Hari itu, suasana di kelas sekolah perempuan nampak berbeda dari biasanya. Puluhan pasang mata warga Sekolah Perempuan menatap lekat ke arah layar yang menayangkan kartun berjudul “Imposible Dream”. Dua orang ibu nampak berkaca-kaca, yang lain menggenggam tangannya erat, tapi seseorang mengepalkan tangannya. Terdengar bunyi helaan napas panjang. Mereka menggerutu dalam ekspresi diam. Begitu layar padam, ruangan seperti sarang tawon. Celutukan, gerutuan, pernyataan bermunculan dengan lebih jelas.
“Kasihan sekali perempuan itu, sudah dari sebelum matahari terbit sampai matahari terbenam bekerja tanpa henti, mengurus semuanya” kata seorang ibu. Yang lain menyambung “itu menular ke anak perempuannya. Lihat saja tadi, ayahnya cuma menonton, anak laki-laki juga begitu, sementara anak perempuan sibuk seperti ibunya ngurus anak, cuci piring, setrika”. Seorang ibu di bagian pojok ruangan berkata “itu kenyataan yang pahit. Saya menonton itu seperti melihat diri sendiri, tapi saya yakin kita semua tidak mau itu terus terjadi”
Komentar demi komentar bersahutan menanggapi kartun yang diterbitkan oleh UN dalam rangka kampanye isu adil gender. Hari itu adalah pertemuan ke tiga dari modul gender di sekolah perempuan Mosintuwu. Modul diawali dengan pengetahuan dasar mengenai perbedaan konsep seks dan gender, bias gender, ketidakadilan gender, kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan terhadap perempuan hingga analisis gender. Modul yang difasilitasi oleh Evani Hamzah (aktivis Solidaritas Perempuan), Lies Saino ( Rektor UNKRIT), dan Evi Tampakatu (koordinator RPPA Mosintuwu). Saya juga ikut ambil bagian dalam menfasilitasi modul ini. ini merupakan modul kedua dari keseluruhan kurikulum di Sekolah Perempuan.
Modul ini bukan hanya memberikan informasi mengenai konsep gender, tetapi terutama menguatkan anggota sekolah perempuan untuk memperjuangkan perdamaian di Tana Poso harus bersamaan dengan perjuangan pada kesetaraan. Tantangan terutama pada kebudayaan patriakhi dan tafsir atas kitab suci. Memulai memperjuangkan keadilan gender oleh perempuan tentu saja perlu didukung oleh laki-laki. Memperkenalkan, menguatkan konsep gender serta memotivasi gerakan memperjuangkan keadilan gender ini dilakukan melalui serangkaian permainan, teater, menonton film, dan diskusi kelompok. Ibu-ibu tampak bersemangat dan antusias bukan hanya mendengarkan tetapi menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Alhasil, dimulai dari keluarganya, ibu Rustomini dari Desa Trimulya mengatakan pengalamannya “Saya diyakinkan lewat modul ini. Saya lebih percaya diri untuk berbicara dengan suami saya bahwa karena saya dan dia setara maka saya juga bisa beraktivitas di luar rumah untuk memperjuangkan keadilan, sama seperti yang lain”. Sementara itu seorang ibu dari kelas di Morowali yang sangat sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya mengaku “saya sekarang tidak lagi diam kalau mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Saya tahu bahwa saya manusia, dan karena itu saya berhak dihargai setara dan sama halnya dengan sesama manusia lainnya termasuk suami saya”
Belajar modul gender di sekolah perempuan Mosintuwu mungkin saja bagi sebagian orang hanya sebuah pengenalan atas sebuah konsep baru, gender. Bagi banyak anggota sekolah perempuan, belajar modul gender, sebuah langkah baru untuk berani memperjuangkan hak-hak atas kehidupan, selaras dengan memperjuangkan perdamaian dan keadilan.