“Saya ingin bilang ke pak menteri yang katanya bilang perempuan menganggur di rumah, kami di Poso tidak hanya tinggal diam, kami berusaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan” Cetus ibu Marce. “ Kami, di Poso, perempuan yang berbeda. Itu karena kami sudah ikut sekolah perempuan Mosintuwu, kami tahu dan lebih peka kelola sumber daya alam di desa kami. Kami bukan hanya bekerja tapi ciptakan lapangan pekerjaan sehingga yang lain bisa punya pekerjaan” tambahnya. Ibu Marce, adalah satu diantara puluhan perempuan lainnya yang berkomitment untuk mengembangkan usaha ekonomi di desa mereka. Pagi itu, ibu Marce tampak penuh semangat mengungkap isi hatinya. Bersama dengan ibu Marce, 60 perempuan dan 5 bapak dari 24 desa di Kabupaten Poso berkumpul di rumah berarsitektur bambu, Dodoha Mosintuwu. Mereka adalah tim pembaharu desa yang berkomitment mengembangkan usaha desa.
Di Desa Bancea, perkebunan kopi menjadi salah satu modal utama ibu Marce mengembangkan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan. Anak-anak muda di desa mereka bekerja di kebun kopi, sehingga tidak keluar desa menjadi buruh di tanah orang. Kopi Kojo, demikian mereka memberikan nama kopi yang sekarang menjadi dikenal sebagai kopi khas kojo di wilayah Kabupaten Poso bahkan mulai dipasarkan di luar Poso.
Sementara itu, ibu Hadrah, anggota sekolah perempuan Desa Tokorondo. Ibu Hadrah membuka usaha kerajinan sampah yang memberikan kesempatan bagi perempuan lain di desanya untuk bisa bekerja. “Suryani, perempuan tuna rungu di desa kami sekarang sudah memiliki lapangan pekerjaan sejak saya membuat usaha kerajinan sampah difasilitasi oleh Mosintuwu” cerita ibu Hadrah dengan bangga. Bergabung dengan Suryani, 4 perempuan lainnya di Desa Tokorondo. Kerajinan dari bahan sampah berbentuk tas, dompet, keranjang ini kini dipasarkan di berbagai tempat.
Demikian pula di desa-desa lainnya, para perempuanlah yang kreatif menciptakan lapangan pekerjaan dengan memastikan keuntungan ekonominya bisa berdampak bagi masyarakat lainnya di desa bukan hanya diri mereka sendiri. Ibu-ibu di Desa Saojo membuat tempe dan tahu hingga kecap kedelai. Di Masamba, para perempuan mengolah sayuran menjadi berbagai jenis krupuk. Di Kilo, ada ibu Nengah dan ibu Laurens yang membuka usaha minyak kelapa murni untuk pertama kalinya. Usaha minyak kelapa murni ini berhasil memberikan jenis pekerjaan bagi beberapa orang misalnya para pemanjat kelapa, mereka yang mengupas kelapa, termasuk yang melakukan pengolahan hingga menjadi minyak kelapa murni. Di Dulumai, kerajinan bambu menjadi usaha alternatif bagi para pemuda sehingga mereka bisa mendapatkan penghasilan lainnya termasuk memenuhi kebutuhan furniture bagi rumah mereka.
Perempuan dan Prinsip ekonomi usaha di desa
Berbagai usaha desa yang diciptakan oleh kelompok perempuan di desa, terinspirasi dari kelas sekolah perempuan. Adalah kurikulum ekonomi solidaritas di sekolah perempuan yang mendorong dan memotivasi para perempuan untuk memulai pekerjaan yang tidak hanya memberikan keuntungan bagi diri sendiri tapi juga pada masyarakat. Difasilitasi oleh Farid Hadi, pendiri Usaha Desa di Jogjakarta, kelas sekolah perempuan kurikulum ekonomi solidaritas mendiskusikan usaha desa dalam kerangka desa membangun seperti yang diamanatkan oleh UU No.6 Tahun 2014. Di dalam UU No.6 Tahun 2014, terdapat dua model pembangunan yang dikenal yakni pembangunan desa, dan desa membangun.
Dalam prinsip desa membangun, seluruh sumber daya alam dan manusia menjadi penting. Menindaklanjuti konsep tersebut, kurikulum ekonomi solidaritas memperkenalkan dua prinsip penting. Prinsip pertama adalah memastikan peredaran uang di dalam desa. Sementara prinsip kedua adalah membuat uang masuk ke dalam desa. Dalam prinsip yang pertama, perempuan membangun komitment untuk menggunakan sumber daya manusia di dalam desa dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Misalnya, kebutuhan furniture dalam rumah akan mengandalkan tukang dan pembuat furniture di dalam desa, demikian pula kebutuhan pangan. Karena itu prinsip ini akan memaksimalkan sumber daya manusia dan alam yang ada di dalam desa. Ini juga memberikan kesempatan pada masyarakat desa untuk menciptakan lapangan pekerjaan
“Kita tidak perlu batu bata dari luar, di desa ada bahannya. Begitu juga furniture, bisa kita kembangkan dari tukang yang bisa membuat dengan gunakan alam yang ada” ujar Mama Yos anggota sekolah perempuan Mosintuwu, angkatan III. Mama Yos, menciptakan lapangan pekerjaan sejak lulus dari sekolah perempuan. Menggunakan pasir yang tersedia di sungai di Desa Taliwan, Mama Yos membuat batu-bata untuk bahan bangunan. Hal ini membuat anak-anak muda di desanya memiliki alternatif pekerjaan. Selain itu batu bata buatannya berhasil memenuhi kebutuhan bangunan di desa bahkan di luar desa.
Menciptakan lapangan usaha yang khas dan unik adalah salah satu strategi yang dibangun untuk bisa membawa uang masuk ke dalam desa. Madu di Desa Didiri, atau Kopi Kojo di Desa Bancea juga kerajinan sampah di Desa Tokorondo adalah salah satu contoh bagaimana kegiatan usaha di desa akan mendatangkan perekonomian yang lebih baik bagi komunitas.
Workshop Tim Usaha Desa
Menindaklanjuti upaya menciptakan lapangan pekerjaan di desa, Institut Mosintuwu menfasilitasi workshop usaha desa. Workshop selama sehari ini difasilitasi oleh Lian Gogali, direktur Institut mosintuwu, dan pendiri sekolah perempuan. Dalam workshop dibicarakan mengenai pengembangan usaha desa yang sudah ada untuk bisa lebih memiliki pasar yang lebih luas. Didiskusikan bersama hal-hal teknis terkait ijin kesehatan, penamaan atau label produk, hingga kemasan. Selain itu manajemen berkelompok dalam mengusahakan usaha desa menjadi bahan diskusi bersama dalam workshop.
“Kita tidak bisa berharap pada orang lain untuk memulai, kita adalah orang yang akan memulai. Kekayaan alam telah dianugerahkan, ketrampilan banyak ibu-ibu juga sudah ada, maka kita akan menjadikannya sebuah berkah yang bukan hanya berguna bagi diri sendiri tapi bagi masyarakat yang lebih luas “ ujar Lian. Tim yang disebut sebagai tim usaha desa ini menjadi penggerak usaha di desa-desa. Mereka adalah ibu-ibu lulusan sekolah perempuan bersama dengan anggota masyarakat lainnya yang tertarik bergabung mengembangkan usaha desa. Memulai usaha desa ini, tim usaha desa menggunakan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di desa sebagai modal utama.
Jenis usaha ini dibicarakan dengan mempertimbangkan potensi dana desa dan Badan Usaha Milik Desa. Meskipun diharapkan usaha desa yang dikembangkan menjadi bagian dari badan usaha milik desa, tim usaha desa menyadari pentingnya memulai dari kelompok kecil, termasuk dari modal mereka sendiri. Ibu Laurens dari Kilo berbagi cerita pada tim usaha desa yang hadir tentang bagaimana mereka memulai usaha desa dengan mengumpulkan 5 biji kelapa milik masing-masing. Kelapa itu diolah menjadi minyak kelapa yang setelah berhasil dijual dan dipasarkan oleh Mosintuwu menjadi modal bergulir yang membantu mereka meneruskan usaha hingga saat ini.
Workshop diakhiri dengan rencana tindak lanjut tim usaha desa perempuan pembaharu desa di desa masing-masing. Terdapat mimpi bersama, usaha desa yang diciptakan para perempuan tim usaha desa ini dapat menjadi sebuah gerakan ekonomi dalam desa membangun.