Festival Sekolah Perempuan : Pameran Kekuatan Desa dan Karya Perempuan

0
1963
Perempuan dari berbagai desa berkumpul bersama merayakan pengetahuan perempuan di Festival Sekolah Perempuan. Foto : Dok. Mosintuwu/Vifick

“Desaku yang kucinta, pujaan hatiku, …desaku yang permai” lantunan lagu ciptaan L.Manik, mengawali serangkaian kegiatan di Festival Sekolah Perempuan. Penuh penghayatan, anggota sekolah perempuan dari 40 desa bergandengan tangan menyanyikannya. “Desa, kami percaya sebagai masa depan peradaban masyarakat, disitu pula ruang gerak para perempuan” Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu, pendiri sekolah perempuan menegaskan alasan mengapa desa menjadi tema penting dalam Festival yang diikuti oleh seluruh anggota sekolah perempuan angkatan III ini. Menyambut hal tersebut , serangkaian kegiatan festival mengangkat desa sebagai subyek kekuatan masyarakat.

Pameran produk ekonomi desa menjadi salah satu daya tarik pengunjung festival. Beras organik Kamba, beras khas dari Lore Selatan laku dalam hitungan jam. Demikian pula belanga dari tanah liat , kunyit asli dari Bada. Selain itu terdapat pula lusinan piring keranjang, gelas unik dari batok kelapa, penutup hidangan makanan dari lidi yang dianyam cantik, tikar pandan yang langka dan sebagainya. Belum lagi makanan khas dari berbagai desa. Kue torik, madu hutan, kue gulung, kopi tumbuk asli dan kue ubi bakar menjadi favorit semua orang, juga pernak-pernik dari akar hutan yang menjadi gelang atau aksesori rambut dari kain perca. Kemasan yang menarik, harga yang masuk akal dan terutama cerita dibalik setiap produk yang dihasilkan menggambarkan bagaimana desa membangun dirinya sendiri melalui perempuan dengan menggunakan potensi sumber daya alam dan manusianya.

Baca Juga :  Kongres Perempuan Poso: Perempuan Poso untuk Perdamaian dan Keadilan

“Laku semua barang dari desa yang saya bawa” kata ibu Herlina dari Desa Bancea sambil tersenyum senang “ awalnya saya pikir bawa saja ke pameran dan siap-siap tidak laku karena ini produk dari desa, eh ternyata bahkan istri duta besar Amerika mau membeli barang saya” Herlina tergelak. Kepercayaan diri atas kekuatan desa menjadi awal penting bagi para perempuan melengkapi proses menciptakan pengetahuan atas desa.

Sementara itu disepanjang jalan di lokasi festival, 100 foto anggota sekolah perempuan mengundang perhatian setiap pengunjung. Foto-foto yang dilengkapi dengan kutipan bijak tentang pentingnya pendidikan, terbagi dalam empat tema besar. Pertama, menceritakan proses belajar bersama di sekolah perempuan sebuah proses mengelola dan menciptakan pengetahuan perempuan tentang kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Selain proses di sekolah perempuan, juga terdapat seri diskusi, seminar, workshop dimana perempuan tidak berhenti belajar kedua, foto bercerita tentang aksi dan respon perempuan atas dinamika kehidupan di Poso, misalnya aksi obor perdamaian dan lilin perdamaian sebagai bentuk kritik atas kebijakan keamanan atau aksi satu milyar bangkit, saat perempuan menari di jalanan untuk kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. Juga nampak aksi anggota sekolah perempuan di gedung DPRD untuk menuntut kebijakan pemerintah agar perempuan diakui dan terlibat dalam pembangunan desa.

Baca Juga :  Jalan-jalan Virtual Seru di Poso

“ kami ingin menyampaikan pesan, bahwa pengetahuan yang dimiliki perempuan akan menjadi aksi atas kehidupan” jelas Martince, koordinator  pengorganisasian di Mosintuwu. Ketiga, foto-foto yang menceritakan perayaan atas proses bersama meraih perdamaian antar komunitas dan upaya untuk memperjuangkan keadilan. Foto-foto menggambarkan proses wisuda dan kongres perempuan Poso yang menjadi simbol bergabungnya perempuan dalam satu gerakan bersama untuk Poso. Keempat, figur-figur perempuan desa yang telah berhasil mentransformasi dirinya dari korban, menjadi penyintas, bahkan mengambil bagian aktif sebagai agen perdamaian dan pejuang keadilan. Meskipun tidak semua foto figur perempuan desa ditampilkan, namun dapat menggambarkan kekuatan perempuan untuk desa.

Festival yang juga diikuti oleh sebagian anggota sekolah perempuan angkatan 1 dan 2,  tidak hanya menjadi ajang menunjukkan prestasi atau cita-cita perempuan dalam membangun desanya. Kegiatan olahraga di pagi hari tanggal  6 November 2015, menghubungkan para perempuan dari berbagai agama dan suku ini untuk merayakan keberagaman. Permainan antar wilayah kelas sekolah perempuan seperti bola volly, kasti, benteng,  tarik tambang, memperlihatkan bukan hanya keakraban sebagai hasilnya tapi juga kemauan dan ujian untuk bekerja sebagai tim. “ Permainan olahraga ini punya makna bekerja sebagai tim. Harapannya, perempuan di desa bekerja sebagai tim untuk memastikan desa membangun yang damai dan berkeadilan” Asni Yati Hamidi, salah satu fasilitator sekolah perempuan menjelaskannya.

Bekerja sebagai tim sekaligus mengasah kembali pengetahuan prinsip tentang desa diperlihatkan oleh anggota sekolah perempuan dalam cerdas cermat dan debat. Terbagi dalam 7 wilayah kelas sekolah perempuan, cerdas cermat yang berlangsung pada malam hari tanggal 5 November, dipimpin oleh Evi Tampakatu dan Beti Penone. Dalam cerdas cermat, setiap wilayah mendapatkan pertanyaan tentang dua topik utama yaitu UU tentang desa dan materi belajar di sekolah perempuan. Terdapat juga soal yang diperebutkan. Kemampuan analisis anggota sekolah perempuan dalam menjawab pertanyaan menggambarkan pemahaman yang mendalam atas isu desa.

Baca Juga :  Kebun Bersama : Gerakan Kembali Berkebun, Belajar dari Sejarah Wabah Poso

Sementara itu, debat berlangsung sangat seru. Suasana seperti menonton sepak bola. Setiap satu kelompok menegosiasikan sebuah persoalan dalam desa berhadapan dengan fasilitator yang berperan sebagai pemerintah desa. Komentar sinis, penolakan yang sangat sering ditunjukkan oleh para pemeran ditanggapi dengan sorakan riuh dari penonton. “ Ini sangat sering kami alami, penolakan dari pemerintah, itu sebabnya ekspresi teman-teman cenderung heboh dan memberi semangat” Erni, anggota sekolah perempuan dari desa Saojo menjelaskan.

Lian Gogali, pendiri sekolah perempuan menyampaikan pesan pada akhir debat “Pengetahuan yang dimiliki perempuan membutuhkan keberanian untuk memperjuangkannya. Ibu-ibu sudah menunjukkan itu. Jangan patah. Mari bernafas panjang. Karena itu festival sekolah perempuan, bukan akhir dari sebuah perayaan atas pengetahuan, sebaliknya sebagai sebuah proklamasi, maka ini awal bagi perempuan desa, maju, bersuara, bergerak, menjadi pemimpin”

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda