Nelson Mandela, tokoh dunia yang juga presiden Afrika fenomenal pernah mengingatkan bahwa Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia. Karena itu peran guru menjadi penting. Guru agama adalah salah satu guru yang dianggap dapat menjadi ujung tombak pembentukan karakter siswa-siswa di sekolah. Nilai-nilai moral dan sosial menjadi salah satu topik utama yang dibicarakan di kelas oleh guru agama.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang beragam agama dan suku serta kepercayaan, secara khusus dalam konteks paska konflik di Kabupaten Poso, tantangan utama guru-guru agama adalah menyampaikan nilai moral dan nilai sosial agama tanpa melakukan diskriminasi terhadap yang berbeda agama. Kenyataan bahwa pelajaran agama di sekolah dilakukan pada siswa sesuai dengan agamanya masing-masing, adalah bentuk tantangan lain terhadap membangun kesadaran kritis tentang keberadaan yang lain yang berbeda agama dan suku.
Hal-hal ini yang mendasari dilaksanakannya Lokakarya Guru-guru Agama se-kabupaten Poso di Hotel Bambu Jaya tanggal 16 – 19 November 2016. Lokakarya ini mengambil tema utama pendidikan agama yang pluralis. Lokakarya ini diselenggarakan oleh Institut DIAN/Interfidei Jogjakarya bekerjasama dengan Institut MOSINTUWU dan Departemen Agama Kabupaten Poso. Difasilitasi oleh Elga Sarapung , Direktur DIAN/Interfidei Jogjakarta; Asyer Tandampai, aktivis OASE INTIM ; dan Musoji , aktivis pendidikan, lokakarya ini adalah yang kedua kalinya di Kabupaten Poso.
26 guru agama Islam, Kristen dan Hindu setingkat SMU menjadi peserta aktif dalam kegiatan ini. Mereka datang dari berbagai sekolah dari Poso Pesisir bersaudara, Poso Kota dan wilayah Lage serta Tentena. Kunjungan lapangan para guru ke rumah-rumah ibadah, mesjid, gereja dan pura, menjadi langkah baru untuk mendiskusikan prasangka teologi. Kunjungan dilaksanakan di Pondok Pesantren Walisongo, Sintuwulembah dan Pesantren Wahdatul Ummah, Gereja dan Pura.
Kunjungan ke rumah ibadah membangun pengertian yang mendalam antar guru-guru yang sebagian besar baru pertama kali mengunjungi rumah ibadah yang lain. Suwardi, guru agama Islam di SMA Negeri 3 Poso mengatakan “ kegiatan seperyi ini penting untuk memupuk kemanusiaan dan membangun pengertian yang baik di antara komunitas, apalagi guru, karena akan mempengaruhi bagaimana mereka mengajarkan pada para siswa”
Proses diskusi yang berlangsung dinamis bukan hanya berhasil membongkar prasangka keagamaan, tetapi menemui kesepakatan awal tentang pentingnya membangun pemahaman tentang perbedaan serta mempertimbangkan model pendidikan agama yang menempatkan perbedaan sebagai kekuatan.
Diskusi interaktif ini diperkuat dengan kehadiran narasumber yang membahas tentang sejarah dan kebudayaan Poso yang menghargai perbedaan, dibawakan oleh Pdt. Asyer Tandampai dan Darwis Waru dari Jaringan Gusdurian. Hadir pula Wakil Bupati T. Samsuri dan Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali yang membicarakan konsep Poso Damai.
“Kita bersyukur mendapatkan kesempatan untuk belajar tapi juga berbagi di ruang ini. Kami berharap ini menjadi langkah yang ditindaklanjuti sehingga guru-guru agama bisa menjadi ujung tombak pembentukan karakter siswa yang bersikap hormat dan menghargai perbedaan agama dan suku “ Kata Wayan, Guru Agama Hindu.
Lokakarya menghasilkan kesadaran baru tentang toleransi , tapi juga menghasilkan pemikiran-pemikiran awal tentang pentingnya mengembangkan metode pendidikan agama di sekolah yang memperkenalkan perbedaan, menghormati dan menghargai perbedaan serta menimbulkan sikap toleran pada sesama manusia meskipun berbeda agama dan suku. Kehadiran negara, melalui pemerintah daerah Kabupaten Poso untuk menfasilitasi peran guru-guru agama dalam pembentukan karakter siswa yang toleran kemudian menjadi penting.