Sejak hari perayaan kemerdekaan Indonesia 2011 diadakan di Sanggar Mosintuwu, Han,Dewi,Reta dan teman-temannya punya agenda tetap. Mengunjungi Perpustakaan Sophia. Demikian agenda itu disampaikan pada kakak Pembina mereka. “Hampir setiap hari anak-anak selalu tanya kapan kita kumpul lagi kak?kapan kami bisa datang lagi kak” cerita Cici, salah satu Pembina Sanggar “Sekarang mereka sangat bersemangat untuk datang setiap hari sepulang sekolah, bahkan hari Minggu, untuk membaca” Tujuannya tidak lain berkelana, berpetualang dengan ratusan buku cerita anak-anak yang ada di Perpustakaan Sophia.
Ya. Perpustakaan Sophia sedang menjadi tempat favorit anak-anak.Ini diawali saat perwakilan Komunitas Indonesia di Jepang membawa ratusan buku-buku dan peralatan menulis. Kurang lebih 300 buku yang disumbangkan menjadi awal angin segar bagi kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak di wilayah pasca konflik. Hari kemerdekaan yang dirayakan dalam bentuk berbagai lomba kesenian dan olahraga terasa sangat luar biasa ketika Dede Prabowo dan Jim Wagner yang mewakili para penyumbang buku, menyerahkan secara simbolis buku-buku terhadap perwakilan anak sanggar.
Begitu satu boks buku dibuka, dengan penuh semangat puluhan anak-anak langsung memilih buku dan mulai membaca. “Ternyata kakak tidak bohong, dulu sudah bosan baca buku yang itu-itu saja di perpustakaan, katanya akan ada buku baru. Sekarang betul-betul ada buku baru..aaahhhh senangnya” seru seorang anak.Maklum, sebelumnya Perpustakaan Sophia hanya memiliki 20 koleksi buku anak-anak yang dibaca lebih dari seratus anak bergantian, bergiliran,berulang-ulang.
Para pendamping anak-anak tidak kalah antusiasnya melihat buku-buku tersebut. “Wah, ini seperti berburu harta karun” Masing-masing kemudian sibuk memilih dan mengagendakan membaca buku apa, atau mulai membaca “Kita ada di sorga buku anak-anak di Poso. Tidak ada tempat lain selain di sini. Seperti orang kaya saja rasanya” ungkap seorang wali anak-anak yang datang kemudian.
Beberapa jam setelah berita kedatangan buku-buku menyebar, anak-anak dari desa-desa di sekitar Pamona (Sanggar Mosintuwu) mulai berdatangan. “Tentu akan sangat menyenangkan buat anak-anak lain di tempat lain kalau bisa dapat buku-buku seperti kita disini” kata seorang kakak pembina. Beragam pernyataan yang disampaikan merupakan sebuah ekspresi sukacita yang menggambarkan kebutuhan dan akses buku sangat minim di wilayah Poso, bahkan Sulawesi Tengah. “Disini tidak ada perpustakaan umum, anak-anak di sekolah hanya punya buku pelajaran itupun edisi lama warisan dari kakak-kakak sebelumnya. Jangan tanya soal buku atau majalah anak-anak. Anak-anak sanggar beruntung punya harta ini” Jelas salah seorang guru yang juga orang tua anak Sanggar. Selain minim ketersediaan buku, wilayah pasca konflik Poso ini minim dengan fasilitas bagi anak-anak untuk belajar dan mengekspresikan ketrampilan, bakat, talenta dan hobi mereka. Itu sebabnya ketika Jim dan Dede mengajarkan origami, sekitar 50 anak yang hadir saat itu sangat antusias mempelajari dan mempraktekkannya.Beberapa menit kemudian saling memamerkan origami masing-masing.
Di Sulawesi Tengah, akses untuk perpustakaan masih sangat terbatas. Di ibukota Propinsi, Palu, hanya buku-buku bacaan umum yang banyak tersedia di perpustakaan. Sementara itu buku bacaan anak selain jarang tersedia juga harganya sulit dijangkau oleh warga miskin. Di Kota Poso, ibukota Kabupaten Poso, bahkan lebih memprihatinkan. Hanya ada buku-buku lama dan tidak ada toko buku. Pembangunan pasca konflik Poso memang terkesan tidak peduli dengan nasib dan masa depan anak-anak atau generasi pasca konflik. Tidak heran jika Perpustakaan Sophia kemudian menjadi surga buku bagi anak-anak. Sebuah harta karun.
Sebagai wilayah pasca konflik, keberadaan fasilitas dan ruang yang aman dan terbuka untuk mengekspresikan diri adalah kebutuhan khusus. Kebutuhan khusus yang sangat penting karena mempengaruhi perkembangan intelektual dan psikologi anak-anak pasca konflik. Buku, menjadi pilihan yang strategis untuk membahasakan hal itu melewati batas-batas ruang dan waktu. Perpustakaan Sophia yang dibangun oleh Sanggar Anak Mosintuwu mempercayai bahwa buku dapat menjembatani perasaan dan pikiran anak-anak untuk berekspresi. Selanjutnya diharapkan buku menjadi jembatan yang membebaskan rasa takut, trauma, luka yang dalam yang tidak terungkapkan oleh anak-anak pasca konflik, sehingga membentuk generasi pasca konflik yang mencintai perdamaian.
Hari-hari pasca peristiwa di perayaan hari kemerdekaan seperti hari-hari yang tidak lagi membosankan bagi anak-anak. Beberapa anak yang sejak awal suka membaca namun jarang muncul di sanggar karena semua buku sudah dibaca sekarang datang kembali. Mereka bahkan mengajak teman-temannya untuk bergabung. Beberapa anak yang hanya ikut-ikutan menjadi suka membaca. Anak-anak remaja ikut mempromosikan kesukaan mereka membaca dan mempengaruhi yang lain.Tidak ketinggalan para pemuda (saat konflik Poso berlangsung masih berusia 5-12 tahun) mulai menjadikan Perpustakaan Sophia sebagai referensi tempat berkumpul dan berbagi. Orang tua yang awalnya hanya mengantar anak-anaknya juga mulai membaca buku-buku atau menemani anaknya membaca.
Ketika diceritakan bahwa masih ada ratusan buku lainnya akan datang dari banyak penyumbang yang memikirkan mereka, mata anak-anak langsung berbinar-binar “woaooooo”.
Perpustakaan Sophia baru saja dimulai.
Buku, menjadi harta karun yang memerdekakan anak-anak, remaja, pemuda, orang tua pasca konflik!