“Kalau bukan perempuan, siapa lagi?” kata ini berulang-ulang disampaikan oleh ibu-ibu warga Sekolah Perempuan di akhir kelas. Selama beberapa hari di kelas itu,wajah ibu-ibu nampak sangat serius menyimak dan mengikuti diskusi di kelas Sekolah Perempuan. Temanya bukan hanya menarik tapi juga dianggap menganggu jika tidak dilaksanakan. Betapa tidak, selama empat kali sesi kurikulum Perempuan dan Politik, warga Sekolah Perempuan bukan hanya diajak untuk mengerti apa itu politik, bagaimana sebuah kebijakan politik mempengaruhi harga beras dan garam yang sehari-hari mereka beli, tapi juga dibuat mengerti mengapa perempuan harus terlibat dalam politik. Dan, mengapa harus perempuan.
Pemahaman awal warga Sekolah Perempuan mengenai gender, mempermudah kesadaran tentang mengapa perempuan harus berperan aktif dalam pembangunan. Sebelumnya terdapat semacam alergi yang melekat pada kekeliruan pemahaman apa itu politik dan bagaimana politik bisa mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Namun kemudian disadari setiap keputusan politik di berbagai tingkatan mempengaruhi kehidupan mereka. Kesadaran ini meningkatkan kepekaan perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan, dalam setiap tingkat kehidupan, di desa hingga kabupaten.
Kesadaran ini dipertajam dengan konteks di wilayah Kabupaten Poso dimana tidak ada satupun perwakilan perempuan duduk di badan legislative. Tidak ada perempuan yang mendapat posisi pengambil keputusan di berbagai bidang. Akibatnya proses pembangunan pasca konflik berlangsung sangat bias gender. Perempuan lebih banyak difungsikan untuk mengatur hal-hal teknis yang dianggap hanya menjadi bagian dari pekerjaan perempuan, yaitu dapur. Padahal seperti disepakati oleh seluruh ibu-ibu warga Sekolah Perempuan, perempuan bukan hanya memiliki pengenalan konteks sosial, ekonomi, dan budaya tetapi juga memiliki ide, pendapat untuk menyelesaikan persoalan termasuk dalam rangka membangun Poso pasca konflik berperspektif gender. Dari segi jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki, tapi perempuan minoritas dalam menentukan kebijakan. Padahal banyak diantara keputusan-keputusan yang dihasilkan menyangkut kehidupan perempuan. Kesehatan, pendidikan, pekerjaan, lingkungan hidup dan sebagainya.
Dalam kelas, warga Sekolah Perempuan memetakan posisi perempuan dalam aktivitas publik termasuk dalam organisasi-organisasi masyarakat. Jawaban tidak, tidak, tidak ada dan tidak ada, terasa menjadi menyakitkan ketika dalam pemetaan tersebut ditanyakan apakah perempuan memegang posisi sebagai pengambil kebijakan di rapat RT, organisasi PKK, rapat desa, kecamatan, departemen di pemerintahan atau di badan legislative,yudikatif. Bahkan dalam rumah tangga, perempuan ternyata bukanlah pengambil keputusan.
Posisi nol perempuan ini disadari oleh warga Sekolah Perempuan dikarenakan konteks masyarakat yang patriakhi, perspektif yang bias gender. Mama Vira dari Sekolah Perempuan Pamona bahkan memberikan refleksinya “ternyata negara ini juga bias gender ya, kenapa perempuan tidak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat dan mendapat posisi yang setara dengan laki-laki”. Ibu Teti menyambung “Meskipun ada disebut-sebut kuota 30 % untuk perempuan ternyata sulit sekali dilaksanakan.Padahal kuota 30 % saja tidak adil dibandingkan jumlah mayoritas perempuan” Kenyataan ini disambut diskusi panjang tentang kesulitan perempuan berpolitik, dan bagaimana perempuan berpolitik.
Bagi ibu-ibu Sekolah Perempuan yang pada umumnya bekerja sebagai petani, nelayan, ibu rumah tangga, berpolitik kemudian tidak langsung diartikan dalam ruang legislative dan eksekutif. Berbekal kurikulum sebelumnnya yaitu Ketrampilan Berbicara dan Bernalar, Ibu Vira mengatakan: “ah iya, kita punya ide, punya pendapat, kita tahu bagaimana mengatakannya agar didengarkan. Sekarang saatnya perempuan maju dan didengarkan. Ayo Perempuan bicara. Ayo berpolitik”. Komentar dengan nada bersungguh-sungguh ini bukanlah langkah gampang bagi perempuan. Ruang negosiasi mereka bertingkat-tingkat, mulai dari lingkungan keluarga, komunitas hingga tingkat pemerintah, termasuk di kalangan perempuan.
Mama Be’a dari Sekolah Perempuan Lage menjelaskannya dengan sungguh-sungguh “Saya petani, lulusan hanya SMP. Bagaimana saya bisa berpolitik?Saya masih beruntung lulus SMP, bagaimana dengan yang hanya lulus SD atau bahkan tidak sekolah?Tapi saya ingin bersuara dan bicara tentang pendapat saya. Salah satu jalannya, saya masuk sekolah perempuan. Ruang politik pertama saya adalah keluarga. Keluarga saya melarang saya masuk Sekolah Perempuan karena dianggap tidak berguna, tapi saya merasa harus masuk, karena itu satu-satunya jalan bagi saya sekarang. Satu bulan saya bernegosiasi supaya saya bisa ikut sekolah dengan suami saya dengan orang tua saya.Setelah saya ikut Sekolah Perempuan, saya tahu bertoleransi, tahu apa itu gender yang menguatkan saya bahwa perempuan harus bicara, banyak pelajaran yang saya dapat. Saya punya modal untuk berbicara dan berpendapat, jadi saya mulai ikut rapat-rapat di desa. Orang-orang sudah bilang saya mau jadi kepala desa. Saya bilang, kenapa tidak?Tapi bukan hanya itu. Bagi saya semakin banyak perempuan punya pengetahuan dan berani membicarakan pendapatnya, perempuan akan diakui dan mendapat tempat di ruang publik”
Ibu Siti dengan penuh semangat menyambutnya “Betul, kita harus berjuang dari nol. Biasanya ada juga perempuan yang masuk dalam ruang politik karena mereka berpendidikan tinggi dan orang punya uang tapi mereka tidak kenal kita, kita tidak kenal mereka. Mereka datang dengan pendapat mereka, dan akhirnya yang diuntungkan hanya mereka saja, bukan kita masyarakat yang lama berdiam disini dan hidup dari tanah kita disini” Sambung menyambung ibu-ibu di Sekolah Perempuan hampir memiliki pendapat yang sama bahwa perjuangan perempuan untuk berpolitik dalam konteks pasca konflik dimulai dari membangun kesadaran; berhadapan dengan masyarakat patriakhi yang menyepelekan perempuan bukan saja kaum laki-laki tetapi juga kaum perempuan.
Sekarang, hubungan antara dinamika politik dalam negeri bahkan luar negeri diketahui ibu-ibu punya hubungan dengan hari ini mereka bisa makan apa atau bagaimana jaminan kesehatan, pendidikan, bagi keluarga mereka, bagi pekerjaan. Juga tanah mereka. Mengetahui bagaimana kehidupan sehari-hari mereka diatur oleh kebijakan-kebijakan politik oleh segolongan orang yang mungkin bukan hanya tidak mengenal konteks kehidupan mereka namun juga tidak peduli dengan kehidupan mereka selain karena posisi politik dan uang. Bukan untuk kesejahteraan masyarakat.
Mengetahui itu, secara bersamaan para ibu-ibu Sekolah Perempuan di semua tempat, dari 14 desa yang bergabung di Sekolah Perempuan Mosintuwu membangun tekad dan kesepakatan bersama untuk pertama-tama membangun kesadaran politik, dan menggunakan serta berpartisipasi dalam ruang-ruang politik. Mulai dari ruang politik di desa, kecamatan, kabupaten.
“Kalau bukan perempuan, siapa lagi” setidaknya mengekspresikan tekad para perempuan di Sekolah Perempuan. “Ayo berpolitik, tentukan nasib kita sendiri”
Hari itu di Sekolah Perempuan, kelas diakhiri dengan lagu hasil karya ibu Sekolah Perempuan.
“Majulah terdepan semua perempuan Poso/Jadikan dirimu teladan
Kembangkan pribadi, dan komunitas / Satukan tekad
Maju perempuan poso/Janganlah ragu-ragu/Gapai cita-citamu
Memimpin masyarakat/ mengambil keputusan/
Bersama menuju kemakmuran”
“If not women, who else?” this question is asked over and over at the end of their class by participants of the Women School. For several days in that class, they paid serious attention and were involved in the discussion. These women believed that the theme not only is interesting, but also disturbing if not carried out. In four sessions of the curriculum on Women and Politics, these women participants are taught to understand politics and how a political decision affects the price of the food they buy for their daily meals. They also come to understand why women should be involved in politics and why it has to be women.
The basic understanding of gender bias by the students of the Women School made it easy for them to know why women should be active in community building. Prior to that, they didn’t know what politics was and how politics could affect their daily lives. After joining the school, they became aware that every political decision at different levels of government affects their lives. This awareness encourages them to participate actively in community building in all aspects of life, from the village to the district.
In the Poso district, the women are painfully aware of the fact that there are no women representatives in the legislative body. There is no woman in the decision-making process in any fields. As a result, the process of the post conflict rebuilding is very gender biased. For the most part, women are assigned duties that are considered to be ‘women’s work,’ i.e., in the kitchen.
The truth is, the participants of the Women School are in agreement that women not only are smart about social, economic and cultural subjects, they also have ideas and visions to solve problems in order to develop post-conflict Poso from a woman’s perspective.
Women outnumber men but when it comes to the policy and decision-making, women are in the minority. The men make the decisions that concerns women’s lives, e.g., health, education, jobs, environment, etc.
In class, these women participants map out women’s positions in public activities, including community organizations. When a question is asked about women’s roles in decision-making in the neighborhood, the village, the subdistrict, or the governmental body like the judicial and legislative bodies, the answer is ‘no, no, and none.’ This answer makes them angry. Even in their own homes, these women do not have the right to make any decisions.
The students of the Women School are aware of the ‘zero women participation.’ This is all due to the patriarchal society and the gender-biased perspective that prevails in the community. Mrs. Vira from the Pamona Women School reflected, “It turns out this country is gender biased. Women are not given a chance to express their opinions, and they don’t get positions equal to men.” Mrs. Teti added, “Even though women are supposed to have a 30% quota, it is very difficult to fill the quota. Even so, that 30% quota is still not fair considering the fact that men are outnumbered by women.” They emphasize the difficulty of women becoming involved and how they can participate in politics.
In general, the students of the Women School work as farmers, fishers, or housewives. They associate ‘getting involved in politics’ with ‘being in the legislative body or executive office.’ After evaluating the logic and the speaking skills at the Women School, Mrs. Vira said, “Indeed we have ideas, we have opinions. We know how to express our thoughts, to be heard. Come on, Women, speak up! Come on, get involved in politics!” These comments, spoken in earnest, are not easy to carry out. The women face layers and layers of obstacles, starting with their families, their communities, and finally the government. The obstacles come even from other women.
Mrs. Be’a from the Lage Women School told her story: “I am a farmer. I only finished middle school. How can I be active in politics? I feel blessed I finished middle school. What about ladies who got only an elementary school education? Or didn’t go to school at all? But I wanted to speak up, I wanted to express my opinions. One way to do it was learning at the Women School. My first political forum was my family. My family would not let me go to school. They considered it useless, but I felt that I needed to go, because I thought that was the only way for me. I negotiated with my husband and my parents for a whole month so that they would let me go to school. After I learned at the the Women School, now I know something about tolerance and gender. This knowledge encouraged me to speak. I learned a lot from the school. Mrs. Siti agreed. She responded spiritedly, “ Indeed, we have to start from zero. Sometimes we see women active in politics because they are highly educated and they have money, but they don’t know us and we don’t know them. They come with their own ideas, and in the end, they get the benefit. They are not thinking about us, about those in the community who have been here for a long time and lived off the land.”
In the discussion at the Women School, the participants agree that the women’s goal of equality has to start by raising an awareness, because they are facing a patriarchal society that underestimates women. Not only men treat women badly, but women as well.
Now, these women know that the political dynamics within the country, or even outside the country, are connected with what they eat today, with the health and education of their families, and with their work. These dynamics also have something to do with their land. They know that their daily lives are determined by political decisions of a group of people who may neither know their situations nor care about their lives. What these politicians care about are their own lives, their political positions and money, NOT the welfare of the community.
Knowing this, the Mosintuwu Women School participants from all fourteen villages in Poso unanimously concluded that together they need to, first and foremost, increase political awareness, take advantage of and participate in the political forum – from the village to the sub-district and all the way to the Poso district. Their motto, “If Not Women, Who Else?” expresses the strong belief of the women participants in the Women School. “Get involved in politics, let’s determine our own fates!”
That day, the class ended with a song, written by the participants of the Women School.
“Move to the front, all women of Poso/
Make yourselves models for others/
Develop your personalities and community/
Let’s be one in our conviction.
“Move forward, all women of Poso/
Don’t hesitate, reach your dreams/
Lead the community and make decisions/
And together we move toward prosperity.”
Spot on with this writeup, I actually believe this website needs a great deal more attention. Ill probably be returning to read through more, thanks for the info! adkefkgfdagd