Tidak pernah terbayangkan oleh ibu Fatimah, 35 tahun, dia dan beberapa ibu di desanya bisa masuk ke dalam gereja. Sebagai seorang muslim di Poso, ibu Fatimah hanya pernah mendengar cerita dari tetangganya (yang juga muslim) , atau melalui televisi tentang kekristenan. Konflik Poso telah membuat kemungkinan tersebut semakin sempit karena trauma dan rasa takut dengan agama lain. Karena itu ketika pertama kali menginjakkan kaki di gereja, ibu Fatimah bukan hanya antusias melihat semua perlengkapan dan menanyakannya namun juga menemukan sebuah pengertian baru. Pengertian bahwa agama adalah alat umat manusia untuk memuji Allah.
Ibu Fatimah hanya salah satu dari ratusan anggota sekolah perempuan yang antusias mendengarkan agama yang berbeda dari apa yang selama ini dianut. 18 kelas Sekolah Perempuan yang masing-masing beranggotakan 15 – 20 ibu-ibu dari berbagai agama ini melakukan kunjungan rumah ibadah di berbagai tempat di Kabupaten Poso. Kegiatan ini ada dalam rangkaian kurikulum agama, toleransi dan perdamaian. Bukan hanya ke gereja, kunjungan juga dilakukan oleh anggota sekolah perempuan yang beragama Kristen ke masjid, dan ke Pura. Di rumah ibadah, mereka diterima dengan tangan terbuka oleh para pemimpin umat. Mendapatkan kunjungan dari mereka yang berbeda agama ke rumah ibadah, untuk beberapa pemimpin umat beragama merupakan sebuah berkah karena membuka komunikasi yang selama ini buntu diantara umat beragama.Sebelum kunjungan rumah ibadah, mereka mengikuti kelas yang difasilitasi oleh narasumber dari agama Islam, Kristen dan Hindu tentang nilai-nilai agama. Hadir sebagai narasumber di kelas-kelas sekolah perempuan, antara lain Ustad Asri, Anto Abdjul, Darwis Waru, Budiman Maliki; Pendeta Ika Kulas, Pendeta Wuri, Pendeta Lies Saino, Vikaris Ronald Mosiangi; dan Wildana dari PHDI.
Antusiasme atas kunjungan ke rumah ibadah ini ditunjukkan oleh para ibu dengan membawa bekal makanan, termasuk menyiapkan daftar pertanyaan untuk meminta penjelasan yang mencerahkan. “Saya punya 10 pertanyaan yang saya sudah susun dari rumah tentang orang Kristen. Suami saya juga titip pertanyaan. Saya senang bisa mendapatkan penjelasan langsung dari pendeta, dan lihat sendiri” Ujar ibu Fatimah. “ Saya tanya tentang Tuhan orang Kristen, tanya tentang makanan haram yang dikonsumsi orang Kristen, perbedaan orang Katolik , Kristen, dengan Pantekosta, banyak yang lain”. Sementara itu ibu Jein selain memiliki pertanyaan sendiri juga dititipkan pertanyaan dari pimpinan gerejanya “saya punya 7 pertanyaan, misalnya apakah orang Kristen bisa memakai jilbab? Apa itu kafir? Jihad sebenarnya apa?mengapa jihad sering membunuh orang, mengapa perempuan yang haid tidak ikut sembahyang? ”Pertanyaan, pernyataan silih berganti muncul dari ibu-ibu yang rata-rata berprofesi sebagai petani, nelayan, buruh perkebunan dan ibu rumah tangga ini. Berulangkali pula terdengar nada O panjang sebagai permakluman dan pengertian baru yang mereka dapatkan. Ibu Filistin dari Desa Didiri penuh kagum dengan proses yang dijalani, mengatakan “saya merasa berdosa, selama ini saya anggap orang Islam itu jahat, cuma suka bunuh orang dan tuduh kita ini kafir soalnya itu yang saya lihat di TV. Sekarang saya mengerti, kalau kita beragama kita diajarkan untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan”
Kekaguman terhadap agama lain juga muncul dari beberapa komentar. Ibu Firda menyampaikan “ Saya kagum bagaimana umat Islam tidak lalai dalam berdoa. Mereka punya doa lima waktu”, sementara ibu Maemunah dari wilayahPoso Pesisir mengatakan “saya senang mendengar bagaimana umat Hindu sangat memperdulikan lingkungan hidup karena itu berkaitan dengan bagaimana mereka percaya. Itu kan jarang jadi perhatian agama lain” .
Melihat dan mendengar yang berbeda, tidak lagi menjadi hal yang menakutkan bagi para perempuan anggota sekolah perempuan yang notabene adalah korban konflik Poso. Sebaliknya mendengarkan tentang agama lain, adalah belajar tentang agama sendiri. Ibu Debbie dari Desa Masani mengatakannya dengan jelas “ setelah dengar penjelasan yang selama ini tidak jelas, saya jadi berpikir kalau agama lain punya nilai cinta kasih yang luar biasa, agama kita juga mengajarkan hal yang sama tapi sering tertutup dengan perbuatan orang-orang yang mencoreng agama”. Ibu Siti dari wilayah Lage menambahkan dalam refleksinya “ Saya menjadi belajar lebih baik bagi kita mempraktekkan nilai-nilai agama sebaik-baiknya daripada susah payah gosip tentang agama lain yang tidak betul” Sementara ibu Hertin dengan tegas berkesimpulan “ sekarang, apapun yang kita dengar jelek tentang agama lain jangan langsung percaya. Pasti itu bukan karena agamanya tapi karena orangnya”
Pengertian yang muncul dari penjelasan yang mencerdaskan membuat ibu-ibu sekolah perempuan ini lebih percaya diri untuk saling berkomunikasi satu sama lain. Jika selama ini mereka masih menjaga jarak, saling mengira-ngira satu sama lain, mereka menjadi malu jika tidak saling lebih dahulu menyapa. Bukan hanya itu, materi di kurikulum agama, toleransi dan perdamaian membuat mereka perlahan mengklarifikasi tentang apa yang selama ini disebut-sebut oleh media massa bahwa konflik Poso adalah konflik agama. “Kita tahu itu bukan karena agama, tapi orang luar dan orang berkepentingan. Sekarang ini lebih jelas, dan kita sudah mengerti sama-sama.”
Kurikulum awal di Sekolah Perempuan Angkatan III dilakukan dalam 5 kali pertemuan. Selain ceramah dan kunjungan lapangan yang membentuk dan menguatkan pandangan anggota sekolah perempuan tentang hidup toleransi, terdapat juga materi refleksi dalam bentuk permainan dan teater yang memperdalam kekayaan pengetahuan anggota sekolah perempuan bahwa berbeda agama atau suku sebuah keniscayaan, dan karena itu kita menjadi lebih kaya, menjadi saling belajar untuk menjadi manusia yang sebaik-baiknya.
Tidak pernah terbayangkan oleh ibu Fatimah, 35 tahun, dia dan beberapa ibu di desanya bisa masuk ke dalam gereja. Sebagai seorang muslim di Poso, ibu Fatimah hanya pernah mendengar cerita dari tetangganya (yang juga muslim) , atau melalui televisi tentang kekristenan. Konflik Poso telah membuat kemungkinan tersebut semakin sempit karena trauma dan rasa takut dengan agama lain. Karena itu ketika pertama kali menginjakkan kaki di gereja, ibu Fatimah bukan hanya antusias melihat semua perlengkapan dan menanyakannya namun juga menemukan sebuah pengertian baru. Pengertian bahwa agama adalah alat umat manusia untuk memuji Allah.
Ibu Fatimah hanya salah satu dari ratusan anggota sekolah perempuan yang antusias mendengarkan agama yang berbeda dari apa yang selama ini dianut. 18 kelas Sekolah Perempuan yang masing-masing beranggotakan 15 – 20 ibu-ibu dari berbagai agama ini melakukan kunjungan rumah ibadah di berbagai tempat di Kabupaten Poso. Kegiatan ini ada dalam rangkaian kurikulum agama, toleransi dan perdamaian. Bukan hanya ke gereja, kunjungan juga dilakukan oleh anggota sekolah perempuan yang beragama Kristen ke masjid, dan ke Pura. Di rumah ibadah, mereka diterima dengan tangan terbuka oleh para pemimpin umat. Mendapatkan kunjungan dari mereka yang berbeda agama ke rumah ibadah, untuk beberapa pemimpin umat beragama merupakan sebuah berkah karena membuka komunikasi yang selama ini buntu diantara umat beragama.
Sebelum kunjungan rumah ibadah, mereka mengikuti kelas yang difasilitasi oleh narasumber dari agama Islam, Kristen dan Hindu tentang nilai-nilai agama. Hadir sebagai narasumber di kelas-kelas sekolah perempuan, antara lain Ustad Asri, Anto Abdjul, Darwis Waru, Budiman Maliki; Pendeta Ika Kulas, Pendeta Wuri, Pendeta Lies Saino, Vikaris Ronald Mosiangi; dan Wildana dari PHDI.
Antusiasme atas kunjungan ke rumah ibadah ini ditunjukkan oleh para ibu dengan membawa bekal makanan, termasuk menyiapkan daftar pertanyaan untuk meminta penjelasan yang mencerahkan. “Saya punya 10 pertanyaan yang saya sudah susun dari rumah tentang orang Kristen. Suami saya juga titip pertanyaan. Saya senang bisa mendapatkan penjelasan langsung dari pendeta, dan lihat sendiri” Ujar ibu Fatimah. “ Saya tanya tentang Tuhan orang Kristen, tanya tentang makanan haram yang dikonsumsi orang Kristen, perbedaan orang Katolik , Kristen, dengan Pantekosta, banyak yang lain”. Sementara itu ibu Jein selain memiliki pertanyaan sendiri juga dititipkan pertanyaan dari pimpinan gerejanya “saya punya 7 pertanyaan, misalnya apakah orang Kristen bisa memakai jilbab? Apa itu kafir? Jihad sebenarnya apa?mengapa jihad sering membunuh orang, mengapa perempuan yang haid tidak ikut sembahyang? ”
Pertanyaan, pernyataan silih berganti muncul dari ibu-ibu yang rata-rata berprofesi sebagai petani, nelayan, buruh perkebunan dan ibu rumah tangga ini. Berulangkali pula terdengar nada O panjang sebagai permakluman dan pengertian baru yang mereka dapatkan. Ibu Filistin dari Desa Didiri penuh kagum dengan proses yang dijalani, mengatakan “saya merasa berdosa, selama ini saya anggap orang Islam itu jahat, cuma suka bunuh orang dan tuduh kita ini kafir soalnya itu yang saya lihat di TV. Sekarang saya mengerti, kalau kita beragama kita diajarkan untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan”
Kekaguman terhadap agama lain juga muncul dari beberapa komentar. Ibu Firda menyampaikan “ Saya kagum bagaimana umat Islam tidak lalai dalam berdoa. Mereka punya doa lima waktu”, sementara ibu Maemunah dari wilayahPoso Pesisir mengatakan “saya senang mendengar bagaimana umat Hindu sangat memperdulikan lingkungan hidup karena itu berkaitan dengan bagaimana mereka percaya. Itu kan jarang jadi perhatian agama lain” .
Melihat dan mendengar yang berbeda, tidak lagi menjadi hal yang menakutkan bagi para perempuan anggota sekolah perempuan yang notabene adalah korban konflik Poso. Sebaliknya mendengarkan tentang agama lain, adalah belajar tentang agama sendiri. Ibu Debbie dari Desa Masani mengatakannya dengan jelas “ setelah dengar penjelasan yang selama ini tidak jelas, saya jadi berpikir kalau agama lain punya nilai cinta kasih yang luar biasa, agama kita juga mengajarkan hal yang sama tapi sering tertutup dengan perbuatan orang-orang yang mencoreng agama”. Ibu Siti dari wilayah Lage menambahkan dalam refleksinya “ Saya menjadi belajar lebih baik bagi kita mempraktekkan nilai-nilai agama sebaik-baiknya daripada susah payah gosip tentang agama lain yang tidak betul” Sementara ibu Hertin dengan tegas berkesimpulan “ sekarang, apapun yang kita dengar jelek tentang agama lain jangan langsung percaya. Pasti itu bukan karena agamanya tapi karena orangnya”
Pengertian yang muncul dari penjelasan yang mencerdaskan membuat ibu-ibu sekolah perempuan ini lebih percaya diri untuk saling berkomunikasi satu sama lain. Jika selama ini mereka masih menjaga jarak, saling mengira-ngira satu sama lain, mereka menjadi malu jika tidak saling lebih dahulu menyapa. Bukan hanya itu, materi di kurikulum agama, toleransi dan perdamaian membuat mereka perlahan mengklarifikasi tentang apa yang selama ini disebut-sebut oleh media massa bahwa konflik Poso adalah konflik agama. “Kita tahu itu bukan karena agama, tapi orang luar dan orang berkepentingan. Sekarang ini lebih jelas, dan kita sudah mengerti sama-sama.”
Kurikulum awal di Sekolah Perempuan Angkatan III dilakukan dalam 5 kali pertemuan. Selain ceramah dan kunjungan lapangan yang membentuk dan menguatkan pandangan anggota sekolah perempuan tentang hidup toleransi, terdapat juga materi refleksi dalam bentuk permainan dan teater yang memperdalam kekayaan pengetahuan anggota sekolah perempuan bahwa berbeda agama atau suku sebuah keniscayaan, dan karena itu kita menjadi lebih kaya, menjadi saling belajar untuk menjadi manusia yang sebaik-baiknya.