Sebagai wilayah pasca konflik dan wilayah yang kaya dengan sumber daya alam, tatanan sosial ekonomi, budaya dan politik di wilayah Kabupaten Poso masih membutuhkan perjuangan panjang untuk kebijakan pembangunan yang mempertimbangkan kebutuhan dan hak-hak masyarakat pasca konflik atas tanah dan sumber daya alam. Kebijakan dan praktek pembangunan pasca konflik ini harus melibatkan secara maksimal seluruh komponen/stakeholder dalam masyarakat, juga menempatkan pastisipasi aktif masyarakat melalui jalur-jalur demokrasi lokal yang sudah tersedia, misalnya musyawarah rencana pembangunan desa termasuk memperjuangkan ketersediaan ruang demokrasi yang belum tersedia, khususnya bagi perempuan.
Kesadaran atas kebutuhan di atas mendasari berkumpulnya kurang lebih 100 orang perempuan dari 15 desa di Kabupaten Poso, yakni Tangkura, Betalemba, Patiwunga, Mapane, dari Kecamatan Poso Pesisir Utara dan Poso Pesisir Selatan; Poso Kota, Bukit Bambu, Sayo dan Tegalrejo dari Kecamatan Poso Kota dan Kecamatan Poso Kota Selatan; Toyado, Labuan, Tongko, Bategencu dari Kecamatan Lage; Kelurahan Pamona, Kelurahan Petirodongi, Buyumpondoli, So’e dari KecamatanPamona Puselembah. Para perempuan yang rata-rata bermata pencaharian sebagai petani, nelayan dan ibu rumah tangga ini berkumpul bersama untuk menyatakan komitmen tentang mimpi adanya gerakan bersama perempuan dari berbagai agama, suku dan golongan memperjuangkan perdamaian, keadilan dan hak-hak ekonomi, sosial, budaya juga hak sipil politik (selanjutnya disebut EKOSOB,SIPOL). Pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 24 Maret 2011 di Hotel Wisata Poso ini merupakan gelaran pembukaan Sekolah Perempuan MOSINTUWU yang diselenggarakan oleh Institut MOSINTUWU.
Pertemuan seluruh warga Sekolah Perempuan MOSINTUWU ini juga diikuti oleh Pengurus Daerah Banaat Alkhairat dan perwakilan dari Sekolah Tinggi Teologia GKST Tentena yang menjadi mitra Institut MOSINTUWU dalam proses Sekolah Perempuan, juga dihadiri kepala desa, lurah dari masing-masing wilayah. Ibu Galuh, Ketua Penda Alkhairat menyampaikan apresiasi atas ruang sekolah perempuan sebagai ruang alternatif bagi masyarakat khususnya perempuan bukan hanya untuk meningkatkan kapasitas diri sendiri tapi juga
memperjuangkan hak. Sementara Pdt. Selviana dari STT GKST menyampaikan bahwa harapan agar Sekolah Perempuan dapat menjadi ruang pendidikan kritis bagi perempuan untuk bisa terlibat aktif dalam pembangunan. Bapak Made, kepala Desa Betalemba yang mewakili kepala desa yang hadir juga menyampaikan apresiasinya dan harapan agar lulusan Sekolah Perempuan MOSINTUWU dapat mengembangkan kemajuan desa. Dalam penjelasannya mengenai konsep Sekolah Perempuan, Direktur Institut MOSINTUWU, Lian Gogali, mengatakan bahwa kelas di Sekolah Perempuan pada tahun pertama adalah sebuah proses belajar bersama para perempuan untuk dapat mengetahui, memperoleh akses sekaligus berjuang bersama melintasi batas identitas atas hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan sipil politik. Pada tahun kedua diharapkan lulusan Sekolah Perempuan dapat mengorganisir bahkan mengadvokasi diri dan komunitas di wilayahnya dalam perjuangan atas hak atas tanah dan sumber daya alam melalui organisasi/serikat perempuan. Di tahun ke tiga, diharapkan ada komitmen bersama perempuan se-Kabupaten Poso dalam Kongres Perempuan Poso untuk perdamaian dan perjuangan hak ekosob, sipol. Dijelaskan juga oleh Lian serangkaian kurikulum dan modul yang akan mengikat proses dalam Sekolah Perempuan.
Suasana pertemuan menjadi lebih hangat setelah beberapa peserta sekolah perempuan menyampaikan harapan dan mimpi mereka dan bagi komunitas tentang menjadi sesuatu.Tepuk tangan riuh penuh semangat menyertai semua harapan dan agenda bersama di Sekolah Perempuan MOSINTUWU.
Setelah makan siang bersama, melalui permainan yang menyegarkan seluruh warga Sekolah Perempuan diajak untuk saling mengenal dan mengakrabkan diri agar menyadari ada ikatan psikologi yang kuat dalam lingkaran mereka. Ikatan ini diperkuat dengan adanya komitmen bersama yang dibuat oleh warga Sekolah Perempuan di masing-masing wilayah, difasilitasi oleh fasilitator lokal masing-masing. Bersama-sama, warga Sekolah Perempuan ini membuat aturan main yang disepakati selama proses kelas sekolah perempuan. Tepuk tangan sambung menyambung di masing-masing kelompok wilayah menandakan semangat dalam komitmen yang mereka buat sendiri.
Pertemuan awal warga sekolah perempuan ini diakhiri dengan pembacaan komitmen perwakilan masing-masing wilayah yang mengikat mimpi dan harapan tentang adanya gerakan interfaith untuk perdamaian dan pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya dan hak sipil politik.