Hari itu Sekolah Perempuan lebih formal dari biasanya. Sebabnya, didatangi pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten Poso. Kedatangan Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian dan Dinas Kesehatan di Sekolah Perempuan Mosintuwu adalah rangkaian dari kurikulum Hak Layanan Masyarakat dan Hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan Hak Sipil Politik. Sebelum kedatangan staf dinas terkait, para ibu Sekolah Perempuan telah menerima materi Pelayanan Masyarakat Pasca Konflik Poso, Advokasi Pelayanan Masyarakat, Hak Ekosob Sipol, perempuan dan pemenuhan hak ekosob sipol. Teori, informasi dan pengetahuan dari materi tersebut telah memperkaya mereka untuk mengajukan berbagai usulan, memberikan pendapat terkait pembangunan pasca konflik di Kabupaten Poso. Dalam materi advokasi pelayanan masyarakat misalnya, perempuan di Sekolah Perempuan belajar mengenai advokasi kasus dan advokasi kelas.
Usulan menghadirkan staff Pemerintah Daerah Kabupaten Poso diawali dari kesadaran sulitnya akses perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbang), sekaligus pesimisme usulan yang diajukan dalam Musrenbang dapat direalisasikan, tidak mementingkan negosiasi ekonomi politik lokal. Selain itu banyaknya korupsi, kolusi, nepotisme yang terjadi dalam proses pembangunan menyulitkan akses masyarakat miskin khususnya perempuan.
Jauh hari sebelum pertemuan hari itu, para ibu-ibu telah berkumpul bersama mendiskusikan temuan-temuan terkait isu sosial, budaya, ekonomi, politik. Hari itu semua hal terkait pendidikan, kesehatan, pertanian , pembangunan umum dibicarakan secara gambling oleh para ibu-ibu. Kurikulum ketrampilan berbicara dan bernalar telah membantu mereka untuk bisa menyampaikan catatan kritis dan tuntutan kepada masing-masing dinas secara sistematis. Kesadaran akan perlunya partisipasi perempuan dalam ruang-ruang politik mendorong semua ibu-ibu berbicara hari itu. Contoh kasus misalnya beras miskin yang diberikan kepada pegawai negeri bukan kepada warga miskin, kasus dana BOS yang dikorupsi oleh pegawai sekolah, data JAMKESMAS yang diberikan kepada warga dengan ekonomi menengah ke atas, hingga jalanan, jembatan rusak dan akses listrik dan air yang macet adalah salah satu fakta-fakta dalam masyarakat yang diceritakan ibu-ibu ini. Tidak hanya menceritakan persoalan yang mereka temui sehari-hari atau mengkritik, para ibu juga mengajukan usulan dan pendapat soal model penanganan pembangunan, penyaluran hak masyarakat.
Sebelumnya, jangankan soal hak EKOSOB SIPOL, beberapa anggota Sekolah Perempuan tidak mengenal apa itu Hak Asasi Manusia. Setelah mengenal HAM, terutama mengenai Hak EKOSOB SIPOL ibu-ibu Sekolah Perempuan memiliki kesadaran bahwa mereka memiliki hak untuk memperjuangkan kehidupan mereka. Sebelumnya terdapat ketakutan untuk memperjuangkan kehidupan mereka, termasuk hak-hak mereka jika mereka telah mengalami intimidasi dari aparatur pemerintahan atau militer. Ibu Mirna dari Sekolah Perempuan mengatakan “kita ini orang kecil, kalau mau protes nanti tiba-tiba rumah didatangi aparat desa, aparat kecamatan atau aparat keamanan, jadi takut. Kalau sudah tahu begini kan saya bisa protes, kritik dengan alasan yang jelas” Sekarang, ibu-ibu Sekolah Perempuan mulai mengorganisir diri sebagai komunitas perempuan yang bisa memperjuangkan kehidupan mereka terutama komunitas mereka.
Di Desa Tangkura, misalnya anggota Sekolah Perempuan melakukan identifikasi kekayaan sumber daya alam yang selama ini dikelola oleh masyarakat dari luar tanpa memberikan sumbangan bagi masyarakat. Didiskusikan dengan pemerintah desa agar masyarakat dapat mengelola kekayaan alam sendiri sehingga dapat membawa keuntungan bagi masyarakat. Di Desa Labuan, kekayaan laut yang dimiliki oleh masyarakat banyak diambil oleh tengkulak dari luar sehingga anak-anak di Labuan kekurangan gizi. Menyadari hak ekonomi,sosial,budaya mereka, anggota Sekolah Perempuan mengajukan tuntutan untuk dapat mengelola kekayaan alam mereka yang dapat menguntungkan masyarakat. Di Pamona, warga pengungsi yang memutuskan untuk tinggal di Pamona kesulitan mendapatkan akses pekerjaan, akses pembangunan dikarenakan status mereka sebagai pengungsi. Melalui Sekolah Perempuan, perempuan memberikan usulan kepada pemerintah mengenai kondisi ekonomi, sosial, budaya di lingkungan mereka dan menuntut hak mereka sebagai warga Negara.
Kurikulum ini membuat Ibu-ibu Sekolah Perempuan yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah memiliki informasi dan akses mengenai Pelayanan masyarakat.Ibu. Berdasarkan informasi tersebut, di semua Sekolah Perempuan dilakukan identifikasi Pelayanan Masyarakat yang ada di masing-masing desa, dilanjutkan dengan menghubungi pemerintah desa untuk melakukan penuntutan atas hak-hak yang selama ini mereka tidak dapatkan. Hal ini dilakukan di Desa Tangkura, Desa So’e, Kelurahan Buyumpondoli, di Desa Bategencu, Labuan. Sementara itu di desa-desa lain, anggota Sekolah Perempuan membicarakan mengenai Pelayanan Masyarakat yang diberikan tidak tepat sasaran, bukan kepada orang-orang yang membutuhkan selain terjadinya korupsi dan nepotisme. Terhadap hal ini anggota Sekolah Perempuan mulai melakukan advokasi bersama.
Kurikulum ini mendasari pengetahuan anggota Sekolah Perempuan untuk memperjuangkan tanah dan kehidupan kebudayaan mereka sebagai bagian dari perjuangan hak asasi manusia. Ibu Asni dari Sekolah Perempuan Poso Pesisir mengatakan “ perempuan sekarang punya opini dan tahu bagaimana memperjuangkannya. Kita sudah dapat ilmu, sayang kalau ilmu disia-siakan, seperti sarjana yang pengangguran. Jadi kami sudah bertekad setelah ini kami praktekkan. Damai itu untuk keadilan, tidak ada damai kalau tidak ada keadilan untuk masyarakat”