Berbaju merah, pink dan jingga, ratusan perempuan mulai dari remaja hingga ibu-ibu turun ke jalan pagi itu. Hari dimana seluruh dunia menyebutkannya sebagai hari valentine, mereka tidak datang membawa bunga mawar, simbol utama yang selalu muncul pada tanggal 14 Februari. Bersama dengan jutaan perempuan di seluruh dunia, mereka turun ke jalan sebagai ungkapan solidaritas terhadap korban kekerasan, sekaligus ajakan untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Poso.
Jika biasanya aksi solidaritas dilakukan dengan orasi, ratusan anak perempuan, remaja laki-laki dan para ibu yang berasal dari 30 desa di Kabupaten Poso dan 4 desa dari Kabupaten Morowali ini, menari massal. Diiringi suara musik dengan lagu “Break the Chain” tarian dimulai dari lingkar tugu Poso. Rombongan berjalan sambil menari. Bukan hanya menari, seruan dengan surat cinta juga disebarkan kepada khalayak, menggugah kesadaran, dunia tanpa kekerasan seksual terhadap perempuan jauh lebih hidup. Titik-titik jalan yang dilewati merupakan jalan-jalan utama di Poso, sejauh 1 km.
Melewati kantor Polres Poso, rombongan berhenti sejenak menyampaikan ajakan agar pihak kepolisian menjadi bagian penting dalam gerakan hentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan bertindak adil dalam kasus. Aktivitas berbelanja di Pasar Sentral Poso sempat terhenti sejenak ketika tarian massal dilakukan. Para bapak, ibu dari berbagai penjuru desa mendengarkan pesan-pesan untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak, dimulai dari dalam keluarga. Selebaran yang dibagikan menjadi rebutan di dalam pasar, menunjukkan banyak masyarakat ikut peduli. Tarian 1 milyar bangkit yang menarik perhatian para pengguna jalan ini berakhir di lapangan Kasintuwu, depan kantor Bupati Poso.
Diantara hentakan musik, teriakan membahana: Hentikan Kekerasan, sekarang juga!!
Di Poso, gerakan tarian massal satu milyal bangkit ini sudah ke dua kali diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu. Dalam konteks di Kabupaten Poso, gerakan 1 milyar bangkit bukan hanya gerakan penghentian kekerasan seksual terhadap perempuan tetapi juga sebuah seruan perdamaian dan penghentian kekerasan. Mereka yang ikut menari adalah para korban, para penyintas, juga para pendamping korban. Bergandengan tangan menyampaikan pesan yang sama.
Bagi Ino (15 tahun, nama disamarkan), keikutsertaannya dalam tarian satu milyar bangkit di Poso telah membebaskan hidupnya. Setahun yang lalu, Ino menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekatnya. Ketika pengadilan menjatuhkan hukumannya terhadap pelaku, Ino merasa belum terlepas dari pengalaman traumatis dan mengerikan dalam hidupnya. Ino bahkan mengatakan hidupnya merasa hancur . Dukungan semua pihak, termasuk dalam bentuk tarian massal yang diikutinya membangkitkan rasa percaya dirinya. Ino tidak takut lagi menjalani hidupnya bersama keluarga yang dipercayainya.
Bukan hanya Ino, di luar sana, atau di sekitar kita, semua memimpikan hal yang sama dalam lirik lagu “Break the Chain”
I can see a world where we all live (Saya melihat dunia dimana kita tinggal); Safe and free from all oppression ( aman dan bebas dari segala tindak kekerasan); No more rape or incest, or abuse (tidak ada lagi perkosaan, insest atau kekerasan seksual lainnya; Women are not a possession (perempuan, dan anak memiliki kehidupannya)