Anak-anak Pasca Konflik Mengukir Warna Baru

0
1460

Ruangan paling belakang rumah kecil itu diisi oleh berbagai perabotan memasak, juga sebuah alat pencuci pakaian modern. Diruang paling kanan, terdapat dua buah lemari es yang diatasnya, aneka macam obat-obatan mulai dari herbal hingga produk pabrik modern terkumpul jadi satu. Jangan lupa, diluar pintu sebelah kanan terdapat tempat cuci piring, yang biasanya tempat para anjing berkerumun mencaci diri berebut sisa nasi.

Di ruang tengah samping jendela yang dibatasi balok lurus berwarna coklat itu,  duduk manis seorang perempuan muda. Dia  Sriratna yang akrab dipanggil Cici, seorang staf Mosintuwu yang bekerja untuk issu perempuan, nampak sedang bergulat dengan remeh-teme organisasi. Tapi pipinya tak bisa berbohong, daging pipinya yang kelihatan mengkerut menandakan dia sedang memahami sesuatu. Jarinya naik turun menekan tuts dan matanya ikut melirik gelisah mengamati kotak-kotak folder baru yang tertulis DATA BASE, kata yang baru saja dipelajarinya sesaat lalu.

Di hadapan meja, setengah ukuran dewasa yang didesain untuk ukuran melantai, chella, perempuan  beranak dua nampak terlihat mengamati ulang catatan penanya bertulis kolom: Laporan fasilitator lapangan. Dia juga seorang staff lapangan Mosintuwu yang hari itu bersiap menghadapi rapat esok hari bersama beberapa staf lainnya, Irma, Arfik, Masna, dan Pian. Sesekali dia menggerutu tak jelas, hanya jarinya yang terlihat sibuk menggaris pena menyamakan laporannya dengan kawan fasilitator lainnya dari desa yang berbeda.

Agak rumit memang, kebiasaan baru itu mesti dipadukan dengan hiruk pikuk suara anak yang menggemuruh bak pesta panen di musim penghujan. Kebetulan sekali bulan April 2011 yang memang sering mendapat jatah hujan, anak-anak To Pamona mesti mendapat asupan perhatian yang tidak saja penuh, juga kadang-kadang ekstra. Cici dan Chella berjibaku dengan urusan teater, menari, menanyi, bermain musik, membaca sesekali menonton bersama. Meski tidak hanya mereka berdua, sebab empat orang lainnya, Nius, Mama Ika, Rita dan  Ita turut membantu.

Baca Juga :  Rumah Belajar Anak Indonesia : Ruang Bertemu, Belajar, Berpetualang Bersama

Tak berlebihan, dering nada telepon di malam hari yang disertai kata tanya “mama,apa besok ada agenda di sanggar anak?” suatu ketika membuat semangat para pendamping ini semakin membuncit. Pasalnya, harus diakui sanggar anak Mosintuwu jadi semacam metamorfosa bagi anak-anak konflik yang butuh pendidikan alternatif.

Kalau saja anda sempat melihat dari dekat, jalur-jalur penyeberangan Sudirman Jakarta, yang membelah ruang jalan yang nampak lebar itu. Disana akan anda temui, seorang anak kecil berjibaku dengan jam kerja. Kaki mereka nampak kurus mengarungi terotoar bersaing dengan deruh mesin mobil mewah. Ah, itu contoh yang rumit. Sesekali  anda perlu melihat langsung Sanggar Mosintuwu, produk kajian anak ini tiba-tiba telah menjadi seonggok medium library, juga bengkel kreasi anak-anak To Pamona.

Suatu ketika di Bulan April 2011, semangat baru itu ditandai dengan berkumpulnya anak-anak pasca konflik itu. Mereka nampak serius mengusap-ngusap krayon yang terdiri dari beberapa warna dasar dan juga warna-warna paduan. Sesekali juga ruang belajar itu diisi berbagai celutukan khas anak-anak.

Baca Juga :  Transformasi Gerakan Perempuan Poso untuk Keadilan

“ngana mo gambar apa”cetus  Danker “kita mo gambar katinting no” jawab Kede. “wee..pe kuno jo, kita mo gambar kapal besar, ada televisi di dalamnya” ujar Danker. Kede terdiam sejenak seperti berpikir “kalau begitu saya mo gambar motor besar saja yang biasa papaku bawa antar-antar saya kemari, heee..” Deni, anak SD kelas 5 tiba-tiba nyelonong masuk di antara percakapan itu dengan bangga memperlihatkan gambarnya “coba lihat…ini ada kapal besar tabrak rumahnya om Obeth” disambung tawa tergelak merasa lucu dengan khayalannya sendiri.

Dalam karya sezamannya, perilaku anak-anak semacam itu banyak dijumpai dalam kartun-kartun modern. Ambil contoh, Sinchan, juga Jayen, kartun produk domestic Jepang seperti itu sebagai penanda kuat bagaimana perkembangan anak-anak dizaman modern. Tapi berbeda, Upin-Ipin karya orang Malaysia justru menawarkan satu identitas sosial yang nampak berbeda. Kartun yang diperankan oleh dua anak kecil berambut botak itu, sangat menginspirasi perjuangan revitalisasi budaya lokal oleh serumpun melayu. Lantas, bagaimana melayu Indonesia melihat anak-anak?

Sebelumnya, gagasan yang dimotori Lian Gogali, sarjana humaniora yang bukan guru TK ini, apalagi narrator seni, telah menyumbang dengan baik gagasan pemulihan anak diwilayah konflik. Trauma gap agama yang mendesing dalam peluru permusuhan antara umat muslim dan Kristen ditanah Poso, sangat berbekas meninggalkan sebait narasi sosial yang dikonstruksi dari darah dan air mata menjadi seonggok sejarah dendam.

Baca Juga :  Padungku, Karena Semua Sudah Selesai

Untuk beberapa saat, saban hari anak diwilayah ini memiliki sekelumit argumentasi pembeda. Mereka mengidentifikasi kelompok diluar dirinya sebagai bahaya juga ancaman. Pengalaman itu diperoleh Lian dalam sebuah studi tesis magisternya berjudul “Konflik Poso:Perempuan dan Anak Menuju Rekonsiliasi Konflik Poso” yang diterbitkan Galang Press, 2009.

Bagaimanapun, Sanggar Anak Mosintuwu patut jadi cerita baru dalam ruang kepedulian akan anak. Betapa tidak, gagasan tentang pemulihan anak diwilayah konflik menjadi satu cerita penting. Diluar itu, argumentasi umum cukup menjadi satu penghubung yang ideal, anak sebagai tiang peradaban, tidak hanya bagi masyarakat pasca konflik seperti Poso tapi berlaku secara umum dibanyak tempat.

Tapi soal istimewa dari pertarungan gagasan pasca modern. Adalah kerumitan membedah dampak krusial dari pengaruh re-internasionale budaya pasar, sehingga menjadikan banyak sekali para pelaku bisnis berbaju intelektual, juga masyarakat Sipil berorganisasi, kerap kali menjadikan gagasan pemulihan anak dan sederet cerita pemberdayaanya menjadi cerita sepekan, dan tidak berkelanjutan.

Anak-anak dilihat hanya sebagai satu konsumen gagasan, yang bisa direobligasi menjadi sasaran iklan, produksi seni dan lain-lain. Juga seringkali, diturunkan pemaknannya menjadi tanggung jawab organisasi, kelompok, maupun keluarga. Bukan sebuah tanggung jawab sosial kemasyarakat tanpa identitas embel-embel sosial. Karena hanya dengan begitu, anak-anak bisa menjadi tumbuh dibawah tanggung jawab peradaban, bukan sebagai korban diatas “cita-cita pembebasan”.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda