“ Dulu kami cuma ba badiang ( berdiam ) di rumah, kalaupun bekerja lebih banyak dari halaman rumah ke kebun” Emi Pabundang, mama dari Poso hari itu bercerita. “Sekarang kami punya pasar dan bisa menghidupi masyarakat di desa bahkan desa-desa lain di sekitar kami” Emi selanjutnya bercerita bagaimana mereka memulai dengan meja berukuran 2 meter dengan anggota 10 orang membawa sayur-sayuran dari halaman rumah untuk di jual. Baru berjalan 4 bulan, pasar desa perempuan di Desa Salukai kemudian berkembang luas beranggotakan 70 orang. “ Kami bukan hanya menjadi mandiri di bidang ekonomi, tapi juga menjadi bagian dari kelompok perempuan yang dipercaya bisa membawa perubahan di desa” sambungnya.
Ruang Kekini, sebuah ruang berbagi atau community workspace, malam hari tanggal 6 Oktober 2017 menjadi ruangan yang beraroma kuliner yang luar biasa dengan berbagai makanan yang dibawa dari Poso. Lima orang mama-mama dari Poso, Sulawesi Tengah datang secara khusus berbagi cerita tentang gerakan perempuan di Poso. Poso yang dikenal sebagai daerah konflik dan wilayah terorisme saja, malam itu mengubah wajahnya dari cerita-cerita yang hadir. Mereka adalah anggota sekolah perempuan Mosintuwu. Sekitar 45 orang hadir mendengarkan cerita mereka, para aktivis, pengusaha, wartawan, pegiat kuliner dan lainnya.
Ibu Nengah dari Desa Kilo bercerita soal dirinya mengalami transformasi yang dialaminya. “Saya tidak lulus dari SD, dan tidak pernah diikutkan dalam rapat di desa, bahkan saya sering dilarang keluar rumah, bukan hanya karena saya HIndu tapi juga perempuan. Sejak ikut sekolah perempuan , meskipun saya dan anak pernah disekap oleh kelompok militan, saya bisa maju dan memimpin kelompok perempuan di desa kami” Saat ini Nengah menjadi ketua perhimpunan perempuan Hindu, ketua kelompok perempuan desa, dan mengelola kelompok ekonomi yang menghasilkan minyak kelapa murni.
“Desa kami kehilangan danau, karena kelapa sawit” Cerita yang tidak kalah seru hadir dari ibu Krisdawati dari Desa Tiu “Sekarang kami perempuan di desa sedang menciptakan lapangan pekerjaan baru dan menuntut adanya bentuk lain perkembangan ekonomi yang berpihak pada masyarakat dan alam. Sementara itu Reflin, anak muda dari Tentena yang mengurus radio Mosintuwu menceritakan “ Saya melihat langsung bagaimana saat konflik kami terpisah dan saling membenci. Kami punya radio komunitas yang harapan bisa menjadi jembatan perdamaian dan media informasi antar komunitas di Poso sehingga kami tidak sibuk berkelahi tapi sibuk membangun damai” Demikian pula Cici, dari Dusun Palapa yang bersama seluruh keluarganya mengungsi dari Desa Galuga, 100 km dari arah Tentena. “Karena saya pernah mengungsi dan mengalami langsung konflik, waktu itu masih remaja, saya tahu bahwa kita juga perlu memberikan perhatian pada anak-anak yang perlu didampingi untuk bisa membentuk generasi penuh perdamaian ke depan” Cici,membantu Mosintuwu untuk mengelola perpustakaan keliling yang mempersatukan anak-anak dari berbagai pihak.
Persoalan ekonomi, kehidupan sosial, masalah anak, hingga politik di dalam desa menjadi wilayah dimana mama-mama dari Poso, termasuk anak-anak muda bergerak bersama memastikan kehidupan di Poso damai dan berkeadilan. “Kita tahu kita tidak perlu menunggu orang lain dari luar membawa program untuk membuat kampung dan Poso menjadi lebih baik, kami juga di desa bisa melakukan perubahan” demikian tegas Emi saat ditanyai di luar pertemuan soal keterlibatannya mengorganisir perempuan dari desa lain.
“Mimpi kami adalah desa berdaulat, dimana perempuan, para mama dan anak muda menjadi bagian aktif melakukan perubahan positif yang membawa perdamaian dan menciptakan keadilan” Lian Gogali menjawab pertanyaan dari peserta mengenai mimpi terbesar yang ingin diraih. Jawaban ini mendapatkan tepuk tangan dukungan dari para peserta yang semakin malam semakin ramai memenuhi ruangan lantai 1 Kekini. Sebelumnya, percakapan bersama mama-mama diawali dengan presentasi mengenai Festival Hasil Bumi oleh Lian, dimoderatori LIsa Virgiano, aktivis kuliner Indonesia. Dalam presentasinya, Lian dan Lisa menceritakan harapan yang lahir dari desa melalui kuliner. “Poso sangat kaya dan sangat khas kulinernya “ Demikian komentar Lisa “kalau dilihat dari semua jenis makanan yang ada di Festival Hasil Bumi, bahan-bahan yang digunakan sangat sederhana dan tidak banyak hanya beberapa jenis, tapi mampu menciptakan rasa yang luar biasa dan unik”
Ayam ituwu, kue bagea, winalu ( nasi yang dibungkus di daun ), juga kopi kojo Poso menjadi pelengkap pertemuan malam hari itu. Seluruh peserta diberikan kesempatan mencicipi kuliner Poso yang dibawa langsung dari tana Poso oleh mama-mama Poso. 4 alpukat yang dibawa dari halaman kantor Mosintuwu menjadi hadiah yang menyenangkan bagi beberapa peserta. Cerita para mama dari Poso bukan hanya bahwa mereka melakukan perubahan, tapi menguatkannya mereka di barisan depan perubahan dan penciptaan perdamaian di Poso.