Pagi itu, masih pukul 5, orang-orang di desa masih terlelap tidur, hanya para perempuan dan petani yang sudah terjaga dan memulai aktivitas. Tidak seperti biasanya di hari yang lain, hari itu tanggal 27 April nampak sekelompok perempuan di Desa Bancea berdatangan di rumah Yeni. Di kiri kanan tangan mereka membawa berbagai bahan pangan dan makanan. Satu meja panjang berukuran 200 meter diangkat. Di tepi jalan. Bahan-bahan makanan tersebut digelar. Ani, seorang perempuan muda, mulai mencatat pemilik bahan pangan, jumlah . Harga disepakati bersama-sama. Hari itu, pasar Desa Salukaia dibuka. Tidak ada guntingan pita, atau jejeran pejabat berpakaian rapi dengan parfum yang menusuk hadir disitu. 10 perempuan yang tadinya membawa bahan nampak berharap-harap cemas di balik meja. Sudah jam 6.30. Seseorang mulai bergerak memberikan kode pada kendaraan yang mulai melewati tepi jalan “ Pasar, pasar. Ayo beli pak!”
30 menit kemudian, para pembeli dari desa berdatangan. Awalnya penasaran dengan apa yang sedang terjadi di tepi jalan yang sedikit berbelok itu. Senyum mengembang hingga tertawa senang mulai terdengar di antara para ibu. “Biasanya hasil bumi ini busuk di kebun atau di rumah, bahkan dibagi sama tetangga juga tidak habis” dengan sumringah ibu Yenny bercerita. Beberapa perempuan yang lain bergegas untuk bisa mengambil hasil bumi lainnya . “ Saya punya rempah daun, punya pepaya, punya pisang dan selada air, saya tadi ragu mau mengambilnya, sekarang tolong ibu tunggu ya, saya akan ambil “ kata seorang ibu pada saya dan calon pembeli lainnya sambil bergegas memanggil temannya ke kebun yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya. Sementara yang lain tampak tergopoh-gopoh membawa daun lemon dan labu serta ketela ubi.
Ide pasar desa dikembangkan oleh anggota sekolah perempuan Mosintuwu untuk menjawab kebutuhan, dan fenomena pembelian bahan makanan yang mulai dimonopoli oleh sekelompok / individu pemodal. Di kelas sekolah perempuan Mosintuwu, dalam kurikulum ekonomi solidaritas, perempuan mengembangkan prinsip mempertahankan peredaran uang di dalam desa dan membawa uang dari luar masuk ke dalam desa. Tentu dengan adil. Dalam konteks masyarakat pertanian / perkebunan dan nelayan, perempuan menganalisis fakta monopoli sumber daya alam yang sebenarnya sumbernya dari para petani, para nelayan, para perempuan. Termasuk hadirnya beragam iklan yang menawarkan kemudahan ( misalnya soal memasak ) yang sejatinya menjauhkan alam. Tanpa berbicara teori kapitalisme atau globalisasi , setelah melalui satu kali pertemuan yang difasilitasi oleh Lian Gogali, para perempuan menginisiasi membuat pasar desa.
Sejak awal menginisiasi pasar, pasar yang dimaksudkan adalah pasar yang membutuhkan gedung seharga ratusan juta atau milyaran, atau pembukaannya dilakukan dengan pita yang digunting. Pasar desa, bagi para perempuan adalah pasar dimana ekonomi solidaritas mendapatkan maknanya. Mendapatkan nilai ekonomi dengan menghargai alam dimana sumber daya alam dikelola. Sayuran, buah, rempah dan berbagai hasil bumi lain yang ditanam di kebun dan di halaman menjadi modal utama pasar desa. Mereka tidak menanam dalam jumlah yang banyak sehingga harus menggunakan pupuk kimia untuk mempercepat perkembangannya. Awalnya, menanam secukupnya untuk kebutuhan rumah tangga, lalu menanam untuk kebutuhan masyarakat di desa-nya, kemudian berkembang untuk desa-desa di sekitarnya. Lian menyebutkan “Mereka menanam dengan memberikan rasa percaya pada tanah yang dapat menghasilkan hasil bumi yang melimpah tanpa mereka mengkhianatinya isalnya dengan menggunakan pupuk kimia”
Pagi hari ketika pertama kali mengumpulkan hasil bumi, ada semacam rasa tidak percaya diri “ kami kuatir tidak ada yang tertarik mau beli” ujar Emi, pengurus pasar desa. Hanya berselang 30 menit saat gelaran hasil bumi dilgelar, pembeli berdatangan khususnya dari desa lain.
Setelah hari itu, perempuan di Desa Salukai membangun kepercayaan diri untuk mengambil alih pengelolaan sumber daya alam di desanya melalui pasar. Jika sebelumnya pasar dibuka satu kali dalam seminggu, ramainya pembeli membuat pasar desa dibuka setiap hari Rabu dan Sabtu. Para pembeli tidak hanya datang dari dalam desa “ Saya dengar dari banyak orang, setiap hari Sabtu tidak perlu lagi ke kota untuk cari bahan makanan, kita ke Desa Salukai. Bahkan sangat murah” ujar Ros, salah satu pelanggan pasar Desa Salukaia. Berita mengenai keberadaan Pasar Desa Salukai mengajak 4 desa di sekitarnya berdatangan setiap hari pasar. Pasar Desa Salukaia berkembang dari 10 orang menjadi 30 perempuan yang terlibat aktif.
Di Pasar desa, sistem yang dikembangkan sederhana, setiap ibu di desa membawa bahan-bahan yang akan dijual dari kebun atau halaman rumah masing-masing . Jika hasil bumi yang dijual tidak laku hari itu, mereka akan saling barter satu sama lain. “Nanti kalau sayur selada air tidak habis, saya tukar dengan labu, boleh?” mereka mulai saling merencanakan sambil tetap berharap jualan mereka bisa tetap laku dari pembeli lainnya. Semua hasil bumi yang dibawa dan yang dijual tercatat untuk menjadi bagian dari analisis ibu-ibu tentang kebutuhan hasil bumi oleh masyarakat di sekitarnya. Pasar dijaga secara bergantian oleh ibu-ibu, agar aktivitas lain di kebun dan di rumah bisa tetap dilakukan, sehingga meskipun tidak sempat menjaga pasar, hasil bumi mereka bisa tetap dijual.
Sebelumnya Inisiasi pasar desa ini juga sudah dibuka oleh anggota sekolah perempuan di Desa Bancea , Desa Didiri, dan Desa Tiu. “Pasar adalah ruang dimana perempuan selalu ada” kata Lian “ tapi perempuan di desa sangat jarang mengambil kontrol atas pengelolaan pasar atau memimpin mekanismenya. Pasar di Desa Salukaia dan desa-desa lain yang diinisiasi oleh anggota sekolah perempuan Mosintuwu menjadi contoh pengelolaan pasar dimana ruang kedaulatan atas tanah milik orang desa, bukan para pemodal” tambahnya.