Perempuan Desa MenulisWomen’s Writing

0
2036
Ibu-ibu sekolah perempuan mosintuwu mengikuti training menulis untuk mencatat sejarahnya, dan sejarah desanya. Foto: Dok. Mosintuwu

Menulis itu mudah, bahkan untuk para perempuan di desa yang sehari-harinya bekerja di kebun dan dapur. Setidaknya hal itu dibuktikan oleh ibu-ibu sekolah perempuan Mosintuwu setelah mengikuti training perempuan menulis yang diadakah di Dodoha Mosintuwu tanggal 14 – 15 Juli 2016. Ibu Jane ( 39 ) dari Desa Tiu menyebutkan “ ternyata menulis itu seperti berbicara , bedanya dengan tangan” Membiasakan untuk menulis tentu menjadi tantangan bagi para ibu petani, nelayan dan buruh ini. “ Tangan kami biasanya pegang pacul dan abu gosok, sekarang pegang pena. Untungnya sudah satu tahun ini memang belajar pegang pena di sekolah perempuan. Sekarang harus membiasakan untuk menulis “ lanjutnya.

Kurang lebih 50 anggota sekolah perempuan dari 37 desa di Kabupaten Poso bersemangat untuk belajar menulis . Kali ini bukan hanya menuliskan resep masakan tapi sejarah desa, sejarah dirinya sendiri.  Semangat menulis ini sejalan dengan pendapat dari Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan Indonesia bahwa ‘ orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah karena menulis adalah bekerja untuk keabadian’ .

Baca Juga :  "Kita Belum Selesai dengan Tulisan,bahkan Lisan, tapi Globalisasi sudah Mengepung"

Proses belajar menuliskan sejarah dari perspektif perempuan ini menemukan banyak kejutan menarik . Ibu Sisen, 26 tahun, dari Desa Boe Pamona Selatan misalnya “ Bagaimana dengan sejarah perempuan di desa? pernah ada perempuan yang memimpin dan menentukan di desa, bahkan perempuan ini yang memindahkan desa karena pertimbangan alam. Tapi itu cuma pernah saya dengar dari nenek di kampung, belum ada yang tulis. Saya akan menuliskannya supaya cerita ini tidak hilang “ ujarnya bersemangat. Ibu Rustomini dari Desa Trimulya menyambung “ betul, bagaimana bisa anak-anak kita belajar dari proses perkembangan yang terjadi di desa kalau kita tidak menuliskannya. Nanti mereka lupa sejarah dan menjual nilai-nilai kebudayaan di desa”

Tak ketinggalan ibu Arnice dari Desa Wawondula menekankan “ tanah-tanah kita sekarang banyak yang sudah tidak jelas batasnya. Apalagi sejarah tentang desa. Sudah banyak yang lupa, yang saya dengar hanya katanya begini, dan katanya begitu. Bagus juga kalau kita membantu pemerintah dan anak-anak kita ke depan untuk mengerti sejarah kita jadi nanti kalau mengambil keputusan tentang desa bisa baca tulisan kita supaya tidak salah “ Para peserta training bertepuk tangan menyetujui ibu Arnice. Training perempuan menulis yang dilaksanakan selama dua hari ini berlangsung sangat seru sejak pukul 09 pagi hingga malam hari . Para perempuan yang berasal dari 37 desa di Kabupaten Poso dan Morowali ini bukan hanya sibuk menulis sendiri tetapi menjadi editor bagi tulisan temannya yang lain. Proses ini membuat menulis menjadi lebih menyenangkan.

Dalam training yang difasilitasi oleh Lian Gogali, direktur Mosintuwu   dan Sofyan Pemimpin Redaksi Poso Raya, para perempuan diajak untuk menuliskan sejarah mereka sendiri. Hadir pula Nur Imroatus, manajer penerbitan dan Taufik, wartawan majalah perempuan dari Jakarta dalam kegiatan ini memberikan beberapa catatan tentang perempuan menulis. Dalam penjelasannya, Lian menyampaikan masyarakat Indonesia tidak terkecuali di Kabupaten Poso mewarisi budaya tutur daripada menulis, akibatnya banyak sejarah yang hilang karena tidak tercatat. Adapun sejarah yang ditulis sangat sering berperspektif laki-laki atau ditulis oleh orang dari luar . Demikian pula sejarah kehidupan di Kabupaten Poso yang ditulis justru dari luar Poso. Tidak heran dokumen tentang sejarah Poso lebih banyak ditemukan di luar negeri, dalam hal ini di Belanda. Keadaan ini mendorong perlunya penulisan dari perspektif lokal dan perspektif perempuan di Tana Poso.
Training perempuan menulis yang diadakan oleh Mosintuwu ini nantinya akan digunakan oleh tim pembaharu desa, khususnya tim media untuk menyampaikan informasi dari desa-desa di Kabupaten Poso. Koran Mosintuwu dan Radio Mosintuwu menjadi pilihan penyampaian informasi alternatif dari desa-desa di Kabupaten Poso. Dijelaskan oleh Lian, tulisan para perempuan ini nantinya akan menjadi bagian dari buku tentang Poso dari perspektif perempuan.

Baca Juga :  Pasar Desa : Ruang Kedaulatan Perempuan dan Tanah

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda