Sekolah Perempuan Mosintuwu Angkatan III akan dibuka. Pembukaan kembali sekolah alternative untuk para perempuan akar rumput ini untuk merespon kebutuhan dan kepentingan lebih banyak perempuan akar rumput terlibat dalam proses perdamaian dan memperjuangkan keadilani. Ada harapan besar, berdasarkan pengalaman di sekolah perempuan Angkatan I dan II, bahwa di sekolah perempuan pengetahuan dan ketrampilan yang dikembangkan menciptakan pemimpin perempuan baru yang membawa perubahan. Seperti kata pepatah, pengetahuan mungkin tidak mengubah dunia, tetapi dapat mengubah perspektif lalu tindakan orangnya dan orang itu akan mengubah dunia disekitarnya.
Kurikulum di sekolah perempuan ikut menentukan kedalaman pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh oleh anggota. Pada tahun pertama Sekolah Perempuan, 2010 – 2011, kurikulum fokus pada materi/ topik pembangunan perdamaian. Tahun kedua Sekolah Perempuan, 2012 – 2013, kurikulum fokus pada pembahasan keterlibatan perempuan dalam ruang-ruang politik.
Dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik di desa-desa di wilayah Kabupaten Poso dan Morowali mendorong adanya revisi dan refleksi terhadap kurikulum. Hal ini ditindaklanjuti dengan mengadakan workshop kurikulum pada tanggal 14 – 16 Juli 2014 di kantor Institut Mosintuwu.
Jangan membayangkan bahwa workshop kurikulum ini diikuti oleh mereka yang bergelar professor, doktor, para akademisi, atau para aktivis. Workshop kurikulum difasilitasi oleh Budiman Maliki, John Lusikooy, dan Lian Gogali , diikuti oleh para lulusan sekolah perempuan Angkatan I dan II yang adalah ibu rumah tangga, petani, nelayan. Mereka dipersiapkan menjadi fasilitator sekolah perempuan angkatan III. Ibu Eda, salah satu fasilitator berkomentar “ tidak pernah seumur hidup membayangkan akan menyusun kurikulum, tapi sekarang itu terjadi dan saya sendiri ikut terlibat. Ini pengalaman luar biasa” Ibu Martince, fasilitator lainnya menyambung “ bisa jadi kita lebih tahu menyusun kurikulum daripada guru-guru “ pernyataan ini disambung gelak tawa lainnya.
Budiman Maliki, direktur LPMS dan aktivis sosial, memberikan catatan penting mengenai dinamika sosial, ekonomi , budaya dan politik yang sedang berkembang di Kabupaten Poso dan sekitarnya, juga nasional serta internasional. Catatan mengenai dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik ini sangat penting sehingga kurikulum Sekolah Perempuan dapat menyesuaikan kebutuhan dan kepentingan konteks masyarakat dimana anggota sekolah perempuan tinggal.
John Lusikooy, direktur LP2M dan akademisi, menfasilitasi proses menyusun kurikulum. Proses penyusunan kurikulum dilakukan berdasarkan catatan dari perkembangan dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik dan catatan evaluasi dan refleksi atas kurikulum sebelumnya. Sementara itu, proses evaluasi dan refleksi difasilitasi oleh Lian Gogali, direktur Mosintuwu dan pendiri sekolah perempuan Mosintuwu, dirangkaikan dengan membangun harapan atas capaian penting dari keberadaan sekolah perempuan.
Workshop kurikulum menghasilkan kurikulum baru sekolah perempuan ( baca: Kurikulum Sekolah Perempuan) . Kurikulum baru sekolah perempuan ini memperkuat topik, materi dan bahasan dari kurikulum sekolah perempuan sebelumnya. Selain isi topik dan materi yang berubah, terdapat perubahan tahapan dalam kurikulum sekolah perempuan. Sekolah Perempuan mengembangkan tiga tahapan dalam kurikulum sekolah perempuan, yaitu kurikulum dasar, kurikulum lanjutan dan kurikulum khusus. Ketiga tahapan kurikulum ini merupakan perkembangan penting yang ditemukan dalam workshop kurikulum. Ini menggambarkan capaian sekolah perempuan Mosintuwu meluas dan menguat, yaitu bukan lagi hanya ingin terlibat dalam pembangunan perdamaian dan perjuangan keadilan, namun ikut menentukan perdamaian dan keadilan di Poso dan sekitarnya.
Untuk memastikan proses implementasi kurikulum sekolah perempuan mencapai tujuannya, workshop kurikulum dilanjutkan workshop modul.
Workshop modul dilaksanakan pada tanggal 21 – 22 Juli 2014, di kantor Institut Mosintuwu. Workshop modul difasilitasi oleh John Lusikooy dan Lian Gogali, diikuti oleh fasilitator sekolah perempuan Angkatan III yang adalah lulusan sekolah perempuan Angkatan I dan II. Berdasarkan susunan kurikulum sekolah perempuan (Baca : Kurikulum Sekolah Perempuan), para peserta workshop mempertimbangkan konteks budaya calon anggota sekolah perempuan mereka untuk menentukan waktu belajar, model belajar bersama dan alat peraga yang digunakan. Sekali lagi, bagi mereka yang sehari hari bekerja sebagai petani, nelayan dan ibu rumah tangga, workshop modul menjadi pengalaman baru yang menyegarkan.
Ibu Dirja, salah seorang fasilitator menggambarkan proses yang baru baginya “ seperti memasak kue yang resepnya kita tidak tahu tapi pernah merasakan kue itu”.
Kurikulum sekolah perempuan sudah dihasilkan dari proses evaluasi dan refleksi bersama yang panjang, tidak saja melalui workshop kurikulum dan modul. Bukan orang pintar yang ingin diciptakan di sekolah perempuan Mosintuw, tetapi para perempuan akar rumput menjadi pemimpin yang berani mengambil dan menentukan sikap untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan dengan belajar dari pengalaman bersama. Demikianlah kurikulum dan modul di sekolah perempuan bercita-cita mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan.
Sekolah Perempuan Mosintuwu Angkatan III akan dibuka. Pembukaan kembali sekolah alternative untuk para perempuan akar rumput ini untuk merespon kebutuhan dan kepentingan lebih banyak perempuan akar rumput terlibat dalam proses perdamaian dan memperjuangkan keadilani. Ada harapan besar, berdasarkan pengalaman di sekolah perempuan Angkatan I dan II, bahwa di sekolah perempuan pengetahuan dan ketrampilan yang dikembangkan menciptakan pemimpin perempuan baru yang membawa perubahan. Seperti kata pepatah, pengetahuan mungkin tidak mengubah dunia, tetapi dapat mengubah perspektif lalu tindakan orangnya dan orang itu akan mengubah dunia disekitarnya.
Kurikulum di sekolah perempuan ikut menentukan kedalaman pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh oleh anggota. Pada tahun pertama Sekolah Perempuan, 2010 – 2011, kurikulum fokus pada materi/ topik pembangunan perdamaian. Pada
Pada tahun pertama sekolah perempuan, Tahun kedua Sekolah Perempuan, 2012 – 2013, kurikulum fokus pada pembahasan keterlibatan perempuan dalam ruang-ruang politik.
Dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik di desa-desa di wilayah Kabupaten Poso dan Morowali mendorong adanya revisi dan refleksi terhadap kurikulum. Hal ini ditindaklanjuti dengan mengadakan workshop kurikulum pada tanggal 14 – 16 Juli 2014 di kantor Institut Mosintuwu.
Jangan membayangkan bahwa workshop kurikulum ini diikuti oleh mereka yang bergelar professor, doktor, para akademisi, atau para aktivis. Workshop kurikulum difasilitasi oleh Budiman Maliki, John Lusikooy, dan Lian Gogali , diikuti oleh para lulusan sekolah perempuan Angkatan I dan II yang adalah ibu rumah tangga, petani, nelayan. Mereka dipersiapkan menjadi fasilitator sekolah perempuan angkatan III. Ibu Eda, salah satu fasilitator berkomentar “ tidak pernah seumur hidup membayangkan akan menyusun kurikulum, tapi sekarang itu terjadi dan saya sendiri ikut terlibat. Ini pengalaman luar biasa” Ibu Martince, fasilitator lainnya menyambung “ bisa jadi kita lebih tahu menyusun kurikulum daripada guru-guru “ pernyataan ini disambung gelak tawa lainnya.
Budiman Maliki, direktur LPMS dan aktivis sosial, memberikan catatan penting mengenai dinamika sosial, ekonomi , budaya dan politik yang sedang berkembang di Kabupaten Poso dan sekitarnya, juga nasional serta internasional. Catatan mengenai dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik ini sangat penting sehingga kurikulum Sekolah Perempuan dapat menyesuaikan kebutuhan dan kepentingan konteks masyarakat dimana anggota sekolah perempuan tinggal.
John Lusikooy, direktur LP2M dan akademisi, menfasilitasi proses menyusun kurikulum. Proses penyusunan kurikulum dilakukan berdasarkan catatan dari perkembangan dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik dan catatan evaluasi dan refleksi atas kurikulum sebelumnya. Sementara itu, proses evaluasi dan refleksi difasilitasi oleh Lian Gogali, direktur Mosintuwu dan pendiri sekolah perempuan Mosintuwu, dirangkaikan dengan membangun harapan atas capaian penting dari keberadaan sekolah perempuan.
Workshop kurikulum menghasilkan kurikulum baru sekolah perempuan ( baca: Kurikulum Sekolah Perempuan) . Kurikulum baru sekolah perempuan ini memperkuat topik, materi dan bahasan dari kurikulum sekolah perempuan sebelumnya. Selain isi topik dan materi yang berubah, terdapat perubahan tahapan dalam kurikulum sekolah perempuan. Sekolah Perempuan mengembangkan tiga tahapan dalam kurikulum sekolah perempuan, yaitu kurikulum dasar, kurikulum lanjutan dan kurikulum khusus. Ketiga tahapan kurikulum ini merupakan perkembangan penting yang ditemukan dalam workshop kurikulum. Ini menggambarkan capaian sekolah perempuan Mosintuwu meluas dan menguat, yaitu bukan lagi hanya ingin terlibat dalam pembangunan perdamaian dan perjuangan keadilan, namun ikut menentukan perdamaian dan keadilan di Poso dan sekitarnya.
Untuk memastikan proses implementasi kurikulum sekolah perempuan mencapai tujuannya, workshop kurikulum dilanjutkan workshop modul.
Workshop modul dilaksanakan pada tanggal 21 – 22 Juli 2014, di kantor Institut Mosintuwu. Workshop modul difasilitasi oleh John Lusikooy dan Lian Gogali, diikuti oleh fasilitator sekolah perempuan Angkatan III yang adalah lulusan sekolah perempuan Angkatan I dan II. Berdasarkan susunan kurikulum sekolah perempuan (Baca : Kurikulum Sekolah Perempuan), para peserta workshop mempertimbangkan konteks budaya calon anggota sekolah perempuan mereka untuk menentukan waktu belajar, model belajar bersama dan alat peraga yang digunakan. Sekali lagi, bagi mereka yang sehari hari bekerja sebagai petani, nelayan dan ibu rumah tangga, workshop modul menjadi pengalaman baru yang menyegarkan.
Ibu Dirja, salah seorang fasilitator menggambarkan proses yang baru baginya “ seperti memasak kue yang resepnya kita tidak tahu tapi pernah merasakan kue itu”.
Kurikulum sekolah perempuan sudah dihasilkan dari proses evaluasi dan refleksi bersama yang panjang, tidak saja melalui workshop kurikulum dan modul. Bukan orang pintar yang ingin diciptakan di sekolah perempuan Mosintuw, tetapi para perempuan akar rumput menjadi pemimpin yang berani mengambil dan menentukan sikap untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan dengan belajar dari pengalaman bersama. Demikianlah kurikulum dan modul di sekolah perempuan bercita-cita mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan untuk dipraktekkan.