“Kita tunjukkan kalau Poso, Poso Pesisir ini aman, tidak seperti yang orang bayangkan diluar sana, hanya dikenal karena ribut saja,”(R Bakumawa)
Sekitar dua ratusan orang perempuan dari 19 kecamatan di kabupaten Poso ditambah beberapa desa di Morowali memenuhi simpang tiga Ratulene, kelurahan Kasiguncu, Poso Pesisir, 21 April 2015, tepatnya pukul 19.00 wita. Dengan menyalakan obor bambu bersumbu serabut kelapa, mereka menyampaikan pesan-pesan damai bukan hanya lewat pidato atau orasi, puisi dan nyanyian diberikan kepada warga sekitar serta para pelintas di jalur Trans Sulawesi itu. Mereka adalah anggota sekolah perempuan Mosintuwu dari Angkatan I, II dan III yang diorganisir oleh Institut Mosintuwu.
Berkumpulnya perempuan yang sebagian besar ibu rumah tangga ini sebenarnya adalah bagian dari perayaan hari Kartini. Namun ini memang berbeda. Jauh dari kesan perempuan berkebaya atau lomba memasak yang biasanya menjadi rutinitas setiap tahun. Kali ini perempuan berada diluar rumah, pada malam hari pula dan di daerah yang disebut-sebut sebagai wilayah rawan pula. Ini Aksi ini membawa pesan keberanian bagaimana seharusnya perempuan bersikap. Membawa pesan langsung dari bawah, bahwa Poso aman dan perempuan menjadi salah satu pemeran utama kembalinya kepercayaan ditengah komunitas. Semangat Kartini, yang memimpikan perempuan bukan hanya berada dalam rumah, tetapi mengambil peran membangun dan menyelesaikan persoalan ditunjukkan dengan turun ke jalan.
Selama lebih dari 2 jam barisan perempuan di tepi jalan yang hampir tanpa pengawalan aparat keamanan ini berjalan aman, damai sekaligus membantah anggapan kondisi keamanan di Poso khususnya wilayah Poso Pesisir bersaudara tidak aman, khususnya malam hari ji9ka hendak melintas melewati Poso Pesisir Selatan, tempat asal sebagian peserta aksi, sebab awal tahun ini, sejumlah peristiwa pembunuhan dan teror terjadi di desa Tangkura, Taunca hingga Padalembara. Daerah yang juga disebut sebagai wilayah berkeliarannya kelompok radikal bersenjata, Santoso cs yang paling dicari Polisi.
Asni Yati Hamidi, seorang koordinator aksi mengatakan, apa yang mereka lakukan untuk mengkampanyekan Poso Pesisir tidak seperti yang selama ini dibayangkan oleh orang bila menyebut nama Poso, berbahaya dan seram.
Sambutan warga Kasiguncu, selama aksi berlangsung sungguh hangat, perempuan dan laki-laki tua hingga anak-anak memenuhi jalan mengikuti tarian, nyanyian serta orasi yang mengajak untuk teguh menjaga perdamaian, tidak terpengaruh dengan berbagai isu yang membuat Poso dicap sebagai daerah rawan.
“Biasanya torang disini taunya kalau ada aksi demo begitu mau ribut atau teriak-teriak tuntut pemerintah, tapi ini dorang hanya baca puisi dan menyanyi, ini juga bukti kalau torang pe kampung ini aman,”kata Rusmin seorang warga. Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali, mengatakan, obor perdamaian merupakan upaya perempuan agar perdamaian tetap terjaga, meskipun berbagai teror terhadap warga khususnya perempuan masih terjadi sementara aparat negara belum bisa menjamin keamanan seluruh warga Poso.
Obor menjadi simbol keberanian para perempuan di Poso untuk berada di garda depan menyampaikan pesan damai untuk Poso. Obor juga, menurut ibu Evi, koordinator aksi adalah simbol jalan damai yang harusnya menjadi pilihan semua warga di Poso karena kekerasan termasuk penanganan konflik dengan kekerasan tidak akan menghasilkan hal yang baik. Kehadiran para Perempuan Poso merupakan simbol bahwa perempuan tidak mau tinggal diam jika ketidakdamaian terjadi.
“Kita tunjukkan kalau Poso, Poso Pesisir ini aman, tidak seperti yang orang bayangkan diluar sana, hanya dikenal karena ribut saja,”(R Bakumawa)
Sekitar dua ratusan orang perempuan dari 19 kecamatan di kabupaten Poso ditambah beberapa desa di Morowali memenuhi simpang tiga Ratulene, kelurahan Kasiguncu, Poso Pesisir, 21 April 2015, tepatnya pukul 19.00 wita. Dengan menyalakan obor bambu bersumbu serabut kelapa, mereka menyampaikan pesan-pesan damai bukan hanya lewat pidato atau orasi, puisi dan nyanyian diberikan kepada warga sekitar serta para pelintas di jalur Trans Sulawesi itu. Mereka adalah anggota sekolah perempuan Mosintuwu dari Angkatan I, II dan III yang diorganisir oleh Institut Mosintuwu.
Berkumpulnya perempuan yang sebagian besar ibu rumah tangga ini sebenarnya adalah bagian dari perayaan hari Kartini. Namun ini memang berbeda. Jauh dari kesan perempuan berkebaya atau lomba memasak yang biasanya menjadi rutinitas setiap tahun. Kali ini perempuan berada diluar rumah, pada malam hari pula dan di daerah yang disebut-sebut sebagai wilayah rawan pula. Ini Aksi ini membawa pesan keberanian bagaimana seharusnya perempuan bersikap. Membawa pesan langsung dari bawah, bahwa Poso aman dan perempuan menjadi salah satu pemeran utama kembalinya kepercayaan ditengah komunitas. Semangat Kartini, yang memimpikan perempuan bukan hanya berada dalam rumah, tetapi mengambil peran membangun dan menyelesaikan persoalan ditunjukkan dengan turun ke jalan.
Selama lebih dari 2 jam barisan perempuan di tepi jalan yang hampir tanpa pengawalan aparat keamanan ini berjalan aman, damai sekaligus membantah anggapan kondisi keamanan di Poso khususnya wilayah Poso Pesisir bersaudara tidak aman, khususnya malam hari ji9ka hendak melintas melewati Poso Pesisir Selatan, tempat asal sebagian peserta aksi, sebab awal tahun ini, sejumlah peristiwa pembunuhan dan teror terjadi di desa Tangkura, Taunca hingga Padalembara. Daerah yang juga disebut sebagai wilayah berkeliarannya kelompok radikal bersenjata, Santoso cs yang paling dicari Polisi.
Asni Yati Hamidi, seorang koordinator aksi mengatakan, apa yang mereka lakukan untuk mengkampanyekan Poso Pesisir tidak seperti yang selama ini dibayangkan oleh orang bila menyebut nama Poso, berbahaya dan seram.
Sambutan warga Kasiguncu, selama aksi berlangsung sungguh hangat, perempuan dan laki-laki tua hingga anak-anak memenuhi jalan mengikuti tarian, nyanyian serta orasi yang mengajak untuk teguh menjaga perdamaian, tidak terpengaruh dengan berbagai isu yang membuat Poso dicap sebagai daerah rawan.
“Biasanya torang disini taunya kalau ada aksi demo begitu mau ribut atau teriak-teriak tuntut pemerintah, tapi ini dorang hanya baca puisi dan menyanyi, ini juga bukti kalau torang pe kampung ini aman,”kata Rusmin seorang warga. Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali, mengatakan, obor perdamaian merupakan upaya perempuan agar perdamaian tetap terjaga, meskipun berbagai teror terhadap warga khususnya perempuan masih terjadi sementara aparat negara belum bisa menjamin keamanan seluruh warga Poso.
Obor menjadi simbol keberanian para perempuan di Poso untuk berada di garda depan menyampaikan pesan damai untuk Poso. Obor juga, menurut ibu Evi, koordinator aksi adalah simbol jalan damai yang harusnya menjadi pilihan semua warga di Poso karena kekerasan termasuk penanganan konflik dengan kekerasan tidak akan menghasilkan hal yang baik. Kehadiran para Perempuan Poso merupakan simbol bahwa perempuan tidak mau tinggal diam jika ketidakdamaian terjadi.