Kartini-Kartini di Poso : Refleksi dan Komitment

0
2308
Semangat Anggota Sekolah Perempuan Mosintuwu menyerukan keadilan bagi masyarakat marjinal di Festival Perempuan Indonesia. Foto : Dok. Mosintuwu

“Perempuan sebagai pendukung Peradaban ! Bukan, bukan karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar bagi kehidupan bahwa dialah yang paling bisa banyak membantu meninggikan keadaan kesusilaan manusia. Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata. Dan makin lama makin jelas bagi saya, bahwa pendidikan yang mula-mula itu bukan tanpa arti bagi seluruh kehidupan. Dan bagaimanakah ibu-ibu Bumiputra dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?”

Surat Kartini untuk Nyonya R.M Abendanon – Mandiri tertanggal 21 Januari 1901 dibaca dengan lantang oleh Lian Gogali, pendiri Sekolah Perempuan Mosintuwu, hari itu Jumat, 21 April 2018. Para perempuan yang duduk dalam lingkaran di hall Dodoha Mosintuwu nampak mendengarkan dengan penuh hikmat. Beberapa menundukkan kepala, mata berkaca-kaca. Pembacaan surat-surat Kartini menandai perayaan hari Kartini di Institut Mosintuwu. Terdapat 20 surat-surat Kartini yang dibaca disertai dengan penjelasan singkat sosok dan konteks sosial, budaya di kehidupan Kartini. 50 anggota sekolah perempuan dari berbagai desa yang menghadiri kegiatan pernah berada (atau masih) dalam situasi dimana diskriminasi dan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan hadir. Martince Baleona menjelaskan“ Mendengarkan pembacaan surat-surat Kartini menjadi refleksi bersama atas sejarah perempuan lalu kemudian bersama-sama membangun komitment agar diskriminasi terhadap perempuan seperti yang tergambar dalam surat-surat Kartini, di bidang pendidikan, kesehatan, tidak lagi terjadi”

Baca Juga :  Lulus di Sekolah Perempuan: Jembatan Damai untuk Keadilan itu Sudah Dibangun

Pembacaan surat-surat Kartini menjadi salah satu aktivitas bersama Institut Mosintuwu dan anggota Sekolah Perempuan dalam merayakan Hari Kartini yang setiap tahunnya diperingati tanggal 21 April. Tampak pula galeri kutipan surat-surat Kartini dipamerkan di lorong dan dinding kantor Institut Mosintuwu, juga potret perempuan. Tidak ada kebaya, yang biasanya menjadi simbol klasik di hari Kartini . Para perempuan yang berkumpul sejak jam 9 pagi hingga jam 6 sore, mendiskusikan surat-surat Kartini dalam kerangka perjuangan perempuan di Poso dan Indonesia . “Mendengarkan surat-surat Kartini membuat saya merasa bahwa tugas kita masih panjang. Kartini sudah bicara soal pendidikan bagi perempuan sejak tahun 1900, sayangnya itu masih terjadi sekarang, masih banyak perempuan yang tidak punya akses pendidikan yang memadai “ ujar Hadrah, anggota sekolah perempuan dari Desa Tokorondo. “Padahal, perempuan di rumah punya peran penting membentuk karakter generasi melalui anak-anaknya” sambung Yeni, dari Desa Salukaia.

Kesadaran perjuangan perempuan yang masih harus dikuatkan tidak menjadi sebuah keluhan, sebaliknya membangun komitment untuk merefleksikan sumbangan perempuan. Hal ini tergambar saat Sri Ratna Mbaresi, koordinator Project Sophia membacakan 20 profil anggota sekolah perempuan Mosintuwu yang telah melakukan beragam aktivitas di desa. Eva di Desa Ratoumbu yang membangun komunitas baca untuk anak-anak, Herlina dan Marce di Bancea yang membangun usaha desa melalui kopi, Hadra yang membuka ruang usaha bagi perempuan termasuk difabel, Rahma di Masamba yang aktif dalam pemerintahan desa, Helpin di Desa Tiu yang aktif mengadvokasi hak masyarakat atas tanah, dan sebagainya. Profil perempuan desa yang aktif melakukan perubahan penting dalam desa dengan berbagai isu ini dibacakan bersamaan dengan pembacaan surat-surat Kartini.

Baca Juga :  Rayakan Hari Kartini, Pastikan Perlindungan Anak dengan Nota Kesepahaman

“Pembacaan profil perempuan di desa yang aktif melakukan perubahan bersamaan dengan membaca surat-surat Kartini punya tujuan membangun harapan dan menguatkan komitment bahwa perempuan di desa bisa melakukan perubahan. Profil perempuan yang dibacakan adalah contohnya” demikian penjelasan Evi Tampakatu, koordinator Lingkar Diskusi dan Aksi. “Ini sekaligus mau membangun solidaritas perempuan antar desa, bahwa mereka tidak sendirian dalam berjuang meskipun di desa masing-masing. Kami juga berharap ini menjadi simbol bagi perempuan lainnya yang belum aktif atau masih ragu dan tidak percaya diri kalau kita itu mampu dan bisa” sambungnya.

Mengikuti pembacaan surat Kartini dan profil perempuan, perayaan Kartini dilanjutkan dengan diskusi. Diskusi yang dipandu oleh Lian Gogali ini membicarakan strategi gerakan perempuan dalam konteks perjuangan perempuan di desa . Pembicaraan mengenai tantangan dan kesulitan perempuan berhadapan dengan pandangan feodalisme dan patriakhi menjadi salah satu topik penting. Surat-surat Kartini masih terasa hadir dalam diskusi mengenai tantangan dan kesulitan tersebut. “Di desa kami, pemerintah desa menganggap kita semua ini reseh, mengurus hal yang bukan urusan perempuan. Jadi dianggap kalau perempuan bicara dana desa itu bukan urusan perempuan. Masih banyak orang yang menganggap urusan kita domestik saja “ Marlice dari Desa Ratoumbu bercerita. Para perempuan yang hadir tidka berhenti pada keluhan, surat Kartini mengingatkan tugas untuk melakukan sesuatu agar ada perubahan. “Perjuangan memang masih panjang, pengalaman saya, perlu cara berkomunikasi yang cukup baik dan kadang harus sabar. Pendekatan bukan hanya ke pemimpinnya tapi kita lakukan sesuatu terlebih dahulu untuk jadi modal” kata Martince menanggapi. Saling mendukung dan memberikan saran menjadi pembicaraan yang khas dalam lingkaran perempuan.

Baca Juga :  Hadrah : Pengumpul Sampah yang Melindungi Lingkungan

Diskusi yang pada awalnya sempat dihadiri oleh Sin Songgo, Sekda Kabupaten Poso, berakhir dengan kesepakatan rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten Poso tentang perlunya peraturan daerah tentang partisipasi politik perempuan dalam desa membangun. Diskusi diakhir dengan lagu mars Perempuan serta seruan bersama “Perempuan Desa, Maju, Bersuara, Bergerak, Memimpin”

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda