Saat Natal Tak Lagi Tentang Kami Saja, Kisah Muslim Kristen Poso

0
2105
Dua anggota sekolah perempuan , muslim dan kristen, saling berpelukan setelah saling menceritakan kecurigaan mereka satu sama lain karena berbeda agama. Kecurigaan yang terurai setelah mengikuti kelas sekolah perempuan. Foto : Dok. Mosintuwu/Lian

Pagi itu, empat orang ibu berjilbab, terlihat mengintip dibalik pintu gereja, wajahnya nampak penasaran sekaligus gelisah. Setelah beberapa saat, mereka saling berbisik, wajah mereka nampak kecewa.

Baru saja akan membalikkan badan untuk pulang, seorang ibu dari arah dalam gereja tiba-tiba menghampiri mereka.
” hei, ibu-ibu ini siapa, mau apa disini?”
” Oh, halo bu, kami dari Poso. Kami ingin sekali ketemu saudara kami disini yang Kristen”

Ibu itu memandang tajam, curiga “mau apa bu?”

Salah seorang ibu menjawab ” Kami sudah lama tidak bertemu saudara kami, kami ingin mengucapkan selamat natal” Ibu yang lain menyambung “Iya, tapi kami takut nanti kami tidak diterima dan ditolak”

Tiba-tiba terdengar suara seorang ibu yang lain dari arah belakang ” Wah, ibu-ibu, saudariku mari masuk, kami sangat senang kalian mau datang disini mengunjungi kami. Kami sudah lama menanti, maafkan sikap ibu tadi ya, dia sudah lama tidak melihat orang berjilbab. Kita memang sudah lama tidak saling mengunjungi, tapi kedatangan ibu-ibu disini membuka kesempatan supaya kita bisa mulai saling mengunjungi ulang, membangun kembali persaudaraan kita”

Dijawab oleh salah seorang ibu ” iya bu, kami juga begitu dulunya, curiga dengan orang Kristen, tapi sekarang kami sadar bahwa kita tidak bisa membangun Poso dengan damai dan adil untuk semua kalau kita tidak bersama-sama bergandengan tangan bangun Poso…” Ibu yang tadinya mencurigai keduanya tiba-tiba langsung menarik tangan kedua ibu berjilbab tadi, wajahnya berseri-seri, mereka semua kemudian terlibat percakapan hangat.

Baca Juga :  Satu Orang Tamak dan Seribu Orang Peduli

” Maafkan saya bu, selama ini saya dendam dan curiga dengan orang Islam makanya saya tadi begitu” Si Ibu yang berjilbab menggengam erat tangannya dan berkata ” iya bu, kami juga dulu begitu, sekarang kami belajar bersama dengan ibu-ibu Kristen lainnya bahwa kita semua apapun agamanya adalah manusia. Kami juga belajar untuk tidak lagi mau digunakan oleh kepentingan lain yang hanya membuat kita berperang”

Mereka kemudian saling berpelukan.

Hari itu, Perayaan Natal Komisi Wanita Klasis Pamona di Desa Taripa yang dilaksanakan pada tanggal 25 November 2013, berlangsung berbeda, bahkan membawa perubahan. Dialog dalam drama pendek yang dibawakan ibu-ibu Muslim dan Kristen dari Sekolah Perempuan Mosintuwu telah menjadikan natal bukan lagi hanya sebuah ritual seremoni biasa, tetapi sebuah langkah awal sebuah perayaan kemanusiaan.

Betapa tidak, Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah di Kabupaten Poso setelah konflik, ada perempuan muslim Poso yang mengunjungi mereka, bukan hanya untuk mengucapkan selamat natal, tapi lebih dari itu membuka ibadah natal dengan drama pendek. Bagi banyak mereka yang hadir, drama yang dibawakan oleh ibu-ibu Sekolah Perempuan meleburkan semua perasaan marah, terganggu, terancam, kebencian, bahkan dendam yang selama ini masih tersisa.

Baca Juga :  Nadi Berdetak, Desa Poso Kelola Hasil Bumi

Sebaliknya hal yang sama dirasakan oleh ibu Hasna, ibu Sunartin, Ibu Dirja dan Ibu Evi, anggota Sekolah Perempuan Mosintuwu yang hari itu datang membawa kabar persaudaraan dan perdamaian melalui drama pendek. Mereka yang pernah merasakan penderitaan karena konflik Poso, kemudian memahami Natal adalah perayaan pertemuan rasa kemanusiaan meskipun berbeda latarbelakang.

Mereka mewakili semangat ratusan anggota sekolah Perempuan Mosintuwu di Kabupaten Poso yang memaknai keberagaman sebagai kekayaan yang dihormati, dihargai bahkan disyukuri. Ibu Sunartin mengatakan dengan penuh haru “saya sangat deg-degan waktu pertama kali mau drama, takut kami nanti dilempari, diiusir, atau kalaupun tidak kami dianggap hanya pura-pura. Tapi kemudian setelah selesai kami semua menangis sama-sama terharu karena bahagia. Sudah jelas, kita semua telah berdamai dan mau maju bersama membangun Poso”. Ibu Dirja menambahkan ” Saya senang sekali, sangat bahagia, saya bangga mengabarkan ini pada keluarga saya yang muslim kalau kita tidak perlu lagi takut atau saling curiga”

Ketika perayaan natal selesai, beberapa orang ibu jemaat mendatangi mereka sekedar berjabat tangan erat,bahkan ada yang memeluk menyampaikan terimakasih atas kehadiran mereka. Seorang ibu, mengungsi sejak tahun 1999 dan belum kembali lagi ke Poso menghampiri ibu Sunartin, sambil menangis mengatakan ” saya sudah selesai, saya sudah tidak marah lagi. Terimakasih sudah datang” Ibu ini kehilangan sebagian besar keluarganya dalam konflik Poso, karenanya menyimpan kebencian dan dendam terhadap umat Muslim yang dianggapnya penyebab kematian keluarganya. Kehidupannya menjadi berbeda hari itu, ketika dia melihat dan mendengarkan dialog ibu-ibu muslim dan kristen. Ibu Wuri Tacoh, ketua Komisi Wanita Sinode GKST mengatakan ” terimakasih, ibu-ibu dari sekolah perempuan Mosintuwu sudah membuka jalan bahwa kita sangat mungkin membangun Poso bersama-sama, membuka pemikiran bagi banyak orang meskipun kita berbeda kita bersatu”

Baca Juga :  Desa-desa Toleran di Poso

Ini awal, bukan saja sebuah kesadaran, tapi juga gerakan bersama membangun perdamaian di Poso oleh perempuan. Tepat seperti lagu yang dinyanyikan bersama oleh ibu-ibu muslim dan kristen anggota Sekolah Perempuan saat menutup drama pendek:

“Alangkah bahagianya, hidup rukun dan damai
di dalam persaudaraan bagai minyak yang wangi
Alangkah, bahagianya hidup rukun dan damai”

Lagu itu disambung secara serentak oleh seluruh jemaat. Tangisan bahagia nampak dari sebagian besar anggota jemaat. Tangisan bahagia yang mengaminkan perdamaian untuk Poso. Kata ibu Marlin, salah seorang anggota Sekolah Perempuan Mosintuwu mengatakan “Natal ini terasa bukan hanya bicara tentang kami orang kristen saja, tapi tentang kita semua orang Poso yang mengaminkan damai”

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda