayi yang tidak berdosa itu juga pantas mati karena mereka ikut bertanggung jawab atas terjadinya tsunami? Aku tidak tahu siapa yang telah menanamkan pola pikir fatalistik ini pada bapak tersebut. Mungkin bukan hanya dia yang berpikir demikian, mungkin sudah banyak masyarakat Mentawai yang sudah menyalahkan diri mereka sendiri sebagai pihak yang bertanggungjawab atas tsunami. Menggelikan, namun teramat menyedihkan. Untuk apa pemaknaan semacam itu? Sementara pihak-pihak yang sesungguhnya dan semestinya bertanggung jawab menolong mereka keluar dari penderitaan akibat bencana itu tidak mau tahu dan tidak terlihat kehadirannya di tengah-tengah para pengungsi.
Yang terlebih bodoh lagi, seorang pejabat negara sempat mengeluarkan pernyataan yang menyalahkan masyarakat Mentawai yang tinggal di pantai sehingga kemudian jadi korban tsunami. Pernyataan ini kemudian sempat dibahas dan dibalas di salah satu milis. Masyarakat Mentawai aslinya hidup dari meramu dan berladang di kawasan bukit-bukit dan hutan, bukannya hidup sebagai nelayan atau bertempat tinggal di garis pantai. Mereka akhirnya hidup di pantai karena pernah dulu suatu saat mereka dipaksa dan diancam oleh pemerintah untuk turun dan hidup di pantai. Dan sekarang, korban yang disalahkan.
Sekarang, mereka yang tinggal di dekat pantai disorong-sorong dan diangkut dengan truk-truk masuk ke lokasi pengungsian, menjauhi ladang-ladang mereka. Termangu-mangu karena tidak tahu harus mencari makanan ke mana selain menunggu bantuan adalah kegiatan yang sering aku perhatikan di antara mereka yang dipaksa mengungsi di sebuah lokasi pengungsian. Tidak ada peralatan untuk menunjang pencarian sumber-sumber penghidupan, tidak ada sarana transportasi yang bisa mereka gunakan untuk mengunjungi dan mengurus ladang-ladang lama mereka. Kalau meramu di sekitar situ, ketahui dulu tanah di situ milik masyarakat mana. Salah-salah, mereka bisa diusir karena dituduh mencuri di ladang orang. Serba salah dan serba tidak ada pilihan. Juga, serba dilupakan, karena Mentawai dari dulunya sudah dilupakan dan diabaikan. Dan sekarang, popularitasnya kalah oleh daerah-daerah bencana lainnya. Salah siapa?
Catatan Perempuan Poso: Tulisan ini merefleksikan juga bencana yang terjadi di banyak tempat di Indonesia, termasuk bencana banjir di Poleganyara, Kecamatan Pamona Timur, dimana masyarakat selalu ditempatkan bersalah (satu-satunya).