Kembangkan Semangat Sintuwu Maroso di Pendidikan Agama
Sejak resmi berdiri, Kabupaten Poso memiliki slogan yang mengakomodir keberagaman agama dan suku. Sintuwu Maroso yang secara singkat berarti bersama-sama ( tanpa melihat agama atau suku juga golongan ) akan menjadi kuat, merupakan kata yang kuat menggambarkan semangat persaudaraan di tana Poso. Namun, semangat ini akan menjadi kata yang kosong apabila tidak diwariskan pada generasi paska konflik kekerasan di Poso, dan tidak diimplementasikan.
Sekolah menjadi salah satu ruang publik yang diharapkan mewariskan semangat Sintuwu Maroso. Pendidikan Agama menjadi ruang yang perlu dibicarakan kembali bingkai kebhinekaan, atau keberagaman yang satu. Keadaan ini mendasari pelaksanaan serangkaian diskusi bersama guru-guru agama di Kabupaten Poso oleh Institut DIAN/Interfide Yogyakarta bekerjasama Departemen Agama Kabupaten Poso dan Institut Mosintuwu.
Elga Sarapung, Direktur Institut DIAN/Interfidei Yogyakarta menjelaskan “Pendidikan Agama menjadi salah satu jalan masuk untuk membicarakan semangat sintuwu maroso dalam konteks sekarang . Pertimbangannya adalah bagaimana agar perbedaan antar dan internal agama tidak menjadi sandungan dalam dunia pendidikan, sebaliknya menjadi modal untuk membangun persaudaraan, kerjasama dan selanjutnya perdamaian demi kehidupan bersama di Tana Poso”
Disadari bahwa salah satu kendala yang dihadapi untuk mewariskan semangat Sintuwu Maroso di kelas Pendidikan Agama adalah akses pada materi dan kemampuan untuk melakukan dialog. Dalam lokakarya guru-guru agama di Hotel Kartika tanggal 16 – 19 Januari 2017, difasilitasi oleh Asyer Tandampai , Munsoji , Elga Sarapung dan Lian Gogali , para guru mencoba mengembangkan kurikulum pendidikan agama alternatif.
Bila biasanya Pendidikan Agama hanya mengajarkan agama yang dianut, kali ini dicoba dikembangkan kurikulum yang memperkenalkan keberagaman agama di wilayah Kabupaten Poso. Terdapat 28 guru-guru agama dari wilayah Poso Pesisir, Poso Kota, dan Tentena mengikuti pengembangan kurikulum yang menghargai perbedaan agama. Diiharapkan pengembangan kurikulum Pendidikan Agama yang memperkenalkan pluralisme ini bisa menjadi modal mewariskan semangat Sintuwu Maroso pada generasi muda Poso melalui sekolah-sekolah.
Guru-guru Agama Bersilahturahmi
Salah satu kegiatan menarik dari lokakarya guru-guru agama adalah mengunjungi sekolah-sekolah dan kantor Institut Mosintuwu pada hari ketiga lokakarya guru-guru agama. Dalam kunjungan yang berlangsung tanggal 18 Januari 2017, sejak pukul 09.00 hingga 04.00 sore ini, memberikan kesempatan pada guru-guru agama peserta lokakarya untuk mengenal lingkungan sekolah di wilayah Tentena, melakukan dialog dan ramah tamah terkait rencana pengembangan kurikulum pendidikan agama yang pluralis.
Dalam ramah tamah yang dilakukan di SMU GKST II Tentena, hadir Pdt. Yuberlian Padele, ketua STT Tentena dan Ibu Barth, praktisi teolog perempuan asal Swiss. Ramah tamah berlangsung hangat ketika beberapa guru agama menceritakan pengalaman mereka bertemu dengan yang berbeda. Joni Lolo, guru Agama Kristen asal Tentena mengungkapkan “ saya merasa bersyukur diberikan kesempatan mengikuti lokakarya dan bertemu dengan guru agama lainnya karena memberikan membuka pemahaman dan pemikiran untuk mengembangkan metode kreatif untuk menghargai perbedaan agama”
Mendengarkan cerita dari guru-guru agama Islam, Kristen dan Hindu, ibu Barth memberikan catatan positif dengan mengangkat cerita dari dunia eropa terkait perlunya pendidikan yang menerima perbedaan. “Di eropa, banyak orang sudah tidak beragama, nanti kalau sudah tua baru merasa memerlukan agama” cerita ibu Barth dalam bahasa Indonesia yang lancar. “Fenomena sekarang di eropa terdapat penolakan untuk masuknya orang asing di wilayah mereka, terutama mereka yang berbeda agama. Terdapat ketakutan akan ada potensial terorisme, terutama dikampanyekan oleh partai bersayap kanan. Kami perlu belajar dari guru-guru agama di sini yang mau mengajarkan penerimaan pada perbedaan agama dan suku atau negara”
Pdt. Yuberlian Padele, sebaliknya menegaskan pentingnya langkah seperti lokakarya guru-guru agama ini untuk mengembangkan pemahaman atas konteks yang ada di sekitar masyarakat. “Ketika orang beragama tidak lagi terbatas atau terpaku pada simbol-simbol akan membuka kemungkinan baginya untuk melihat kemanusiaan pada siapapun, apapun agamanya. Guru agama bisa jadi langkah awal ini”
Silahturahmi diakhiri dengan melakukan kunjungan ke rumah bambu, Dodoha Mosintuwu, yang juga kantor Institut Mosintuwu di wilayah Yosi. Para guru-guru agama yang berkunjung berkesempatan mendengarkan program pembangunan perdamaian yang dikembangkan oleh Institut Mosintuwu melalui pendidikan alternatif seperti sekolah perempuan dan perpustakaan keliling; juga melalui rumah aman bagi korban dan melalui media koran, radio serta pengembangan ekonomi solidaritas. Beberapa guru berkesempatan melakukan wawancara di radio Mosintuwu dan menikmati rumah bambu yang unik.
Silahturahmi menjadi salah satu langkah yang mengajak guru-guru agama keluar dari rutinitas mengajar untuk lebih dekat dengan lingkungan sekitarnya.