Satu Orang Tamak dan Seribu Orang Peduli

1
1888

“Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh manusia

 tetapi tidak cukup untuk mencukupi satu orang tamak

– Mahatma Gandhi

Seorang kakek bercerita “Lima puluh tahun yang lalu, daerah pegunungan di Tentena ini adalah lokasi surga dunia. Kedamaian didapat bukan hanya dari pemandangan alamnya tetapi juga dari kekayaan alam yang digunakan penduduk. Spesies ikan di Danau sangat beragam, beragam tumbuhan yang juga berfungsi sebagai obat alami hidup, jenis makanan beragam didapat dari alam dan penduduk bisa makan apa saja yang ada di alam. Kita masih bisa berburu binatang, berjalan kaki atau naik sepeda, mandi dengan sukacita di danau. Dua puluh tahun kemudian, daerah ini seperti orang yang baru saja terkena kecelakaan parah di bagian kaki, lalu harus dimasukkan benda-benda asing yang mengubah fungsinya hanya sekedar bertahan hidup. Bukan lagi surga yang saya kenal. Katanya demi pembangunan. Saya tidak bermaksud menolak pembangunan” katanya cepat-cepat, bermaksud menjelaskan “yang saya maksudkan adalah, kenapa kita tidak bersyukur  memiliki bumi dan alam ini dengan merayakannya bersama-sama, bukan memanfaatkannya?”

Cerita kakek di salah satu desa di sekitar Danau Poso, danau ketiga terbesar di Indonesia ini, bukanlah satu-satunya cerita yang menggambarkan pergeseran perubahan luar biasa yang dialami oleh alam dan manusia di Tentena pada khususnya dan di Poso pada umumnya. Kata pembangunan, sejak tahun-tahun pembangunan di Indonesia, disebut sebagai sebagai jimat yang memaksa manusia di sekitarnya mengubah alamnya, memanfaatkannya dengan mengeksploitasi dan tidak pernah bersyukur atas alam. Fenomena pembangunan di Kabupaten Poso pasca konflik seringkali dijadikan indikator perdamaian. Kedatangan investor yang diundang oleh Pemerintah Kabupaten Poso tanpa batas ke wilayah yang kaya sumber daya alam ini  dijadikan tolak ukur keamanan. Hukum rimba berlaku. Mereka yang memiliki kekuasaan dan uang menjadi penguasa kekayaan alam, sementara masyarakat Poso tersingkir dari alamnya.

Menjadikan kembali alam menjadi milik masyarakat untuk dirayakan bersama, bukanlah pekerjaan yang mudah dalam kompleksitas kepentingan ekonomi, politik yang melingkupinya. Karena itu Institut Mosintuwu memulai dari langkah kecil. Membayar kembali apa yang telah diambil dari alam melalui Bank Sampah dan Bengkel Hijau. Bank Sampah adalah project baru di Mosintuwu yang bersama-sama dengan komunitas bukan hanya meminimalisir penggunaan sampah , terutama unorganik, tetapi juga mengubah cara pandang tentang sampah. Sementara Bengkel Hijau adalah ruang kreasi yang menghidupkan sampah menjadi sesuatu yang berguna. Kedua project komunitas ini  bergabung dalam program Malinuwu Project di Mosintuwu.

Secara resmi, Bank Sampah diluncurkan Mosintuwu bersama dengan komunitas pada tanggal 16 Juli 2012. Peluncuran Bank Sampah ini diawali dengan seminar lingkungan hidup dengan tema ”Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Wisata Danau Poso”. Dihadiri oleh komunitas generasi muda dari sekolah-sekolah di sekitar Tentena, para akademisi dari tingkat Sekolah Menengah Pertama hingga Universitas, para budayawan, warga Sekolah Perempuan, juga dari pemerintahan desa/kelurahan dan kecamatan, peluncuran Bank Sampah disambut sangat antusias. Sebelumnya dalam seminar yang menghadirkan Chalid Muhamad, direktur Institut Hijau Jakarta, dan Dr. Pingkan dari Universitas Tadulako, komunitas yang bergabung dengan Mosintuwu diajak untuk melakukan kritik dan otokritik terhadap kebijakan pemerintah terhadap ruang, juga kebiasaan masyarakat terhadap sampah. Dalam presentasinya, Chalid Muhamad, mantan Direktur Walhi Nasional ini memberikan gambaran mengenai kepentingan ekonomi dan politik koorporasi nasional dan internasional terhadap penguasaan ruang di Indonesia yang mengakibatkan tersingkirnya masyarakat dari alam dan termiskinkannya masyarakat. Dalam catatannya, Chalid mengatakan saat ini daratan, lautan, udara di Indonesia yang didiami oleh lebih dari 220 juta orang dikuasai oleh hanya 0,2 % orang. Keberadaan Danau Poso dan alam di sekitarnya menurut Chalid Muhamad juga adalah sebuah ruang yang kemudian harus diperjuangkan juga oleh komunitas agar tidak dimiliki hanya oleh sekian persen orang saja. Melanjutkkan presentasi Chalid,  Dr. Pingkan seorang perempuan ahli tata ruang hijau di Sulawesi Tengah, melalui presentasinya mengenai Kota Hijau, mengajak komunitas untuk memperjuangkan ruang baginya dengan menciptakan kota yang menjamin rasa nyaman, bersih, aman dan bahagia dengan memberikan contoh kota-kota di Eropa yang mendapatkan penghargaan sebagai kota hijau di dunia. Dr. Pinkan memberikan sumbangan pemikiran mengenai konsep Taman Danau Poso. Untuk bisa menciptakan kota hijau dengan konsep Taman Danau Poso, Dr. Pinkan menyebutkan perencanaan bersama komunitas adalah salah satu langkah awal.

Baca Juga :  Perempuan Poso Membangun Indonesia dari Poso

Pembicaraan mengenai politik ruang oleh Chalid Muhamad dan rencana kota hijau oleh Dr. Pingkan terhadap sekitar 150 peserta yang hadir di ruang auditorium UNKRIT hari telah mengobarkan semangat komunitas untuk bermimpi tentang sepuluh tahun nasib Kota Tentena. Yustinus Hokey, budayawan Poso merespon dengan mengatakan ”saya bermimpi, sepuluh tahun lagi alam di kota Tentena dan sekitarnya akan menjadi seperti lima puluh tahun lalu. Dia menjadi milik masyarakat”. Secara beruntun, para peserta mengacungkan tangan dengan antusias menyambut mimpi ini untuk ditindaklanjuti menjadi konsep bersama komunitas. ”Saya bersedia, kami mendukung dan akan mengumpulkan komunitas lainnya untuk bisa bersama-sama mewujudkan Kota Hijau, Taman Danau Poso” demikian komitment yang muncul dari perwakilan gereja, perwakilan sekolah, perwakilan komunitas pengungsi, wakil guru hingga aparatur pemerintah kecamatan.   Lian Gogali, Direktur Mosintuwu dalam responnya terhadap antusiasme masyarakat mengatakan akan menindaklanjuti konsep ini dengan perencanaan komunitas dengan melibatkan seluruh komunitas, termasuk Pemerintah Kecamatan Pamona Puselembah yang telah memberikan respon positif.

Langkah tindak lanjut yang segera dilaksanakan oleh Institut Mosintuwu adalah Bank Sampah. Wilianita Selviana, Koordinator Malinuwu Project, kemudian menjelaskannya. Gaya hidup instan yang mendorong hidup yang tidak berkelanjutan, misalnya dengan penggunaan plastik adalah salah satu penyumbang terpolusinya kota atau desa. Kehadiran Bank Sampah Mosintuwu adalah langkah awal untuk mengajak masyarakat bertanggungjawab terhadap gaya hidup yang tidak berkelanjutan tersebut. Melalui Bank Sampah, komunitas masyarakat diajak untuk disiplin dalam menggunakan sampah yang tidak dapat didaur ulang, menjadi sesuatu yang dapat diproduksi kembali. Di Bank Sampah, masyarakat diajak untuk tidak membuang segala jenis sampah plastik, sebaliknya menabungnya. Seperti bank lain-nya, Bank Sampah juga memiliki buku tabungan yang mencatat setiap sampah yang ditabung untuk diklaim dananya pada akhir tahun.  Sampah-sampah yang ditabung ini kemudian akan diolah oleh Bengkel Hijau menjadi sesuatu yang bisa digunakan kembali oleh masyarakat. Karena itu perbedaan utama Bank Sampah Mosintuwu dengan bank-bank lainnya bukan hanya pada jenis tabungannya tetapi pada komitmen yang menyertai diterimanya nasabah di Bank Sampah. Pada bagian buku tabungan, semua nasabah berkomitment untuk tidak membuang sampah sembarang dan menyumbangkan diri dalam aktivitas penyelamatan lingkungan hidup.

Dalam presentasinya, Wilianita, panggilan akrab mantan Direktur WALHI Sulteng ini, menunjukkan contoh sampah plastik yang dipakainya menjadi tempat sepatu. Penjelasan dan demonstrasi kecil ini mendapatkan sambutan luar biasa dari peserta bukan hanya dengan mengajukan diri menjadi anggota bank sampah tetapi juga membuka kantor cabang Bank Sampah Mosintuwu. Saat ini Bank Sampah Mosintuwu berkantor pusat di Kantor Mosintuwu dan memiliki 5 kantor cabang, yaitu di SMU Negeri I Tentena, SMU GKST II, SMP Bukit, SMK GKST I, dan Komisi Wanita Gereja Bukit Moria. Jika bank lainnya dibuka hari Senin hingga Jumat dan tutup pada hari Sabtu, Bank Sampah Mosintuwu sebaliknya membuka layanan pada hari Sabtu. Presentasi kemudian dilanjutkan dengan penyerahan buku tabungan Bank Sampah secara simbolis  oleh Direktur Mosintuwu, Lian Gogali, kepada lima nasabah pertama Bank Sampah Mosintuwu. Antusiasme penyelamatan lingkungan hidup kemudian menjalar begitu cepat. Beberapa jam setelah Bank Sampah resmi dibuka, telah terdaftar lebih dari 50 nasabah bank sampah, dan dua calon cabang Bank Sampah lainnya.

Bank Sampah hanya sebuah langkah awal, untuk menyelamatkan masa depan, dengan mengubah cara hidup. Merubah dunia memang tidak mungkin dilakukan oleh satu orang, dan lebih tidak mungkin lagi jika seseorang tidak mencobanya. Dan waktunya adalah: Sekarang!

“Earth provides enough to satisfy every man’s need,

but not every man’s greed” – Mahatma Gandhi

An old man revisiting his memory: “Fifty years ago, this mountainous area, Tentena, is one heaven on earth. You found peace by looking at it. Its richness we explored was our source for a peaceful living. The fish in the lake was highly varied, medicinal plants were everywhere, and food crops flourished were so diverse they were enough for all of us. We could still hunt animals, walk or ride bicycles to get to places and bathed in the delightful fresh water in the lake. Within only twenty years, what this place has become is like a man with his legs just being crushed from an accident, that he needs strange objects to be inserted into his body, changes his ways of functioning just to survive his life. The heaven I know has disappeared. They said this was for the sake of development. No, I am not against it, the development,” he quickly added, “What I mean is, why can’t we be thankful to have this earth and mother nature within our possession by celebrating it together, not by excessively exploiting it?”

Baca Juga :  Siap Pimpin Pembaharuan Desa, Ibu-ibu Kembali Bersekolah

The old man’s story is just one among many memories of change on Poso Lake, the third biggest lake in Indonesia. What Poso Lake has gone through is a relatively major nature and people transformation in Tentena, in local scope, and Poso, in the bigger scope. The word ‘development’ during the period of national development plan implementation has become the “magic” word that forces the inhabitants to alter the natural surroundings, to exploit and to never show respect to Mother Nature. The local development in Poso district that is translated into the arrival of investors has been an excuse of being the indicators of peace and guaranteed benchmarks for safety. The government has been inviting and encouraging investors coming from outside to invest and wear off limitlessly, using up the rich natural resources, overpowering local people’s access to natural resources, as competition would mean survival of the fittest. They are no longer the master of their own land.

To regain and recover our ownership would never be an easy job, with intertwined complexities of economy and political interests. However, Mosintuwu institute determines to initiate little steps, programming the garbage bank (bank sampah) and green workshop (bengkel hijau) as our effort to pay back to nature. Garbage bank is Mosintuwu new project that involves community members not only in reducing inorganic waste, but also changing community perspective toward garbage. Green workshop is meant to be a space for creation which transforms waste into something of more value. These two projects are under the Malinuwu program in Mosintuwu.

A public environment seminar was held on July 16, 2012 with the theme “The Availability of Green Open Space in Poso Lake Tourist Area”. Attending the program was the young generation from the nearby schools in Tentena, students from middle schools to university, cultural observers, members of Mosintuwu Women Schools and officials from villages and the sub-district.

In the morning session, Chalid Muhammad, the director of Institut Hijau Jakarta, also a former director of National WALHI, was the keynote speaker, together with Dr. Pingkan from University of Tadulako, and community group that has joined Mosintuwu’s work, were invited to communicate their criticism and self-criticism against government policy and citizens’ practice on waste products. Mr. Chalid brought the future vision of economy and political interest owned by national and international corporates on the domination over territory in Indonesia that would cause people marginalization out of natural environment and poverty. In his note, Mr. Chalid stated that by the time, the land, water and aerial space in Indonesia where 200 million people reside were controlled by not more than 0.2% of the population. Lake Poso and its surrounding is also a territory that needs to be won over by the major population.

Chalid’s presentation was followed by Dr. Pingkan, an expert in green spatial in Central Sulawesi. She presented the concept of Green City, suggested that the community strive for their own territory by creating a city that guarantees comfort, good sanitation, security and welfare. She gave example the cities in Europe that were decorated with green awards. Dr. Pingkan claimed that it was the community participation starting from the planning phase should the concept for Lake Poso Garden be carried out.

Baca Juga :  Handbook Peringatan dan Tanggap Dini Konflik di Poso

The discourse of spatial politic by Chalid Muhammad and the green city planning by Pingkan received very well by around 150 attendants in the auditorium hall in UNKRIT that day had flared up the spirit of the community to start visioning Tentena in ten years ahead. Yustinus Hokey, Poso cultural observer responded: “I have a dream that in the next ten years, Tentena environment and its surrogates will become like what it looked like fifty years ago. That it will reside in the lap of the people’s possession.”

Several attendants eagerly raised their hands to embrace the vision to be fulfilled in the community shared concept. “I am willing, I am determined and I will raise community support to pursue the Green City vision, Lake Poso Garden,” such as was the commitment expressed by the representatives from the church, school, IDPs, teacher and sub-district officers. Lian Gogali, the Mosituwu director, in her response toward the people’s enthusiasm stated that she should follow up the concept involving community planning from all sectors including Pamona Puselemba sub-district local government that had also showed their positive respond.

At the same day, garbage bank was launched. One concrete step to be taken by Mosintuwu Institute in realizing the green concept was the Garbage Bank Project. Wilianita Selviana, the Coordinator for Malinuwu Program, followed with her presentation on garbage bank. Instant-oriented lifestyle has been stimulating unsustainable living, for example the use of plastic that contributed to city and village pollution. Mosintuwu Garbage Bank is an effort to promote the responsibility attitude towards environment, to diminish the so-called unsustainable living. The community members would be encouraged to organize domestic waste that can be recycled into other productive manner. In garbage bank, the community members would be collecting all kinds of plastic waste to deposit. Alike other banks, customers would also be provided with bank book account that registers garbage to be put into savings and that the fund would be able to be claimed at the end of the year. The garbage deposit will be recycled and reproduced in the Green Workshop into something else of use within the community. Therefore, the main difference between Mosintuwu Garbage Bank and any other kinds of bank lies not only at the type of the deposit but also at the commitment attached to each customer joining the bank. In the inside page, the bank book gives a space for the customer to sign their commitment to not litter and to volunteer for nature conservation.

In her presentation, Wilianita demonstrated how plastic waste could be recycled into shoe-container. This demonstration reaped sprightful response from those witnessing, not only by the registration to be Garbage Bank customers, but also by the recommendation to open up a branch office for Mosintuwu Garbage Bank. For the time being, Mosintuwu Garbage Bank is centered in Mosintuwu office with its five branch offices in Public High School 1 in Tentena, GKST High School II, Bukit Middle School, GKST Vocational High School I and Women Commission of Bukit Moria Church. Mosintuwu garbage bank is open on Saturday, unlike other banks that open from Monday to Friday. The presentation was ended with the ceremony to symbolize the bank book handover from Mosintuwu director, Lian Gogali, to the first five garbage bank customers. The enthusiasm to save the nature pervaded swiftly. A few hours after the garbage bank was officially commenced, more than fifty new customers and two other bank branches were registered.

As we all agree, to save the future demands a long process. Garbage bank is simply one starting point. It demands us to change our ways of life. It also takes many people to do it. It takes thousands of us to recover what a few greedy people have damaged. We have to start. The time is: Now.

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda