Memperjuangkan hal-hal besar yang sering disebut sebagai hak-hak kedaulatan rakyat selalu dimulai dari mimpi-mimpi yang bahkan sering juga terdengar mustahil. Mimpi-mimpi ini dimulai dari hal-hal kecil yang mendasar. Tidak terkecuali di Sekolah Perempuan MOSINTUWU. Organisasi akar rumput yang bekerja di wilayah pasca konflik Poso ini, memimpikan adanya gerakan sosial interfaith perempuan untuk pemenuhan, perjuangan hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan hak-hak sipil politik. Mengapa perempuan?Dalam konstruksi sosial yang bias gender, seringkali perempuan ditempatkan hanya semata-mata sebagai korban. Sebagai hanya korban, perempuan menjadi kurang diperhitungkan dalam pengambilan keputusan-keputusan dan menjadi warga masyarakat kelas dua, serta mensubordinasikan perempuan dan memposisikannya di wilayah domestik. Keadaan ini kemudian menyebabkan perempuan tidak hanya sebagai pihak yang paling berada di lapisan terbawah korban konflik, tetapi juga termarginalkan secara ekonomi, sosial, budaya maupun politik.
Akibat langsung dari subordinasi perempuan adalah kurang dilibatkannya mereka dalam proses pembangunan. Padahal, dalam proses pembangunan pasca konflik kekerasan, diperlukan keterlibatan aktif seluruh masyarakat sasaran. Masyarakat tidak hanya menjadi penerima bantuan proyek yang pasif tetapi sebaliknya dituntut untuk memperbaiki kapasitas mereka agar mampu mengenali dan mengatasi masalah-masalah dalam konteks kemasyarakatan mereka. Agar dapat melakukan hal ini, proses pembangunan juga harus mampu mengkombinasikasikan konsep kesetaraan gender dengan konsep pemberdayaan perempuan dan proses pembangunan itu sendiri. Dengan demikian perempuan dapat terlibat dalam seluruh proses pembangunan.
Kenyataan tersebut di atas mendorong adanya kebutuhan dan kepentingan untuk melakukan transformasi pengetahuan dalam rangka meningkatkan kemampuan, ketrampilan, kreativitas perempuan dalam analisis sosial sehingga dapat terlibat aktif dalam proses tranformasi masyarakat. Hal ini dilakukan dengan pertama-tama memberikan ruang dan akses terhadap perempuan untuk mendapatkan dan melakukan transformasi pengetahuan tentang pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan perolehan hak-hak sipil dan politik; membuka ruang dan akses pada perempuan untuk dapat mengorganisir diri dan komunitas mereka, mengkampanyekan isu-isu perempuan dalam rangka mendapatkan, memperjuangkan hak EKOSOB dan hak SIPOL tersebut; mengembangkan inisiatif dan kreativitas perempuan dalam pemenuhan hak EKOSOB dan hak SIPOL. Kebutuhan dan kepentingan ini berusaha dikembangkan dalam ruang yang disebut Sekolah Perempuan.
Sekolah Perempuan diharapkan dapat menjadi bagian dari yang sistematis untuk mengorganisir masyarakat agar mampu mentransformasi struktur budaya dan sosial politik mereka sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial, berkeadilan gender, dan demokratis. Dengan kata lain, Sekolah Perempuan MOSINTUWU diasumsikan tidak hanya dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat, khususnya perempuan, tetapi menjadi sebuah gerakan sosial baru. Kebutuhan dan kepentingan untuk melibatkan perempuan secara aktif dalam pemenuhan dan perjuangan hak EKOSOB dan SIPOL harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, konteks masyarakat dimana ide ini dikembangkan dan dipraktekkan menjadi bagian penting yang mendasari bentuk dan pola yang akan dikembangkan dalam sekolah perempuan.
Berangkat dari mimpi dan ruang yang berusaha diciptakan berdasarkan asumsi kebutuhan masyarakat, terdapat beberapa wilayah pengembangan Sekolah Perempuan MOSINTUWU, yakni wilayah Tangkura, Patiwunga dan Betalemba di Kecamatan Poso Pesisir Selatan; wilayah Bukit Bambu, Tegalrejo dan Sayo di Kecamatan Poso Kota Selatan; wilayah Toyado, Tongko, Batugencu, Labuan di Wilayah Kecamatan Lage; dan wilayah Pamona, Sangele, Tentena, Petirodongi, Buyumpondoli dan Soe di Kecamatan Pamona Puselemba. Masing-masing desa dan wilayah dimana Sekolah Perempuan akan dikembangkan memiliki kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Dengan demikian, landasan pembangunan Sekolah Perempuan juga diasumsikan dapat mengikuti konteks masing-masing wilayah. Dalam hal inilah bentuk, pola, dan metode yang akan dikembangkan di masing-masing Sekolah Perempuan akan unik dan khas sesuai kebutuhannya.
Seluruh warga Sekolah Perempuan pada tahun pertama yakni 2011 masing-masing akan dibekali, belajar bersama-sama, melakukan transformasi pengetahuan berkaitan isu-isu: toleransi dan perdamaian, kecerdasan berbicara dan bernalar, gender, perempuan dalam kebudayaan Poso, perempuan dan politik, hak ekonomi sosial budaya dan hak sipil politik, hak layanan masyarakat, serta manajemen ekonomi keluarga dan komunitas. Teori harus disertai praktek, baik secara pribadi maupun komunitas. Oleh karena itu pada tahun kedua warga Sekolah Perempuan diharapkan dapat mengorganisir komunitas dengan pertama-tama menyiapkan lalu membentuk serikat perempuan. Serikat perempuan menjadi ruang bersama para perempuan khususnya warga sekolah perempuan untuk mengorganisir isu-isu strategis perempuan termasuk mengorganisir anggota komunitas. Mimpi ini berlanjut pada tahun ke tiga, dengan mengupayakan dimungkinkannya kongres besar Perempuan Poso yang berjuang pada dua isu utama, yakni terangkatnya isu-isu strategis perempuan di wilayah pasca konflik dan duduknya perempuan di ruang-ruang pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Mimpi besar selalu terwujud jika diperjuangkan. Memperjuangkannya selalu dimulai dari hal kecil. Sekolah Perempuan MOSINTUWU bermimpi menjadi sebuah gerakan sosial interfaith untuk pemenuhan dan perjuangan hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak sipil politik.