“Usia kita bisa dipastikan tidak dapat menyaksikan peristiwa ini jika bukan sekarang” kalimat ini menyentak semua peserta di Gedung Wanita Poso tanggal 7 Januari 2016. Sarasehan yang dilanjutkan dengan workshop ini merupakan kerjasama Institut Mosintuwu dengan UNAWE , BOSSCHA ITB dan didukung oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Poso . Kegiatan ini merupakan langkah awal mempersiapkan masyarakat Poso menyambut fenomena langka gerhana matahari total ( GMT ) yang melintasi Kabupaten Poso tanggal 9 Maret 2016. “ Gerhana matahari total memang terjadi setiap tahun, tetapi hanya akan terjadi di tempat yang sama setiap 350 tahun sekali “ ujar ibu Hesti, pengajar dan ahli galaksi dan kosmologi Institut Teknologi Bandung yang hadir sebagai pembicara.
Indonesia adalah satu-satunya wilayah daratan di dunia yang dapat menikmati gerhana matahari total. Selain Poso, Palembang, Bangka, Belitung, Balikpapan, Sampit, Palu, Luwuk, Ternate, dan Halmahera adalah kota-kota lain di Indonesia yang dapat menikmati GMT. Dalam survei di Poso, lokasi terlama untuk mengamati GMT adalah Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir. Desa yang terletak di pesisir pantai Poso ini akan menikmati GMT selama 2 menit 51 detik. Gerhana akan mulai terjadi pada pukul 07.28 WITA, GMT akan terjadi pada pukul 08.38 WITA, lalu selanjutnya gerhana akan berakhir pukul 10.02 WITA.
Yatny, staff BOSSCHA ITB yang hadir dalam workshop menjelaskan “ Gerhana matahari total dapat terjadi hanya pada saat Bulan melintas tepat di antara Bumi dan Matahari yang mengakibatkan bayangan bulan jatuh di permukaan Bumi. Daerah yang berada di dalam bayangan Bulan akan mengalami gerhana. Dikarenakan ukuran Matahari dan Bulan di langit tampak sama besar, seringkali permukaan Matahari tertutupi oleh Bulan, inilah yang menghasilkan gerhana matahari total”
Sosialisasi dalam bentuk workshop dan sarasehan ini dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesimpangsiuran informasi dan pengetahuan dalam masyarakat tentang GMT. Tradisi sebelumnya mempercayai peristiwa bayangan Matahari tertutupi Bulan sebagai tanda dimakannya bulan oleh raksasa. Beberapa cerita yang beredar, peristiwa tersebut berbahaya sehingga sebagian besar penduduk bersembunyi dalam rumah, bahkan di bawah kolong tempat tidur. Padahal, “Peristiwa ini peristiwa langka yang tidak berbahaya, sebaliknya mengajak seluruh masyarakat untuk menikmati sekali dalam seumur hidup” Jelas Putra Botilangi, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Poso yang turut hadir.
Workshop yang dihadiri 200-an kelompok masyarakat dan guru-guru ini tidak hanya mendengarkan penjelasan mengenai fenomena GMT. Guru-guru diajak untuk membuat alat alternatif untuk mengamati matahari.
“Paparan cahaya matahari dalam waktu yang lama akan menembus mata dan merusak lapisan retina mata yang berisi syaraf sensitif. Karena itu berbahaya untuk melihat langsung ke arah matahari” ujar Yatny. “ Alat seperti kacamata hitam, film, foto, film rontgen bukan alat yang aman. Memang, terdapat kacamata khusus matahari tetapi tidak semua masyarakat punya akses yang sama “ lanjutnya. Yatny kemudian menunjukkan metode sederha mengamati matahari dengan menggunakan kotak yang dilubangi. Hal ini diikuti dengan praktek bersama guru-guru dengan harapan dapat melakukan sosialisasi terhadap siswa di sekolah.
Alam semesta dipastikan turut merespon fenomena GMT, antara lain pada saat memasuki fase total, hewan malam akan berperilaku lebih waspada. Suasana akan beralih senyap , burung akan berhenti bernyanyi, ayam dan ternak lainnya bersiap untuk tidur.
Dikenal sebagai wilayah pasca konflik, bahkan beberapa peristiwa kekerasan masih sering terjadi, Institut Mosintuwu melihat fenomena GMT sebagai sebuah ruang bersama masyarakat di Poso untuk merayakan alam semesta dan mengkampanyekan perdamaian di Poso. Bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Poso dan berbagai pihak dari luar Poso seperti UNAWE, BOSSCHA ITB, Rumah Kelima, Ayo Dongeng Indonesia, diselenggarakan Festival Kawaninya pada tanggal 8 – 9 Maret 2016 di Desa Kalora.
Festival Kawaninya digelar tanggal 8 dan 9 Maret, menyuguhkan ragam kegiatan menarik untuk dinikmati di mulai dari pameran astronomi, pentas kebudayaan daerah Poso dan pasar produk alam dari desa-desa di kabupaten Poso. “Kegiatan dalam festival Kawaninya terinspirasi dari alam Tanah yang diolah, air yang mengaliri, udara yang menghidupkan, juga tanaman yang dikelola oleh masyarakat di desa membuktikan lingkaran yang tidak putus dari energi alam semesta. Demikianlah matahari, bulan dan bumi tergambar saling keterkaitannya dalam aktivitas manusia” jelas Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu. “Tugas manusia memelihara, menjaga keberlangsungan alam. Disaat yang bersamaan pentingnya penggalangan kekuatan kebersamaan antar manusia dari berbagai latar belakang agama, suku yang ada di bumi yang sama. Dalam hal inilah, mengamati Gerhana Matahari Total adalah pengalaman bersama atas alam semesta dan kehidupan kebersamaan. Selain itu, yang terpenting, festival ini diselenggarakan untuk menyusun kekuatan bersama masyarakat dan alam semesta untuk kebaikan kehidupan yang damai dan adil”