Hadrah, 25 tahun, warga Desa Tokorondo baru saja membaringkan tubuhnya setelah seharian beraktivitas ketika mendadak lampu di kamarnya bergoyang, sedetik kemudian tanpa peringatan apapun seluruh rumah seperti digoyang raksasa yang sedang marah. Melompat dari tempat tidur, seluruh isi rumah saling berteriak “gempa, keluar rumah!” Pukul 22.35 WITA, tanggal 29 Mei seluruh warga tumpah ruah di jalan. Mereka saling bertanya dimana pusat gempa, mengapa goncangan terasa sekali hingga ke dalam rumah. Wajah-wajah kuatir tampak dan mulai mencari informasi. Pukul 01.30 tanggal 30 Mei 2017, gempa masih terasa.
Indonesia, termasuk Kabupaten Poso berada dalam jalur gempa yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Sayangnya pengetahuan warga tentang gempa masih sangat kurang.
Badan Hadrah masih gemetar karena guncangan hebat yang dirasakannya, tidak sanggup memegang telepon untuk bisa mendapatkan informasi mengenai peristiwa yang sedang terjadi. Tiga puluh menit kemudian, telepon berdering menyusul dering telpon lainnya yang masuk di nomor telepon Lian, warga di wilayah Pamona Puselembah yang juga pendiri Sekolah Perempuan Mosintuwu. Diskusi dilakukan secara cepat untuk segera mengambil tindakan menenangkan warga yang panik dan mulai mengungsi.
Sosial media dan grup di telepon mulai dipenuhi dengan spekulasi mengenai peristiwa gempa yang terjadi. Kesimpangsiuran informasi mengenai lokasi gempa hingga resiko tsunami termasuk pemahaman mengenai istilah-istilah teknis dalam gempa menjadikan warga lebih panik. Sebagian bergerombol , yang lain menyewa truk untuk mengungsi, atau berpakaian seadanya lari menuju dataran yang lebih tinggi. Desa Bukit Bambu yang berada di dataran paling tinggi di wilayah Poso Kota menjadi tujuan utama sebagian besar orang.
Merespon situasi tersebut, anggota sekolah perempuan Mosintuwu segera melakukan koordinasi . Mencari informasi yang tepat dan meneruskan sejumlah informasi mengenai penanganan saat gempa atau paska gempa. Martince di Bukit Bambu, Poso Kota segera mencari pemerintah desa dan mikropon terdekat . Hadrah di Desa Tokorondo, Poso Pesisir segera menghubungi imam mesjid. Evi di Tegalrejo , Poso Kota Utara segera mendekati warga yang berkumpul. Yustin di Desa Badangkaia, Lore Selatan yang sempat muntah karena guncangan yang sangat kuat segera berkoordinasi dengan pemerintah desa.
Para perempuan ini melakukan negosiasi untuk bisa menyampaikan informasi dan memberikan masukan penanganan gempa. Hadrah sempat mengalami kesulitan menyampaikan informasi karena warga mencibir dan tidak yakin dengan informasinya. Dengan keberanian yang dikumpulkan, Hadrah menunjukkan informasi yang diperoleh telah diolah dari BMKG dan pusat informasi Mosintuwu untuk disampaikan. “Sulit awalnya orang mencibir, kata mereka darimana kamu tahu soal informasi itu, jangan main-main ini soal nyawa kalau kita semua tenggelam bagaimana” cerita Hadrah. Para tua-tua di mesjid termasuk imam kemudian memberikan kesempatan pada Hadrah untuk menyampaikan informasi.
Martince, dengan sangat baik menggunakan posisinya sebagai ketua RW untuk memberikan informasi yang jelas dan menenangkan masyarakat. “ Warga berkumpul di lapangan, bukan cuma warga desa tapi dari luar desa, dari Sayo dan Tegalrejo, semuanya ke sini. Ramai sekali orang dan sudah mulai ribut karena kuatir. Saya gunakan mikropon untuk bisa buat warga tenang karena mereka cuma butuhkan informasi yang benar dan tepat dari orang yang bisa mereka percaya” ujar Martince. Terlanjur mengungsi, warga menggunakan kesempatan untuk bersilahturahmi. “Semua masih trauma, jadi kata mereka biar saja besok pagi baru pulang” kata Hadrah.
Evi, menggunakan semua kontak para pihak yang dikenalnya di dalam desa dan di luar desa untuk meneruskan informasi yang didapatkan. Mereka yang baru berencana mengungsi kembali ke rumah masing-masing. Seperti pesan berantai, pesan-pesan dengan informasi yang benar terutama informasi mengenai apa yang harus dilakukan diteruskan dan ditunjukkan ke semua orang. “Kami diajarkan di sekolah perempuan Mosintuwu untuk bertindak jernih dan mencegah kepanikan agar tidak terjadi dampak yang merugikan masyarakat” jelas Hadrah atas tindakan yang dilakukannya.
“Sekali lagi, pengetahuan dan akses informasi yang benar sangat penting bisa diperoleh seluruh warga. Kami beruntung mendapatkan pengetahuan dan akses itu. Jadi harus bertanggungjawab membaginya” sambung Martince.
Para perempuan mengambil peran membangun mekanisme penanganan gempa yang terjadi di Poso. Selain mencegah kepanikan atas isu tsunami, disampaikan pula tentang apa yang harus dilakukan saat gempa terjadi baik di dalam rumah atau gedung, di luar rumah atau sedang berkendara. Peristiwa gempa di Kabupaten Poso bisa menjadi contoh mekanisme masyarakat akar rumput merespon gempa. Perempuan, menjadi orang terdepan yang menggerakkannya.
Gempa di Poso, Terbesar dalam 20 Tahun
Dalam 20 tahun terakhir, gempa bumi kali ini adalah yang terbesar di Kabupaten Poso. Gempa bumi tektonik mengguncang wilayah Wuasa, Sulawesi Tengah pada tanggal 29 Mei 2017 pukul 22.35 Wita. Hasil analisa BMKG dengan kekuatan Magnitudo 6.6 Skala Richter dengan episenter terletak pada koordinat 1.33 Lintang Selatan dan 120.42 Bujur Timur pada kedalaman 10 Km.
Peta tingkat guncangan BMKG menunjukkan bahwa dampak gempa bumi merupakan guncangan kuat dirasakan di daerah Torue dan Poso, dalam skala intensitas II SIG BMKG atau (V MMI), Palu dan Sigi, dalam skala intensitas II SIG BMKG atau (III-IV MMI), Toli-Toli, Pasang Kayu dan Tana Toraja, dalam skala intensitas II SIG BMKG atau (III MMI), Gorontalo, Boalemo dan Bone Bolango, dalam skala intensitas I SIG BMKG atau (II-III MMI), Palopo, Masamba dan Balikpapan, dalam skala intensitas I SIG BMKG atau (II MMI) .
Ditinjau dari kedalaman hiposenternya, gempa bumi ini merupakan gempa bumi dangkal akibat aktivitas sesar lokal, dan tidak berpotensi tsunami. Sebelum rilis dari BMKG dan mengikuti rilis BMKG kelompok perempuan di beberapa desa segera melakukan distribusi informasi terkait lokasi gempa dan menegaskan gempa tidak berpotensi tsunami. Informasi ini diteruskan sehingga masyarakat menjadi lebih tenang .
Data terakhir di tanggal 30 Mei 2017, BMKG merilis kerugian yang ditanggung akibat gempa. Di wilayah Lore Utara – Timur khususnya Desa Sedoa terdapat 2 korban luka berat dan 1 ringan, 1 gereja roboh, 1 polindes roboh, puluhan rumah warga retak. Di Desa Alitupu, 1 nenek luka berat dan 1 rumah roboh. Di Desa Wuasa, terdapat tanah retak yang mengeluarkan lumpur dan bau belerang serta 3 rumah retak. Sementara itu di wilayah Kota Poso bagian depan bangunan lama BNI roboh , jembatan penghubung antar wilayah Kasintuwu dan Gebangrejo retak. Di wilayah pesisir Poso, khususnya di Desa Towu, 1 korban luka ringan, 19 rumah warga rusak ringan dan 2 bangunan warga rubuh. Di Desa Kilo, 1 rumah warga rubuh. Di wilayah Lage, bangunan parkir Polsek roboh. Tercatat, kerusakan parah terjadi di Napu , Lore Utara dan Lore Timur yang merupakan wilayah paling dekat dengan lokasi gempa.