“Ini pertama kalinya makan bersama yang meskipun sederhana tapi saya menjadi emosional, terharu “ Ujar Neni, warga pengunjung dari kota Poso “ Terkenang kembali hidup di desa dulu, dan kebersamaan yang terjalin antar warga melalui makan bersama” sambungnya.
Bintang-bintang bercahaya terang malam itu, menemani lampu-lampu bercahaya kuning keemasan dari arah panggung berbahan bambu. Alunan musik karambangan mengalun romantis mengiringi berbagai jenis dan rasa makanan yang sedang dicicipi oleh 300-an orang . Malam itu adalah makan malam yang istimewa bagi mereka yang berkunjung ke lokasi festival hasil bumi.
Molimbu, demikian tradisi makan bersama yang warisannya diteruskan malam hari itu. Dalam tradisi di suku-suku Kabupaten Poso, makan bersama ini selalu dilakukan setiap tahunnya di semua desa terutama sebelum konflik Poso terjadi. Seperti dijelaskan Ngkai Tinus, budayawan Poso “Pada hari tertentu terutama setelah musim panen, seluruh masyarakat dalam satu desa akan membawa makanan atau penganan hasil olahan sendiri dari rumah masing-masing. Makanan yang dibawa dari rumah masing-masing ini akan dikumpulkan di balai desa dan dimakan bersama-sama. Semua orang bisa saling membagikan makanan atau mencicipi makanan dari yang lain.Semuanya disajikan bersama-sama sebagai ungkapan syukur atas panen “
Berbekal pingku, yaitu piring makan yang terbuat dari daun Silar, dan suke atau alat minum dari bambu, ratusan warga mengelilingi warung-warung sederhana yang tersedia. Gelaran makanan sudah dibuka dan menerima antrian warga yang ingin mencicipi berbagai jenis makanan. Semua bahan makanan yang disediakan malam itu diolah oleh para ibu dari desa-desa. Sesekali beberapa orang bertanya jenis makanan yang dihidangkan. “Ini Onco arogo, kalau yang itu ituwu daging ayam” seorang ibu yang menjaga warung Desa Dulumai menjelaskan dengan sabar. Mereka yang sudah mendapatkan makanan duduk bersama di bangku bambu di tengah lokasi atau duduk bersila di atas rerumputan sambil berbincang-bincang. Keakraban tercermin jelas pada wajah-wajah warga.
Sambil makan, warga diiringi lagu-lagu karambangan yang dinyanyikan kelompok karambangan dari Desa Panjo dan Desa Dulumai. Lagu-lagu yang dibawakan menambah mesra suasana makan bersama malam itu.
“Ini pertama kalinya dalam sejarah Poso setelah konflik, ada makan bersama seperti molimbu ini yang menghubungkan antar desa, antar warga dan dari berbagai agama dan suku” berbinar-binar ibu Helpin dari Desa Tiu merespon “Kami bersyukur apabila orang bisa memulai mengingat kembali tradisi ini dan kembali berpikir kemungkinan untuk memulai kembali di desa. Ini tradisi yang harusnya tidak hilang” sambungnya. Selain diikuti warga desa yang sebagian besar adalah anggota sekolah perempuan Mosintuwu bersama pemerintah desanya,
Molimbu malam itu dihadiri oleh tamu dari Bali, Jakarta, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Palu. Semua menikmati malam makan bersama yang pertama kalinya mereka alami. “Sepulang dari sini, sudah jelas cerita yang akan saya bawa tentang Poso, bahwa Poso luar biasa kaya dengan sumber daya alam dan makanan yang enak-enak “ ujar Agung dari Bali “ Juga bahwa orang-orang di Poso sangat terbuka dan bersahabat, bahkan tidak ada kesan bahwa dulu ada konflik disini” sambung Sue, tamu berkewarganegaraan Amerika yang juga hadir malam itu.
Acara Molimbu ini oleh Institut Mosintuwu adalah simbol gerakan solidaritas dengan petani dan nelayan, yang menguatkan persaudaraan lintas identitas di Poso. Seperti dijelaskan Lian “ makanan yang diolah dari rumah dan saling berbagi kepada orang lain adalah sebuah gerakan berbagi yang ada sejak leluhur dulu dengan tidak mempedulikan kedudukan sosial, ekonomi, atau latarbelakang agama yang berbeda.Tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, Islam atau Kristen atau Hindu, atau mungkin belum beragama. Yang hadir adalah syukur pada alam yang memberikan kehidupan melalui makanan, dan rasa syukur itu diekspresikan dengan saling berbagi”