Cerita tentang Poso yang damai dan adil dimulai dari rangkaian mimpi dan harapan para perempuan akar rumput. Setidaknya hal itu tergambar di kelas-kelas sekolah perempuan. Hari-hari pertama di 18 kelas Sekolah Perempuan Mosintuwu Angkatan III, para anggota Sekolah Perempuan menuliskan mimpi dan harapan mereka “Ingin menjadi pelopor damai di komunitas”, “Ingin merdeka dan bebas dari penindasan”, “Ingin berguna buat masyarakat dan keluarga”, “ingin menggantikan kepala desa yang tidak adil”, “ingin membantu pemerintah desa” atau “ ingin menjadi fasilitator sekolah perempuan Mosintuwu” adalah sebagian dari catatan mereka mengawali kelas Sekolah Perempuan.
Seorang ibu dari Desa Tokorondo mengatakan penuh haru “selama ini baru kali ini saya ditanya apa cita-cita , apa mimpi saya. Biasanya, saya cuma ikut apa saja yang ada. Takut. “ Lalu dengan penuh percaya diri melanjutkan “ Kalau kita sudah bisa bermimpi tentang sesuai, berarti kita akan berusaha mencapainya” .
Pernyataan ini setidaknya mewakili semangat para ibu lainnya yang menjadi anggota sekolah perempuan Angkatan III. Kata Ibu dari Desa Kelei “kami belum masuk sekolah so ditanya dan dihina-hina, untuk apa juga kamu sekolah, paling juga nanti cuma didapur. Bahkan dorang bilang itu sekolah cuma buang-buang waktu saja, lebe bae nae ke kebun (lebih baik kerja di kebun – red). Tapi saya bilang sama dorang : saya mo suka pintar supaya jangan dibodoh-bodohi orang lain, termasuk sama kamu orang. Kalau saya pintar saya bisa bantu orang lain supaya tidak bodoh dan bikin kacau saja di desa”
Bukan saja harapan, tetapi kelas pertama di Sekolah Perempuan juga membicarakan kekuatiran mereka. Beberapa ibu mencatat kekuatirannya “takut tidak didukung oleh suami”, “ takut tidak bisa membagi diri dengan kegiatan di rumah”, “bosan dalam kelas”, “sulit atau terlambat menerima materi”, “sulit beradaptasi dengan yang lain”
Dengan penuh semangat, ibu-ibu mengisi harapan dan kekuatiran mereka di metaplan warna-warni yang dibentuk kreatif oleh fasilitator wilayah. Pohon dan bunga menjadi semacam simbol proses belajar bersama itu bisa berkembang atau buntu tergantung pada bagaimana anggota sekolah perempuan ‘menyiramnya’ dengan semangat, ketekunan dan keseriusan dengan tidak mengabaikan rasa humor di antara mereka.
Punya harapan tentang diri sendiri, tentang komunitas di sekitarnya, bahkan tentang masyarakat di desanya, adalah langkah awal membangun imajinasi para perempuan akar rumput tentang kehidupan yang akan mereka bangun. Sementara ketakutan atau kekuatiran yang diceritakan bisa jadi didorong oleh keinginan kuat untuk mencapai tujuan bergabung di sekolah perempuan. Berbagai harapan dan kekuatiran itu diolah bersama di dalam kelas untuk menjadi modal membuat kesepakatan , aturan mengenai pengelolaan kelas.
Pengelolaan kelas di sekolah perempuan diharapkan bisa menjadi strategi bersama antar anggota sekolah perempuan untuk memastikan harapan mereka dicapai dan kekuatiran mereka diatasi bersama-sama. Alhasil, Sekolah Perempuan di masing-masing kelas membuat aturan bersama. Masing-masing aturan berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan anggota sekolah perempuan. Jam belajar, tempat belajar, ketua kelas diatur bersama-sama.
Hal ini bukan tanpa alasan. Sekolah Perempuan Mosintuwu yang akan dijalani selama kurang lebih satu tahun para anggota sekolah perempuan bergabung dengan yang lain dari berbagai agama dan suku. Bukan hanya keberagaman, tetapi anggota sekolah perempuan belajar untuk memikirkan tentang masalah-masalah sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik disekitarnya. Kepedulian dengan pertama-tama membicarakannya setidaknya menjadi langkah awal untuk menyadari bahwa kehidupan di desa tidak akan berubah menjadi lebih baik, jika tidak ada kekuatan perubahan didorong bersama. Dalam hal inilah para perempuan yang tergabung di sekolah perempuan Mosintuwu membangun harapan tentang diri dan komunitasnya.Cerita tentang Poso yang damai dan adil dimulai dari rangkaian mimpi dan harapan para perempuan akar rumput. Setidaknya hal itu tergambar di kelas-kelas sekolah perempuan. Hari-hari pertama di 18 kelas Sekolah Perempuan Mosintuwu Angkatan III, para anggota Sekolah Perempuan menuliskan mimpi dan harapan mereka “Ingin menjadi pelopor damai di komunitas”, “Ingin merdeka dan bebas dari penindasan”, “Ingin berguna buat masyarakat dan keluarga”, “ingin menggantikan kepala desa yang tidak adil”, “ingin membantu pemerintah desa” atau “ ingin menjadi fasilitator sekolah perempuan Mosintuwu” adalah sebagian dari catatan mereka mengawali kelas Sekolah Perempuan.
Seorang ibu dari Desa Tokorondo mengatakan penuh haru “selama ini baru kali ini saya ditanya apa cita-cita , apa mimpi saya. Biasanya, saya cuma ikut apa saja yang ada. Takut. “ Lalu dengan penuh percaya diri melanjutkan “ Kalau kita sudah bisa bermimpi tentang sesuai, berarti kita akan berusaha mencapainya” .
Pernyataan ini setidaknya mewakili semangat para ibu lainnya yang menjadi anggota sekolah perempuan Angkatan III. Kata Ibu dari Desa Kelei “kami belum masuk sekolah so ditanya dan dihina-hina, untuk apa juga kamu sekolah, paling juga nanti cuma didapur. Bahkan dorang bilang itu sekolah cuma buang-buang waktu saja, lebe bae nae ke kebun (lebih baik kerja di kebun – red). Tapi saya bilang sama dorang : saya mo suka pintar supaya jangan dibodoh-bodohi orang lain, termasuk sama kamu orang. Kalau saya pintar saya bisa bantu orang lain supaya tidak bodoh dan bikin kacau saja di desa”
Bukan saja harapan, tetapi kelas pertama di Sekolah Perempuan juga membicarakan kekuatiran mereka. Beberapa ibu mencatat kekuatirannya “takut tidak didukung oleh suami”, “ takut tidak bisa membagi diri dengan kegiatan di rumah”, “bosan dalam kelas”, “sulit atau terlambat menerima materi”, “sulit beradaptasi dengan yang lain”
Dengan penuh semangat, ibu-ibu mengisi harapan dan kekuatiran mereka di metaplan warna-warni yang dibentuk kreatif oleh fasilitator wilayah. Pohon dan bunga menjadi semacam simbol proses belajar bersama itu bisa berkembang atau buntu tergantung pada bagaimana anggota sekolah perempuan ‘menyiramnya’ dengan semangat, ketekunan dan keseriusan dengan tidak mengabaikan rasa humor di antara mereka.
Punya harapan tentang diri sendiri, tentang komunitas di sekitarnya, bahkan tentang masyarakat di desanya, adalah langkah awal membangun imajinasi para perempuan akar rumput tentang kehidupan yang akan mereka bangun. Sementara ketakutan atau kekuatiran yang diceritakan bisa jadi didorong oleh keinginan kuat untuk mencapai tujuan bergabung di sekolah perempuan. Berbagai harapan dan kekuatiran itu diolah bersama di dalam kelas untuk menjadi modal membuat kesepakatan , aturan mengenai pengelolaan kelas.
Pengelolaan kelas di sekolah perempuan diharapkan bisa menjadi strategi bersama antar anggota sekolah perempuan untuk memastikan harapan mereka dicapai dan kekuatiran mereka diatasi bersama-sama. Alhasil, Sekolah Perempuan di masing-masing kelas membuat aturan bersama. Masing-masing aturan berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan anggota sekolah perempuan. Jam belajar, tempat belajar, ketua kelas diatur bersama-sama.
Hal ini bukan tanpa alasan. Sekolah Perempuan Mosintuwu yang akan dijalani selama kurang lebih satu tahun para anggota sekolah perempuan bergabung dengan yang lain dari berbagai agama dan suku. Bukan hanya keberagaman, tetapi anggota sekolah perempuan belajar untuk memikirkan tentang masalah-masalah sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik disekitarnya. Kepedulian dengan pertama-tama membicarakannya setidaknya menjadi langkah awal untuk menyadari bahwa kehidupan di desa tidak akan berubah menjadi lebih baik, jika tidak ada kekuatan perubahan didorong bersama. Dalam hal inilah para perempuan yang tergabung di sekolah perempuan Mosintuwu membangun harapan tentang diri dan komunitasnya.