“Bukankah, orang desa lebih tahu tentang desanya?” pertanyaan tegas dari ibu Helphin dari Desa Tiu mewarnai proses diskusi di rumah bambu di wilayah Yosi, Tentena yang dikenal dengan sebutan Dodoha Mosintuwu. Selama 2 hari, tanggal 18 – 19 Februari, Institut Mosintuwu mengadakan training dengan tema “Perempuan dan Isu Kritis UU Desa”. Training yang menghadirkan Yando Zakaria , tim ahli penyusun UU Desa dan pendiri KARSA Jogjakarta dan mbak Nani Saptariani dari RIM Bogor merupakan serangkaian kegiatan yang menindaklanjuti keinginan kuat anggota sekolah perempuan Mosintuwu tentang desa. Training juga merupakan bagian dari penguatan kapasitas bagi penduduk desa khususnya perempuan terlibat aktif dalam pembangunan desa.
Training menggali bersama konteks desa sebelum dan sesudah UU Desa. Proses ini menunjukkan bagaimana sebelum UU Desa, desa selalu menjadi objek atau sasaran program pembangunan. Kehadiran UU Desa memberikan harapan baru bagi masyarakat desa dengan menjadi subyek pembangunan dimana masyarakat desa secara mandiri dapat dan mampu merumuskan perencanaan dan melaksanakan pembangunan di desa mereka secara berkelanjutan. 30 peserta yang merupakan anggota sekolah perempuan Mosintuwu ini secara bergantian menceritakan mengenai buruknya situasi bagi perempuan dan masyarakat desa pada umumnya sebelum UU Desa. Ketergantungan pada pemerintah daerah berakibat buruk dalam perencanaan pembangunan karena program terkadang sangat dipengaruhi oleh lobi-lobi yang bersifat politik. Sementara itu bagi kelompok perempuan, sangat jarang dilibatkan dalam perencanaan pembangunan apalagi dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan.
Pemetaan konteks desa sebelum dan sesudah UU Desa mendasari diskusi panjang yang sangat menarik mengenai apa kata UU Desa tentang peran perempuan. Meskipun UU Desa tidak secara tegas berbicara khusus tentang perempuan, namun ruang keterlibatan dibuka bagi seluruh kelompok masyarakat, tentu saja termasuk kelompok perempuan dan kelompok marjinal lainnya dalam desa. Training menguatkan tekad para peserta untuk mengambil bagian bahkan jika perlu “ kita rebut peran kita yang sebenarnya adalah hak kita” ujar ibu Erni dari Desa Saojo.
Saat dilakukan bersama peta potensi perempuan dalam pembangunan desa, ditemukan bersama bahwa perempuan bukan hanya memiliki kemampuan untuk terlibat, tetapi juga pengalaman perempuan dalam isu kesehatan, pendidikan, dan hak layanan masyarakat bisa menjadi dasar penting dalam perencanaan pembangunan. Mewakili peserta training, ibu Rusmiati dari Desa Trimulya berdiri dan berkata tegas “ mulai sekarang kita harus yakin, pelaksana UU Desa harusnya dari dalam desa, dan perempuan dari Sekolah Perempuan sudah siap mendampingi desa”.
Tekad bersama ini diperkuat dengan pembicaraan mengenai pengorganisasian yang difasilitasi oleh mbak Nani Saptariani. Peserta yang berasal dari 20 desa di Kabupaten Poso ini, ditantang untuk mampu mengorganisir anggota sekolah perempuan lainnya di dalam desa untuk menjadi bagian dari gerakan perempuan untuk pembaharuan desa. Seperti istilah sapu lidi bisa berfungsi jika terdiri dari banyak lidi, demikian pula diharapkan cita-cita agar perempuan bisa memberikan pengaruh yang kuat dalam pembangunan desa.
Perempuan Poso maju, bersuara dan bergerak, diyakini bukan lagi mimpi. Anggota sekolah perempuan Mosintuwu siap menjadi bagian aktif bersama dengan masyarakat desa untuk desa yang adil dan makmur, inklusi gender dan sosial. Karena orang di desa, termasuk perempuan lebih tahu mimpi mereka tentang desa.
“Bukankah, orang desa lebih tahu tentang desanya?” pertanyaan tegas dari ibu Helphin dari Desa Tiu mewarnai proses diskusi di rumah bambu di wilayah Yosi, Tentena yang dikenal dengan sebutan Dodoha Mosintuwu. Selama 2 hari, tanggal 18 – 19 Februari, Institut Mosintuwu mengadakan training dengan tema “Perempuan dan Isu Kritis UU Desa”. Training yang menghadirkan Yando Zakaria , tim ahli penyusun UU Desa dan pendiri KARSA Jogjakarta dan mbak Nani Saptariani dari RIM Bogor merupakan serangkaian kegiatan yang menindaklanjuti keinginan kuat anggota sekolah perempuan Mosintuwu tentang desa. Training juga merupakan bagian dari penguatan kapasitas bagi penduduk desa khususnya perempuan terlibat aktif dalam pembangunan desa.
Training menggali bersama konteks desa sebelum dan sesudah UU Desa. Proses ini menunjukkan bagaimana sebelum UU Desa, desa selalu menjadi objek atau sasaran program pembangunan. Kehadiran UU Desa memberikan harapan baru bagi masyarakat desa dengan menjadi subyek pembangunan dimana masyarakat desa secara mandiri dapat dan mampu merumuskan perencanaan dan melaksanakan pembangunan di desa mereka secara berkelanjutan. 30 peserta yang merupakan anggota sekolah perempuan Mosintuwu ini secara bergantian menceritakan mengenai buruknya situasi bagi perempuan dan masyarakat desa pada umumnya sebelum UU Desa. Ketergantungan pada pemerintah daerah berakibat buruk dalam perencanaan pembangunan karena program terkadang sangat dipengaruhi oleh lobi-lobi yang bersifat politik. Sementara itu bagi kelompok perempuan, sangat jarang dilibatkan dalam perencanaan pembangunan apalagi dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan.
Pemetaan konteks desa sebelum dan sesudah UU Desa mendasari diskusi panjang yang sangat menarik mengenai apa kata UU Desa tentang peran perempuan. Meskipun UU Desa tidak secara tegas berbicara khusus tentang perempuan, namun ruang keterlibatan dibuka bagi seluruh kelompok masyarakat, tentu saja termasuk kelompok perempuan dan kelompok marjinal lainnya dalam desa. Training menguatkan tekad para peserta untuk mengambil bagian bahkan jika perlu “ kita rebut peran kita yang sebenarnya adalah hak kita” ujar ibu Erni dari Desa Saojo.
Saat dilakukan bersama peta potensi perempuan dalam pembangunan desa, ditemukan bersama bahwa perempuan bukan hanya memiliki kemampuan untuk terlibat, tetapi juga pengalaman perempuan dalam isu kesehatan, pendidikan, dan hak layanan masyarakat bisa menjadi dasar penting dalam perencanaan pembangunan. Mewakili peserta training, ibu Rusmiati dari Desa Trimulya berdiri dan berkata tegas “ mulai sekarang kita harus yakin, pelaksana UU Desa harusnya dari dalam desa, dan perempuan dari Sekolah Perempuan sudah siap mendampingi desa”.
Tekad bersama ini diperkuat dengan pembicaraan mengenai pengorganisasian yang difasilitasi oleh mbak Nani Saptariani. Peserta yang berasal dari 20 desa di Kabupaten Poso ini, ditantang untuk mampu mengorganisir anggota sekolah perempuan lainnya di dalam desa untuk menjadi bagian dari gerakan perempuan untuk pembaharuan desa. Seperti istilah sapu lidi bisa berfungsi jika terdiri dari banyak lidi, demikian pula diharapkan cita-cita agar perempuan bisa memberikan pengaruh yang kuat dalam pembangunan desa.
Perempuan Poso maju, bersuara dan bergerak, diyakini bukan lagi mimpi. Anggota sekolah perempuan Mosintuwu siap menjadi bagian aktif bersama dengan masyarakat desa untuk desa yang adil dan makmur, inklusi gender dan sosial. Karena orang di desa, termasuk perempuan lebih tahu mimpi mereka tentang desa.