“Sebelum ada sekolah perempuan, saya pribadi, saya harus jujur, saya tidak senang dengan yang muslim. Mungkin karena trauma dengan keadaan konflik di Poso yang lalu. Desa saya terbakar 4 kali. 4 kali, terbakar. Saya tidak senang dengan muslim, apalagi kalau saya lihat yang berjilbab, hati saya teringat dengan kerusuhan yang lalu. Saya pikir dorang (mereka – red) ini sama kelakuannya dengan yang lalu (suka membunuh – red). Terus terang, ketika saya tahu fasilitator sekolah perempuan saya berjilbab. Huuu…hati saya ini, aduh… Saya pikir tidak mau, tidak jadi mau ikut sekolah perempuan .Saya bilang sama koordinator desa “‘tidak saya tidak mau masuk sekolah perempuan, banyak yang berjilbab”
Betul sekali, saya takut. Jangankan dengan orang-orang dari Jawa, dari keluarga saya saja sendiri, saya punya nenek (muslim – red) sampai sekarang di sudah meninggal saya tidak pernah lihat. Saya terus terang menyimpan dendam. Jangankan itu, waktu ada mama Linda (muslim) undang datang untuk makan, saya jujur waktu itu saya pikir-pikir itu jangan-jangan dorang (mereka) kase racun itu makanan. Begitu juga sewaktu saya dengan ibu Sumiati saya tanya “apa dulu kamu suka membunuh seperti yang lain”. Saya dipeluk oleh ibu Sumiati, dia bilang ‘tidak bu, kami tidak begitu’ Waktu itu mau menangis.
Tapi Puji Tuhan, itu dulu. Saya belajar di sekolah perempuan. Ketika ada pelajaran agama dan toleransi, saya tanya semua hal yang selama ini saya takuti. ” kenapa seperti ini, kenapa seperti itu?”. Saya juga berkesempatan dengar dari ibu-ibu muslim yang lain. Mereka yakinkan saya “tidak semua muslim seperti yang dipikirkan. Kalau ada yang membunuh itu karena mereka tidak mengerti ajaran Islam yang sebenarnya”
Sekarang Tuhan lihat, hatiku tidak lagi seperti itu. Itu karena sekolah perempuan. Di sekolah perempuan kita bisa mengenal satu sama lain, kita bisa tahu agama ini dan itu. Kita tahu agamanya si anu tidak seperti itu, agamanya saya juga seperti itu. Tidak ada agama yang mengajarkan untuk berbuat kejahatan. Semua agama mengajarkan kebaikan bagi manusia.
Ini betul, saya harus jujur. Saya tidak lagi berprasangka seperti dulu. Ini betul. Kalau orang Poso bilang “betu kojo, bukan cuma betul. Betul sekali, jauh dari lubuk hati saya yang paling dalam” saya bersyukur di sekolah perempuan bisa memberikan pengetahuan yang selama ini pemikiran saya negatif terus tentang agama lain.
Sekarang, bahkan kalau ada yang bilang ‘kalau nanti akan terjadi apa-apa (kerusuhan – red) di desa kami, kami tahu kami akan bersama-sama bergandeng tangan melawan kejahatan. Itu seperti penguatan pak imam di dalam masjid yang kami kunjungi sewaktu sekolah perempuan dulu. Iya, kami sekarang kami bahu membahu bekerja, bersilahturahmi, kami hidup berdampingan dengan damai. Kalau ada kegiatan natal kami dikunjungi, kalau hari raya Idulfitri kami gantian saling mengunjungi. Tidak ada lagi dendam, kami saling berbagi kasih dan damai.
Catatan Redaksi : Cerita dari ibu Miliana, anggota sekolah perempuan angkatan III, pengungsi dari Desa Malewa, tinggal di Desa Ratoumbu.