Sekolah Perempuan Interfaith, Angkatan IIInterfaith Women School, 2nd batch

0
1888

Kau bisa membayar orang untuk Pendidikan

Tapi kau tidak bisa membayar orang untuk Kepedulian

Marva Collins

Kebutuhan akan pengetahuan dan kepentingan untuk perdamaian, mendorong banyak perempuan menginginkan lebih banyak ruang pendidikan alternatif yang terbuka dan bisa mengakomodir suara mereka. Maka, meskipun Sekolah Perempuan Mosintuwu di tahun 2011 telah berakhir, permintaan agar Sekolah Perempuan dibuka kembali di wilayah yang lebih luas telah mendorong Mosintuwu membuka kembali Sekolah Perempuan angkatan ke dua.

 Sejak bulan Juni 2012, Mosintuwu telah menjajaki beberapa wilayah desa potensial untuk mengembangkan kembali Sekolah Perempuan. Terdapat 22 desa baru dari 5 kecamatan, masing-masing Desa Kilo, Kalora, Kawende di Poso Pesisir Utara; Kelurahan Kayamanya, Moengko Baru, Moengko Lama, Bonesompe, Tegalrejo, Sayo dan Lembomawo di Kecamatan Poso Kota Utara, Poso Kota dan Poso Kota Selatan; Desa Sintuwulembah, Tampemadoro, Pandiri, Tambaro dan Watuawu di Kecamatan Lage; serta Kelurahan Pamona, Buyumpondoli, Sangele, Sawidago, Toaro, So’e di Kecamatan Pamona Puselembah.

Angkatan ke II Warga belajar sekolah perempuan lebih variatif. Mereka  bukan hanya terdiri dari beberapa desa, tetapi juga berasal dari berbagai agama yaitu Islam, Kristen (dari berbagai aliran), dan Hindu , juga berasal dari beragam suku di Kabupaten Poso. Berada di satu kelas untuk belajar bersama selama kurang lebih 9 bulan membuka kesempatan bagi mereka untuk mengurai trauma konflik, membuka pemikiran kritis dan postif tentang agama dan suku lain, termasuk membangun kembali rasa percaya yang hilang karena konflik. Hal ini memungkinkan mereka untuk bekerja bersama bukan lagi atas nama agama atau suku tetapi sebagai perempuan Poso.

Antusiasme mengikuti Sekolah Perempuan, terlihat dari keinginan banyak perempuan bahkan mereka yang sudah berulangkali mengikuti workshop dan training ingin ikut di Sekolah Perempuan. Seorang pimpinan sebuah organisasi perempuan yang juga baru baru berdiri juga berulangkali meminta agar diikutkan dalam Sekolah Perempuan. Namun, Sekolah Perempuan menargetkan perempuan dari kelas menengah ke bawah yang selama ini tidak memiliki akses dalam memperoleh pendidikan atau tidak memiliki akses sosial, ekonomi, politik. Maka, sebagian besar ibu-ibu Sekolah Perempuan adalah mereka yang bermata pencaharian petani dan ibu rumah tangga.

Keberhasilan Sekolah Perempuan Mosintuwu angkatan I memang telah mendorong banyak pihak untuk bisa mengikuti Sekolah Perempuan. Ya, bukan uang duduk atau uang transportasi yang menjadi daya tarik Sekolah Perempuan Mosintuwu seperti yang selama ini sering terjadi di forum-forum belajar lainnya. Sekolah Perempuan Mosintuwu “menjanjikan” adanya ruang membangun kesadaran kritis, membongkar kesadaran naïf dan kesadaran magis tentang sosial, budaya, ekonomi, politik yang selama ini meminggirkan, menyingkirkan perempuan. Mereka menyebut diri warga belajar bersama.

Baca Juga :  Menyusuri Biota Endemik Danau Poso Bersama Anak-Anak Desa Dulumai

Kurikulum yang dibangun memiliki tiga tahapan penting: membangun kesadaran, mengubah cara berpikir; pembiasaan cara berpikir kritis dan praktek. Kurikulum tersebut dibangun dalam 8 modul utama, yaitu Agama, Toleransi dan Perdamaian; Gender; Perempuan dan Budaya; Ketrampilan Berbicara dan Bernalar; Perempuan dan Politik; Hak Layanan Masyarakat; Hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan Hak Sipil Politik; Manajemen Ekonomi Komunitas.

Jangan bayangkan ruang kelas Sekolah Perempuan Mosintuwu megah. Bahkan ruang kelas Taman Kanak-kanak mungkin masih bagus. Rumah penduduk, lapangan terbuka, rumah ibadah yang dikunjungi, balai desa adalah ruang belajar para perempuan ini. Begitu juga metode belajar. Ceramah bervariasi dari tokoh agama, tokoh budaya, tetapi lebih sering dilakukan diskusi kelompok, bermain peran, menonton dan menganalisis film, membuat film pendek, melakukan permainan bermakna, kunjungan lapangan ke rumah-rumah ibadah, menulis surat dan sebagainya. Ada juga konsep pekerjaan rumah yang dikerjakan ibu-ibu di rumah bersama dengan keluarga, anak juga suami. Konsep pekerjaan rumah ini adalah salah satu cara agama keluarga ikut terlibat dalam proses Sekolah Perempuan meskipun tidak langsung.

Sebagai sebuah ruang belajar bersama, Sekolah Perempuan juga tidak menutup diri dari kritik dan saran agar terus menerus membangun komunitas. Proses tidak selalu sempurna, namun setiap proses selalu dimaknai untuk ruang belajar agar bisa semakin dewasa dan kritis terhadap konteks sosial, ekonomi, budaya dan politik. Hanya dengan demikian Sekolah Perempuan bisa bersama-sama berjuang dengan komunitas menuju kedaulatan rakyat. Sekolah Perempuan pada akhirnya diharapkan dapat menjadi  sebuah gerakan interfaith untuk perjuangan hak ekonomi, sosial, budaya dan hak sipil politik di wilayah pasca konflik. Perjuangan perempuan bukan hanya untuk perdamaian di wilayah pasca konflik tapi sekaligus berjuang untuk keadilan atas sumber daya alamnya.

Sekolah Perempuan pada akhirnya diharapkan dapat menjadi  sebuah gerakan interfaith untuk perjuangan hak ekonomi, sosial, budaya dan hak sipil politik di wilayah pasca konflik. Perjuangan perempuan bukan hanya untuk perdamaian di wilayah pasca konflik tapi sekaligus berjuang untuk keadilan atas sumber daya alamnya.

Baca Juga :  Film Sekandung Badan : Beda Agama Tidak Putuskan Kekeluargaan

Sekolah Perempuan Mosintuwu sudah akan dimulai pada bulan Juli 2012. Rangkaian cerita Sekolah Perempuan akan menjadi bagian dari proses belajar bersama di media ini.

 

You can pay for education

but you can not  pay for compassion

“Marva Collins”

 

The need for knowledge and the struggle for peace have led many women to demand more space of alternative education that is open and accommodating their voices. Therefore, Mosintuwu Women School, ending its first batch on 2011, once again has been opened for the year 2012 registration; only this time it has expanded its scope to more areas for the second batch to address the need above.

Since June 2012, Mosintuwu conducted assessment in several new areas which were assumed to be potential to be included in Women School working area. There are 22 new villages in 5 sub-districts: Kilo, Kalora and Kawende villages in North Poso Pesisir sub-district; Kayamanya, Moengko Baru, Tegalrejo, Sayo and Lembomawo villages in North Poso Kota, Poso Kota and South Poso Kota sub-districts; Sintuwulembah, Tampemadoro, Tambaro and Watuawu villages in Lage sub-district; and Pamona, Buyumpondoli, Sangele, Sawidago and Toare villages in Pamona Puselembah sub-district.

The enthusiasm to join Women School could be witnessed in the number of women attending the opening ceremony; some of them had already attended series of workshops and trainings but stated that they still wanted to join another period of Women School. A coordinator from one newly-founded women organization had for several times requested that she would be involved in the next Women School. Women School aims at women of middle and lower class, those who do not have access to education, social, economy and politic resources. Naturally, the majority of members of Women School are women working as farmer and housewife.

Mosintuwu Women School first batch success has motivated many to participate in the next batch. Money is not the reason. They did not come for the transportation or attendance money as has been the common pull-factor for people attending other learning forums. What Women School put on table as a “guarantee” is that a room will be made available for them to learn about the building of critical awareness, deconstructing magical and naive consciousness over social, cultural, economic and political issues where their roles and position as women have been discriminated. Here, they call themselves the members of collective learning.

Baca Juga :  Mendengar Anak, Mengimajinasikan Masa DepanListening Children, Imagining the Future

The curriculum developed contains three important phases: awareness building, changing the set of thinking, getting into the habit of critical awareness and exercising critical awareness into practice. The curriculum is built into 8 main modules: 1) religion,  tolerance and peace, 2) gender, 3) women and culture, 4) verbal and logical thinking skills, 5) women and politic, 6) public service rights, 7) economic-social-cultural rights and civil-politic rights, 8) community economy management.

What we have is far from luxury. We never intend to be. Our “classrooms” may even be modest compared to a pre-school classrooms. We do our activities in villagers’ livingrooms, open and outdoor space, we visit places of worship, community centers, etc. We try to include as many varietes as possible in our learning methods. Religious and cultural leaders still lecture. But we also do group discussions, role-play, movie discussion sessions, producing short movies, thematic games, field visits to worship places, letter writing, etc. We also assign our members some homework concept that they can discuss with their family members, children and husbands. Homework concept is one of the means to indirectly involve non-members such as family members into Women School activities.

We encourage critics and recommendations. They are our amunitions to sustainable self-improvement and community empowerment, our interpretation to be critical against social, economic, cultural and political context we live in. Though we know it is impossible, we commit ourselves to excellence. Our imperfect process will be interpreted into wider learning possibilities. That keeps us going towards maturity and people sovereignty.

In this journey we endure, we are ready to proceed to the next step. We will commence our activities on July 2012. A series of story on Women School will become part of shared learning process in this media.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda