Sehari-harinya, Widya adalah petani dan ibu rumah tangga. Kondisi fisik kakinya yang terbatas dan menggunakan kruk setiap harinya, tidak membatasinya untuk melakukan berbagai kegiatan seperti halnya perempuan lainnya. Termasuk secara aktif mengikuti program sekolah perempuan yang diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu. Widya tercatat menjadi anggota sekolah perempuan angkatan III Tahun 2014 – 2015.
Di Desa Trimulya, tempat Widya dan keluarganya tinggal. Widya tidak mendapatkan posisi yang diperhitungkan dalam masyarakat, antara lain tidak diundang dalam berbagai pertemuan desa. “Saya dulu merasa tidak berguna di desa, bahkan kadang tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang penting hanya karena saya perempuan dan saya cacat” katanya sedih.
Perubahan baik mulai dirasakan oleh Widya ketika mengikuti kelas sekolah perempuan Mosintuwu. “saya menjadi lebih percaya diri. Saya percaya bahwa semua orang bisa berguna untuk memajukan desa jika diberikan kesempatan” katanya saat mengikuti wisuda di sekolah perempuan, November 2015.
Semua materi kurikulum di kelas sekolah perempuan, bagi Widya sangat mencerahkan dan memberikan semangat untuk melakukan sesuatu. Kurikulum Hak Layanan Masyarakat adalah salah satunya. “Setelah ikut Hak Layanan Masyarakat, saya menjadi tahu jenis hak layanan masyarakat, aturannya, dan ditujukan untuk siapa. Ini membuat saya menjadi berpikir bagaimana selama ini pemenuhan hak layanan masyarakat di desa saya” Cerita Widya.
Pemikiran ini yang kemudian mendorong Widya untuk ke kantor desa untuk bertanya tentang pelaksanaan hak layanan masyarakat di desanya, khususnya program Raskin. Widya memulai dengan bertanya mengenai syarat-syarat pemberian program Raskin. Jawaban pemerintah desa tersebut dihubungkannya dengan pengetahuan yang didapatkannya di kelas sekolah perempuan. Widya memberanikan diri menjelaskan mengenai pengetahuan hak layanan masyarakat dengan praktek layanan yang dilakukan oleh masyarakatnya. Alhasil, Widya diberikan kesempatan oleh Pemerintah Desa-nya untuk mendapatkan haknya yang selama ini tidak pernah didapatnya.
Tetapi Widya tidak berhenti ketika sudah mendapatkan haknya. Widya menyadari bahwa masih banyak kelompok masyarakat lainnya yang tidak mendapatkan akses layanan masyarakat hanya karena mereka tidak mengetahui atau tidak punya jaringan. Widya melakukan advokasi kepada warga di dusunnya. Bersama warga, Widya mengidentifikasi jenis layanan masyarakat dan potensi mereka menerima program layanan masyarakat. Widya kemudian membagikan pengetahuan yang didapatnya di kelas sekolah perempuan kepada warga di dusun. Pengetahuan tentang hak layanan masyarakat ini mendorong warga untuk melakukan upaya mendapatkan hak mereka di desa.
“Saya bahagia sekali bisa mendapatkan pengetahuan dari sekolah perempuan dan terutama membagikan pengetahuan ini pada warga sehingga mereka juga bisa berjuang untuk hak-nya” Kata Widya.
Widya menjadi contoh bagaimana perempuan dapat menjadi pejuang pembela hak masyarakat di desa. Pengetahuan yang didapatkan tidak hanya digunakan untuk kepentingan diri sendiri tapi dibagikan pada masyarakat, dan diperjuangkan bersama dengan masyarakat desa. Pengalaman Widya menjadi contoh perjuangan hak asasi manusia bisa dimulai dari orang desa dan bersama-sama orang desa.