Jika biasanya perayaan hari Kartini, kebaya dan sanggul adalah dua simbol yang paling menonjol untuk menunjukkan emansipasi perempuan. Kurang lebih 100 Perempuan Poso berkumpul di Desa Tampemadoro menunjukkan cara lain menghayati perjuangan Kartini. Mereka merayakan Hari Kartinipada hari Senin, tanggal 22 April 2013 dengan membaca seminar dan pembacaan surat-surat Kartini. Kegiatan bertajuk “Api Kartini Perempuan Poso: Memperjuangkan Perdamaian, Keadilan dan Kesetaraan” yang diselenggarakan oleh Sekolah Perempuan Mosintuwu ini menurut Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali, dimaksudkan untuk memahami bahwa perjuangan perempuan adalah perjuangan untuk kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dipilihnya tema “Api Kartini Perempuan Poso” ditujukan untuk menyebarkan, meneruskan gagasan-gagasan Kartini dan banyak perempuan pejuang sebelumnya sehinngga dapat menerangi (berpartisipasi aktif) masyarakat dalam pembangunan. Dalam seminar “Perempuan Membaca Sejarah Perempuan”, ditelusuri sejarah gerakan perempuan sebelum abad kemerdekaan ketika perempuan terlibat langsung memimpim pasukan perang (Cut Nyak Dien, Kemalahayati, Nyi Ageng Serang, M.Christina Tiahahu); perempuan memimpin dan mensejahterakan suatu bangsa (Ratu Kalinyamat di Jepara); berperan dalam seni dan memajukan bangsa (Miss Tjitjih, Emiria Sunassa, Dewi Dja, Miss Roekiah); terlibat dalam memajukan pendidikan bagi perempuan ( Dewi Sartika, Rahmah el Yunusiyah, Nyai Ahmad Dahlan dan sebagainya) termasuk di dalamnya Kartini. Dalam diskusi seminar, perempuan diharapkan melanjutkan gagasan kesetaraan yang ditulis Kartini dalam surat-suratnya; meneruskan perjuangan untuk perdamaian dan keadilan yang selama berabad yang lalu sudah pernah dilakukan.
Seminar ini dilanjutkan dengan pembacaan surat-surat Kartini oleh lima orang perwakilan. Membaca ulang surat-surat Kartini yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” bermaksud mengingatkan perempuan mengenai konteks ketidakadilan, ketidaksetaraan, kemiskinan dan kebodohan yang menyebabkan penindasan dan diskriminasi seperti yang dialami Kartini. Salah seorang pembaca surat Kartini, Ibu Sarna menyebutkan bahwa membaca surat Kartini memotivasinya untuk meneruskan gagasan Kartini untuk memperjuangkan masyarakat miskin terutama perempuan.
Pada akhir perayaan Hari Kartini, para perempuan yang berasal dari Kecamatan Pamona Puselembah, Lage, Poso Kota Utara, Poso Kota Selatan ini menuliskan surat berupa cita-cita dan mimpi mereka sebagai perempuan untuk diri sendiri dan masyarakat di Kabupaten Poso. Cita-cita untuk memperjuangkan kesetaraan, keadilan dan perdamaian itu dibacakan oleh empat perempuan yang telah menyatakan diri bersedia mengikuti Pemilu Legislatif mendatang, yaitu ibu Olga Patambo, Ibu Sarna , Ibu Yanti Udin dan ibu Yulvince serta seorang nenek berusia 88 tahun yang memiliki harapan bagi perempuan di Poso.
Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu, yang mendirikan Sekolah perempuan Mosintuwu sebagai bagian dari meneruskan gagasan Kartini dalam penutupan kegiatan menyatakan bahwa hari Kartini menjadi peringatan tentang sejarah perjuangan perempuan bukan hanya setara dengan laki-laki, tetapi juga partisipasi aktif perempuan dalam perjuangan mewujudkan masyarakat yang adil dan damai. Hanya dengan begitu, perayaan hari Kartini bukan formalitas saja tapi bermakna bagi kehidupan masyarakat khususnya perempuan.
Jika biasanya perayaan hari Kartini, kebaya dan sanggul adalah dua simbol yang paling menonjol untuk menunjukkan emansipasi perempuan. Kurang lebih 100 Perempuan Poso berkumpul di Desa Tampemadoro menunjukkan cara lain menghayati perjuangan Kartini. Mereka merayakan Hari Kartinipada hari Senin, tanggal 22 April 2013 dengan membaca seminar dan pembacaan surat-surat Kartini. Kegiatan bertajuk “Api Kartini Perempuan Poso: Memperjuangkan Perdamaian, Keadilan dan Kesetaraan” yang diselenggarakan oleh Sekolah Perempuan Mosintuwu ini menurut Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali, dimaksudkan untuk memahami bahwa perjuangan perempuan adalah perjuangan untuk kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dipilihnya tema “Api Kartini Perempuan Poso” ditujukan untuk menyebarkan, meneruskan gagasan-gagasan Kartini dan banyak perempuan pejuang sebelumnya sehinngga dapat menerangi (berpartisipasi aktif) masyarakat dalam pembangunan. Dalam seminar “Perempuan Membaca Sejarah Perempuan”, ditelusuri sejarah gerakan perempuan sebelum abad kemerdekaan ketika perempuan terlibat langsung memimpim pasukan perang (Cut Nyak Dien, Kemalahayati, Nyi Ageng Serang, M.Christina Tiahahu); perempuan memimpin dan mensejahterakan suatu bangsa (Ratu Kalinyamat di Jepara); berperan dalam seni dan memajukan bangsa (Miss Tjitjih, Emiria Sunassa, Dewi Dja, Miss Roekiah); terlibat dalam memajukan pendidikan bagi perempuan ( Dewi Sartika, Rahmah el Yunusiyah, Nyai Ahmad Dahlan dan sebagainya) termasuk di dalamnya Kartini. Dalam diskusi seminar, perempuan diharapkan melanjutkan gagasan kesetaraan yang ditulis Kartini dalam surat-suratnya; meneruskan perjuangan untuk perdamaian dan keadilan yang selama berabad yang lalu sudah pernah dilakukan.
Seminar ini dilanjutkan dengan pembacaan surat-surat Kartini oleh lima orang perwakilan. Membaca ulang surat-surat Kartini yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” bermaksud mengingatkan perempuan mengenai konteks ketidakadilan, ketidaksetaraan, kemiskinan dan kebodohan yang menyebabkan penindasan dan diskriminasi seperti yang dialami Kartini. Salah seorang pembaca surat Kartini, Ibu Sarna menyebutkan bahwa membaca surat Kartini memotivasinya untuk meneruskan gagasan Kartini untuk memperjuangkan masyarakat miskin terutama perempuan.
Pada akhir perayaan Hari Kartini, para perempuan yang berasal dari Kecamatan Pamona Puselembah, Lage, Poso Kota Utara, Poso Kota Selatan ini menuliskan surat berupa cita-cita dan mimpi mereka sebagai perempuan untuk diri sendiri dan masyarakat di Kabupaten Poso. Cita-cita untuk memperjuangkan kesetaraan, keadilan dan perdamaian itu dibacakan oleh empat perempuan yang telah menyatakan diri bersedia mengikuti Pemilu Legislatif mendatang, yaitu ibu Olga Patambo, Ibu Sarna , Ibu Yanti Udin dan ibu Yulvince serta seorang nenek berusia 88 tahun yang memiliki harapan bagi perempuan di Poso.
Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu, yang mendirikan Sekolah perempuan Mosintuwu sebagai bagian dari meneruskan gagasan Kartini dalam penutupan kegiatan menyatakan bahwa hari Kartini menjadi peringatan tentang sejarah perjuangan perempuan bukan hanya setara dengan laki-laki, tetapi juga partisipasi aktif perempuan dalam perjuangan mewujudkan masyarakat yang adil dan damai. Hanya dengan begitu, perayaan hari Kartini bukan formalitas saja tapi bermakna bagi kehidupan masyarakat khususnya perempuan.