Warna – warni Persahabatan di Festival Anak Poso

0
2045
Anak-anak bermain Loko-loko di Festival Anak . Foto : Dok. Mosintuwu


Tak tak , tak tak tak, taktaktaktak,…..bunyi-bunyian dari stik bambu terdengar seru dan meriah di lokasi festival danau Poso.  Kurang lebih 450 anak-anak berpakaian merah dan orange memainkannya bersamaan dengan pembukaan Festival Anak Perdamaian.  Anak-anak berusia 8 hingga 15 tahun dari 20 desa di Kabupaten Poso dan sebagian desa di Kabupaten Morowali Utara riuh ramai membuka secara resmi Festival Anak Perdamaian yang diselenggarakan oleh Project Sophia, salah satu program khusus Institut Mosintuwu bagi anak-anak.

Semuanya tentang anak-anak. Karena itu bermain adalah hal penting dan utama.  Lokasi festival disulap menjadi arena bermain anak-anak. Tidak ada playstation atau tablet, bahkan telepon genggam hari itu.

Di lapangan, puluhan alas kaki anak-anak diubah dengan menggunakan batok kelapa yang dikenal dengan sebutan loko-loko dan dua tiang panjang menjulang dikenal dengan sebutan enggran. Kedua permainan ini secara bergantian dimainkan oleh anak-anak perempuan dan laki-laki, mencoba menguji satu sama lain siapa yang mahir dan cepat berjalan atau berlari menggunakan alat permainan tradisional itu.

Di panggung, karet gelang yang sudah dianyam menjadi tali menjadi alat uji lompatan anak-anak dalam bermain tali. Karet gelang yang dipegang dua anak masing-masing di lutut , dilompati tanpa menyentuh tali oleh dua anak yang lain. Lalu tali direntangkan berpusat di pusat anak, lalu dada, hingga telinga, mulut, kepala, hingga satu jengkal di atas kepala. Anak-anak perempuan bergantian mencoba melompati tali. Anak-anak yang lebih kecil berseru memberikan semangat dan bertepuk tangan jika salah satu anak berhasil melompati rentangan tali di atas kepala.

Anak-anak silih berganti memilih permainan yang disukai. Bukan hanya permainan tali atau loko-loko dan enggran, permainan menarik lainnya mengajak anak-anak untuk bermain seperti bois ( permainan berkelompok dimana satu kelompok melempar susunan batu dengan bola kasti dan menyusunnya kembali sebelum kelompok lain menyentuhkan bola kasti ke salah satu badan anggota kelompok); benteng dan bulu tangkis menggunakan peralatan bulu ayam dan alat pukul dari kayu.  Terdapat juga permainan congklak yang dimainkan dengan menggunakan batu dan lingkaran yang dibuat dari kapur tulis.

Sejak pagi hingga sore tidak ada wajah kelelahan dan rasa bosan dari sebagian besar anak-anak yang datang dari desa-desa tanpa didampingi oleh orang tuanya. Terasa bebas dan lepas memainkan semua permainan bergantian. Sambil bermain mereka memperkenalkan diri, merajut pertemanan. Nindy dari Desa Saojo pada enam jam pertama sejak pembukaan festival, sudah menemukan 20 teman baru dari berbagai desa. Nindy mencatatnya di kartu nama yang dibawanya kemana-mana. “ Senang sekali disini kakak, saya banyak teman-teman dan semua dorang baik-baik. Bahkan yang Islam, ada yang ajak saya ke rumahnya kalau lebaran tahun depan, dia di Desa Tegalrejo”

Baca Juga :  Surat - surat Anak Poso The Letters of Poso's Children

Dedy, 10 tahun dari Desa Ratoumbu, bercerita baru pertama kali datang ke Tentena. “ ini pertama kali saya keluar dari desa, dan bertemu teman-teman. Saya bangga sekali. Nanti mau cerita ke teman-teman saya punya teman banyak di luar desa”. Desa Ratoumbu adalah salah satu desa transmigran dan lokasi pengungsian yang sulit terjangkau karena saranan transportasi yang terbatas dan jalan yang rusak.  Demikian juga anak-anak dari Lore Selatan dan Morowali . Sindy, 13 tahun dari Desa Taliwan sumrigah mengatakan “ kakak, saya baru tahu ada desa yang banyak patungnya, katanya itu di Bada. Itu teman baru saya yang bilang”. Dari Poso Pesisir, Gede yang beragama Hindu bercerita sambil tersenyum senang “sangat senang bisa lihat Danau Poso dan bertemu teman-teman dari agama lain. Banyak yang tanya saya tentang suku Bali”

Permainan tradisional yang sangat sering dimainkan oleh anak-anak sebelum serbuan permainan teknologi, awalnya dimainkan berdasarkan desa. namun kemudian semuanya bermain tanpa batas. Tidak ada lagi antar desa, antar agama, antar suku. Dalam satu desa terdapat berbagai agama, yang bertemu dengan desa yang lain yang beragam agama dan suku. Berbaur. Berbagai permainan di lapangan menjadi penghubung anak-anak. Melompat, menari, tertawa, tersenyum, saling bercanda mewarnai seluruh hari. “Kami mau lagi ditambah hari supaya lebih banyak teman-teman, lebih banyak bersenang-senang berteman” . Bibit pertemanan telah disemai, dalam keberagaman. Anak-anak ini tahu  mereka pernah memiliki pengalaman manis, mereka meskipun berbeda desa, berbeda agama dan suku, pernah ada satu hari dimana mereka bersama-sama mewarnai Poso yang kaya beragam dan damai.

Baca Juga :  Dulu Tak Berani Melintas, Kini Saling MenginapThe Story of Women in Post Conflict Zone

Tak tak , tak tak tak, taktaktaktak,…..bunyi-bunyian dari stik bambu terdengar seru dan meriah di lokasi festival danau Poso.  Kurang lebih 450 anak-anak berpakaian merah dan orange memainkannya bersamaan dengan pembukaan Festival Anak Perdamaian.  Anak-anak berusia 8 hingga 15 tahun dari 20 desa di Kabupaten Poso dan sebagian desa di Kabupaten Morowali Utara riuh ramai membuka secara resmi Festival Anak Perdamaian yang diselenggarakan oleh Project Sophia, salah satu program khusus Institut Mosintuwu bagi anak-anak.

Semuanya tentang anak-anak. Karena itu bermain adalah hal penting dan utama.  Lokasi festival disulap menjadi arena bermain anak-anak. Tidak ada playstation atau tablet, bahkan telepon genggam hari itu.

Di lapangan, puluhan alas kaki anak-anak diubah dengan menggunakan batok kelapa yang dikenal dengan sebutan loko-loko dan dua tiang panjang menjulang dikenal dengan sebutan enggran. Kedua permainan ini secara bergantian dimainkan oleh anak-anak perempuan dan laki-laki, mencoba menguji satu sama lain siapa yang mahir dan cepat berjalan atau berlari menggunakan alat permainan tradisional itu.

Di panggung, karet gelang yang sudah dianyam menjadi tali menjadi alat uji lompatan anak-anak dalam bermain tali. Karet gelang yang dipegang dua anak masing-masing di lutut , dilompati tanpa menyentuh tali oleh dua anak yang lain. Lalu tali direntangkan berpusat di pusat anak, lalu dada, hingga telinga, mulut, kepala, hingga satu jengkal di atas kepala. Anak-anak perempuan bergantian mencoba melompati tali. Anak-anak yang lebih kecil berseru memberikan semangat dan bertepuk tangan jika salah satu anak berhasil melompati rentangan tali di atas kepala.

Anak-anak silih berganti memilih permainan yang disukai. Bukan hanya permainan tali atau loko-loko dan enggran, permainan menarik lainnya mengajak anak-anak untuk bermain seperti bois ( permainan berkelompok dimana satu kelompok melempar susunan batu dengan bola kasti dan menyusunnya kembali sebelum kelompok lain menyentuhkan bola kasti ke salah satu badan anggota kelompok); benteng dan bulu tangkis menggunakan peralatan bulu ayam dan alat pukul dari kayu.  Terdapat juga permainan congklak yang dimainkan dengan menggunakan batu dan lingkaran yang dibuat dari kapur tulis.

Sejak pagi hingga sore tidak ada wajah kelelahan dan rasa bosan dari sebagian besar anak-anak yang datang dari desa-desa tanpa didampingi oleh orang tuanya. Terasa bebas dan lepas memainkan semua permainan bergantian. Sambil bermain mereka memperkenalkan diri, merajut pertemanan. Nindy dari Desa Saojo pada enam jam pertama sejak pembukaan festival, sudah menemukan 20 teman baru dari berbagai desa. Nindy mencatatnya di kartu nama yang dibawanya kemana-mana. “ Senang sekali disini kakak, saya banyak teman-teman dan semua dorang baik-baik. Bahkan yang Islam, ada yang ajak saya ke rumahnya kalau lebaran tahun depan, dia di Desa Tegalrejo”

Baca Juga :  Dokumen Warisan Geologi Danau Poso, Jalan Panjang Menuju Taman Bumi

Dedy, 10 tahun dari Desa Ratoumbu, bercerita baru pertama kali datang ke Tentena. “ ini pertama kali saya keluar dari desa, dan bertemu teman-teman. Saya bangga sekali. Nanti mau cerita ke teman-teman saya punya teman banyak di luar desa”. Desa Ratoumbu adalah salah satu desa transmigran dan lokasi pengungsian yang sulit terjangkau karena saranan transportasi yang terbatas dan jalan yang rusak.  Demikian juga anak-anak dari Lore Selatan dan Morowali . Sindy, 13 tahun dari Desa Taliwan sumrigah mengatakan “ kakak, saya baru tahu ada desa yang banyak patungnya, katanya itu di Bada. Itu teman baru saya yang bilang”. Dari Poso Pesisir, Gede yang beragama Hindu bercerita sambil tersenyum senang “sangat senang bisa lihat Danau Poso dan bertemu teman-teman dari agama lain. Banyak yang tanya saya tentang suku Bali”

Permainan tradisional yang sangat sering dimainkan oleh anak-anak sebelum serbuan permainan teknologi, awalnya dimainkan berdasarkan desa. namun kemudian semuanya bermain tanpa batas. Tidak ada lagi antar desa, antar agama, antar suku. Dalam satu desa terdapat berbagai agama, yang bertemu dengan desa yang lain yang beragam agama dan suku. Berbaur. Berbagai permainan di lapangan menjadi penghubung anak-anak. Melompat, menari, tertawa, tersenyum, saling bercanda mewarnai seluruh hari. “Kami mau lagi ditambah hari supaya lebih banyak teman-teman, lebih banyak bersenang-senang berteman” . Bibit pertemanan telah disemai, dalam keberagaman. Anak-anak ini tahu  mereka pernah memiliki pengalaman manis, mereka meskipun berbeda desa, berbeda agama dan suku, pernah ada satu hari dimana mereka bersama-sama mewarnai Poso yang kaya beragam dan damai.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda