“Mana yang lebih penting, membangun kantor desa atau kesehatan untuk ibu hamil? ” Suara ibu Ostin dari Desa Masani terdengar bergetar saat diskusi bersama dengan Kabag Pemdes Kabupaten Poso di kegiatan Festival Sekolah Perempuan bulan November 2015. “Biar kantor desa bagus, tapi kalau banyak anak yang busung lapar, atau putus sekolah, apa kira-kira gunanya” sambungnya.
Pertanyaan seperti yang disampaikan ibu Ostin menjadi pembicaraan penting di lingkaran anggota sekolah perempuan Mosintuwu hingga saat ini. Kata pembangunan sangat sering terbatas pada ketersediaan infrastruktur saja. Ukuran kemajuan diletakkan pada pembangunan fisik dan kehidupan modern. Pembangunan dengan aliran dana yang besar berlomba-lomba mengarahkan desa menjadi desa metropolitan.
Hal-hal tentang kesehatan masyarakat yang sangat sering menjadi perhatian nomor sekian dibandingkan pembangunan jembatan. Demikian juga sangat sering pendidikan anak di desa yang tidak lebih penting dibandingkan perbaikan kantor desa. Belum lagi di desa-desa yang kaya sumber daya alam, masih banyak anak busung lapar dan putus sekolah. Kenyataan desa-desa ditinggalkan oleh anak muda untuk mencari pekerjaan sebagai buruh , pembantu, bahkan pekerja seks di kota tidak dilihat sebagai persoalan serius.
Tak tinggal diam, perempuan di 40 desa di Kabupaten Poso yang menjadi bagian dari kelas sekolah perempuan Mosintuwu bergerak menyusun cara pandang baru tentang pembangunan. Pendidikan menjadi penting untuk dimiliki semua orang dan semua kalangan agar bisa membekali kebijaksaan dalam menyusun kehidupan. Kesehatan menjadi prioritas agar masyarakat bisa menjalani kehidupan dengan baik. Ruang publik diperlukan untuk membangun kreativitas masyarakat desa. Membangun ekonomi solidaritas menjadi syarat keberlanjutan kehidupan di dalam desa yang memelihara tanah dan menjaga keseimbangan dengan alam.
Cara pandang baru atas pembangunan ini diterjemahkan oleh ibu-ibu sekolah perempuan dalam wujud peta mimpi desa. Difasilitasi oleh Lian Gogali, pendiri sekolah perempuan dan direktur Mosintuwu, ibu-ibu diajak untuk melakukan refleksi atas kehidupan yang pernah ada di desa mereka dan kehidupan yang ingin mereka ciptakan di desa.
Ibu Helpin, 45, dari Desa Tiu bercerita “Dulu, di desa kami ada danau. Sekarang sudah menjadi kolam. Banyak orang menjadi sarjana di desa ini karena Danau yang kami sebut Danau Tojo” . Hal ini dibenarkan oleh ibu Jane, warga desa lainnya saat pertemuan di kelas Sekolah Perempuan. Danau ini menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat karena kaya dengan ikan dan lokasinya yang indah dan strategis. Dulu, setiap harinya Danau Tojo dikunjungi oleh warga untuk memancing berbagai jenis ikan yang ada di danau. Bahkan pada hari-hari libur, Danau Tojo dipenuhi oleh warga yang ingin berekreasi di sekitar danau bersama keluarganya.
“Selain piknik dan makan bersama dengan keluarga, dulu ada perahu yang biasa digunakan oleh warga” cerita ibu Jane. Danau Tojo juga mencari salah satu sumber air bagi persawahan hijau yang ada di desa. Namun, Danau Tojo sekarang tinggal kenangan. Danau itu berubah menjadi kolam kecil dengan air yang secara perlahan surut . Surutnya air ini menurut ibu Helphin terjadi seiring masuknya perkebunan kelapa sawit yang menyerap 15 liter air per pohon setiap harinya . Selain itu pengelolaan danau yang tidak serius menjadi penyebab danau menjadi kolam.
Berdasarkan pengenalan mereka atas situasi ekonomi, sosial, budaya di desa masing-masing, para perempuan membuat peta desa. Pada awalnya, peta ini menggambarkan keadaan fisik dalam desa namun belum menggambarkan kondisi sosial, ekonomi dan politik di dalam desa. Namun, berdasarkan peta desa ini para ibu mengimajinasikan masa depan desa mereka hingga 50 tahun ke depan.
Menggunakan metaplan, para perempuan desa menyusun mimpi tentang bagaimana tanah di desa agar tidak terampas; agar sumber daya alam dikelola dan dimiliki oleh masyarakat desa; agar alam yang dikelola seimbang dengan kebutuhan manusia atau agar kebutuhan ekonomi yang bersolidaritas dengan alam. Tidak lupa menyatakan mimpi agar tidak ada lagi busung lapar atau kematian ibu hamil. Bermimpi pendidikan bisa diakses oleh semua anak.
“Kita tidak ingin desa kita tiba-tiba kosong karena semua anak pergi ke kota untuk bekerja” cerita ibu Fidar, anggota sekolah perempuan Mosintuwu di Lore Selatan dalam presentasinya. “ Atau, anak-anak yang mau pulang ke desa tapi ternyata tanah-tanah sudah tidak ada karena sudah dijual ke orang lain atau perusahaan “ sambung ibu Silintowe dari Desa Pandayora.
Para perempuan menentukan sikap, mereka tidak mau menyerahkan konsep desa membangun ditentukan oleh orang lain. Dalam konteks di Kabupaten Poso, mereka juga tidak ingin kehadiran aparat keamanan khususnya operasi teritorial dengan program pertanian atau munculnya perusahaanlah yang menentukan bagaimana desa membangun. Melalui peta mimpi desa, perempuan tidak takut memiliki harapan tentang desa mereka, apalagi mewujudkannya.