Sejak dibuka pertama kalinya tahun 2010, Sekolah Perempuan Mosintuwu telah meluluskan kurang lebih 450 orang perempuan. Berasal dari 70 desa di Kabupaten Poso dan 5 desa dari Kabupaten Morowali, mereka yang bergabung di sekolah perempuan adalah para petani, nelayan, penjual, ibu rumah tangga, buruh. Sebelum dianggap lulus, para ibu ini menjalani proses belajar bersama 9 modul di kurikulum sekolah perempuan. Modul tersebut adalah agama, toleransi dan perdamaian; gender; hak ekonomi,sosial,budaya dan sipil politik; hak layanan masyarakat; perempuan dan budaya; perempuan dan politik; ketrampilan berbicara dan bernalar; ekonomi solidaritas; dan kesehatan seksual dan reproduksi.
Pertanyaan “ mau jadi apa setelah sekolah perempuan “ sangat sering disampaikan oleh berbagai pihak pada lulusan sekolah perempuan. Pertanyaan yang lebih mirip sindiran ini tidak tanggung-tanggung dijawab oleh anggota sekolah perempuan “ kami mau menjadi bagian aktif agar desa membangun”. Para perempuan ini merasa bertanggungjawab untuk menentukan masa depan desa mereka.
Para anggota sekolah perempuan memulai aktivitas desa membangun dengan pertama-tama membentuk tim pembaharu desa. Tim pembaharu desa ini terdiri dari lima fokus kerja yang disesuaikan dengan pemetaan kebutuhan masyarakat di desa. Yaitu, tim rumah perlindungan perempuan dan anak; tim usaha desa; tim anak kreatif; tim pendamping desa dan tim reportase dari desa. Tim yang difasilitasi pengorganisasiannya oleh Institut Mosintuwu ini diharapkan mewarnai pembangunan desa, bahkan pembangunan di Kabupaten Poso. Beberapa anggota sekolah perempuan sekarang aktif menjadi pengurus organisasi di desa, bahkan menduduki posisi strategis pengambil keputusan di dalam desa. Kesadaran bahwa perempuan punya posisi yang setara untuk berpartisipasi dalam pembangunan mendorong mereka untuk tidak lagi tinggal diam tapi berinisiatif aktif dalam desa.
Ibu Elmi dari anggota sekolah perempuan dari Desa Didiri misalya. Saat ini menjadi bendahara di desanya. Dengan menjadi bendahara, ibu Elmi bertanggungjawab untuk mengelola keuangan di desa berdasarkan kebutuhan pembangunan desa. Demikian pula ibu Rahma, anggota sekolah perempuan dari Desa Masamba yang menjadi Kaur Pemerintahan. Ibu Fidar dari Desa Bakekau Kecamatan Lore Selatan aktif mendorong peran kelompok perempuan memaksimalkan sumber daya alam desa. Semuanya ingin berperan dan bekerjasama dalam desa sesuai dengan kemampuan mereka. Sementara itu yang lainnya berperan dalam mengadvokasi hak layanan masyarakat, atau mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di desa.
Martince Baleona, koordinator tim pembaharu desa menjelaskan inisiatif ini “Kami percaya bahwa orang desa punya kekuatan dalam membangun desa-nya. Dan, perempuan adalah mereka yang mengenal desanya dengan baik. Perempuan mengetahui seluk beluk desa baik itu yang baik maupun buruk. Coba tanya pada perempuan harga-harga di pasar, atau siapa yang sedang sakit atau peristiwa apa yang sedang terjadi di desa. Karena itu perlu sekali perempuan dilibatkan menentukan pembangunan di desa”
Kesadaran mengapa pembangunan membutuhkan suara dan keterlibatan aktif perempuan, mulai dibangun melalui Sekolah Perempuan. Di kurikulum Perempuan dan Politik, anggota sekolah perempuan bukan hanya belajar tentang mengapa perempuan penting berpolitik, tapi juga tentang UU Desa nomor 6 tahun 2016 yang menjadi ruang masuk kelompok perempuan berperan aktif dalam desa. Kelompok perempuan juga belajar tentang penyusunan RPJMDes ( Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa ), termasuk RKP ( Rencana kegiatan Pembangunan ) dan penyusunan APBDes ( Anggaran Pembangunan Desa ) . Pengetahuan dan ketrampilan ini memungkinkan kelompok perempuan berpartisipasi aktif dalam pembangunan desa.