Anyaman adalah salah satu bentuk ketrampilan yang lazim dikembangkan sejak dahulu di Kabupaten Poso. Tidak heran, dalam kehidupan sehari-hari di Poso dulunya mengandalkan ketrampilan menganyam. Penyimpanan makanan, alas tempat tidur, kebutuhan pernikahan, bahkan perabotan rumah tanggasebagian besar terbuat dari hasil anyaman. Sayangnya warisan ketrampilan menganyam semakin sulit ditemukan di Kabupaten Poso, seiring fungsinya yang digantikan dengan barang yang lebih modern. Sebagian besar orang lebih tertarik menggunakan bahan dari plastik dan dibeli di toko.
Hal ini menantang kreativitas ibu-ibu di Desa Dulumai dan Desa Peura. Kekayaan hutan mereka diantaranya adalah pandan hutan. Pandan hutan adalah bahan utama anyaman. Jika biasanya hanya dibuat menjadi tikar dan bingka biasa, oleh ibu-ibu di Dulumai dan Peura, pandan hutan menjadi bahan kreasi mereka membuat produk tas dan dompet.
Ketika di tanya ide awal membuat produk ini, ibu Else (42) dari Dulumai menjawab “Sudah sejak dulu nenek moyang membuat tikar atau bingka dari pandan. Sekarang, karena ada informasi tentang program Usaha Desa dari Mosintuwu, kami mencoba membuat barang yang bisa dipakai sehari-hari seperti tas dan dompet.”Sebelumnya, melalui sekolah perempuan Mosintuwu khususnya kurikulum ekonomi solidaritas, ibu-ibu telah belajar mengidentifikasi kekayaan sumber daya alamnya untuk mengembangkan ekonomi di desa. Sebagai hasilnya, belasan produk usaha desa yang unik dari alam salah satunya tas dan dompet serta bingka dibawa dalam kegiatan workshop Usaha yang diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu di bulan Juli 2016.
“Kita beri nama ‘bingka Wando” kata ibu Fin ( 40 ) sambil tertawa. Wando dalam bahasa Pamona berarti gila. “bukan berarti yang bikin ini orang gila, atau yang beli orang gila tapi ini membuatnya sangat sulit dan rumit, sehingga kalau salah membuat harus mulai dari awal” jelasnya. Kata Wando dipilih untuh mendeskripsikan kerumitan proses pembuatannya. Bingka Wando ini adalah contoh kolaborasi dari kearifan lokal dan kreatifitas masyarakat.
Bingka Wando yang terbuat dari pandan hutan ini menjadi pilihan wadah yang ramah dengan alam. Bandingkan dengan wadah yang sekarang berkembang menggunakan bahan plastik.Kreativitas ibu-ibu anggota sekolah perempuan Mosintuwu dari dua desa ini tidak berhenti disitu. Bingka wando tidak saja terbuat dari pandan, tapi juga limbah plastik dan kertas bekas. Tanpa ibu-ibu ini sadari, mereka telah berkontribusi untuk mengurangi limbah di desa mereka. Sebuah contoh kontribusi yang baik untuk masalah lingkungan yang terjadi di semua desa.Sekarang, produk Bingka Wando dan tas juga dompet dari anyaman pandan hutan sudah menjadi salah satu produk favorit pengunjung di Dodoha Mosintuwu. Salah satu pembeli di Dodoha, Ibu Corrie Van Der Veen dari Belanda berkata “Di Belanda, banyak sekali orang yang menggunakan dompet atau tas yang dibuat dari daur ulang plastik. Apalagi bahan dari alam. Bahkan anak orang kaya sangat suka produk ini karena sangat unik dan ramah lingkungan”
Produk usaha desa dari anyaman pandan dan Bingka Wando telah memulai usaha desa membangun ekonominya secara mandiri. Dukungan untuk melanjutkan usaha ini menjadi produk andalan Kabupaten Poso bukanlah hal yang mustahil. “Kami merencanakan akan mendukung usaha ekonomi desa dengan membantu memasarkan secara online sehingga bisa diakses ke seluruh Indonesia bahkan luar negeri “ demikian Tety, koordinator program Ekonomi Solidaritas Institut Mosintuwu menjelaskan dengan optimis.