“ Isoa tempo, kuhawe komiu…” lantunan lagu berbahasa Mori yang berarti ‘pada suatu ketika, saat saya berjumpa denganmu’ terdengar merdu dari ruangan kedap suara berukuran 4 x 3. Menyusul 5 lagu berbahasa Pamona lainnya. Selain berbahasa daerah, rekaman yang dilakukan di Studi Pataba di kota Palu ini , semua liriknya menceritakan tentang alam Poso. “Kami ingin mengingat dan mewariskan ingatan tentang alam Poso dengan segala keunikan dan keindahannya melalui musik” Lian Gogali, pendiri Institut Mosintuwu menjelaskan mengapa musik penting sebagai alat perjuangan “Musik bisa mendeskripsikan dengan indah, dan menjadi milik semua orang bahkan lintas generasi jika liriknya menyentuh kehidupan sehari-hari termasuk alam di Poso” lanjutnya.
Di Kabupaten Poso, lagu-lagu berbahasa daerah sudah sangat jarang dinyanyikan oleh anak-anak muda Poso. “ Apalagi aliran musik tradisional, misalnya geso-geso” cerita Ngkai Tinus, budayawan Poso. “ Anak muda Poso sekarang lebih kenal lagu-lagu dari mancanegara termasuk dari Korea dibandingkan lagu dari tana Poso sendiri. Bukannya kita larang tapi lagu berbahasa daerah bisa hilang dari generasi jika tidak dikuatkan kembali” Ngkai Tinus yang juga adalah maestro budaya Poso mengingatkan bahwa lagu bukan hanya soal hiburan tapi membawa pesan. “Dengan lagu, setiap generasi bisa mengingat tanahnya” jelasnya. Karena itu, inisiatif rekaman kompilasi lagu berbahasa daerah dengan lirik tentang alam Poso menjadi bagian dari upaya membangun ingatan kembali.
“Rekaman ini berawal dari lomba musik band di festival hasil bumi Poso yang disambut positif oleh studio rekaman Pataba Palu dengan mengajukan kerjasama rekaman” jelas Reflin Mandala pengelola Radio Mosintuwu yang saat itu membawa tim rekaman ke Palu. Studio Pataba Palu yang digawangi oleh Jack adalah studio rekaman lagu indie di Sulawesi Tengah.
Menempuh perjalanan darat selama 7 jam dari kota Tentena, ketiga band pemenang lomba menjadi bagian dari rekaman album kompilasi yang pertama kalinya diorganisir Mosintuwu. Tiga pemenang lomba yaitu Sintuwu Akustik Band, STT Uwepuro , dan Watumpogaa Band, masing-masing menyanyikan dua lagu. Sintuwu Akustik menyanyikan lagu Inanco dan Waya Masapi; STT Uwepouro menyanyikan lagu Lipu Mpeari dan Tempo , serta Watumpoga’a Band menyanyikan lagu Matiandano dan Yondo Pamona. Sintuwu Akustik membawakan lagu Inanco dan Waya Masapi, STT Uwepuro membawakan lagu Lipumpeari dan Tempo, sedangkan Watu Mpoga’a band membawakan lagu Matiandano dan Yondo Pamona.
Direncanakan album kompilasi yang belum mendapatkan judul ini akan dilaunching di Radio Mosintuwu pada gelombang 107.7 FM. Radio Mosintuwu sendiri akan memperkenalkan lagu-lagu tersebut dalam siaran program khusus sambil berbincang dengan para pemusiknya. Warga masyarakat pecinta musik diharapkan dapat memesan CD / DVD lagu yang disiapkan dalam bentuk pre-order. “ Ini album musik berbahasa daerah yang dibawakan kembali oleh anak-anak muda Poso, semoga bisa menjadi bagian dari menjadikan tana Poso tana yang dicintai kembali oleh anak mudanya “ tutup Reflin.
Sebelumnya, selama penyelenggaraan Festival Hasil Bumi pada tanggal 18 – 19 September 2017, Institut Mosintuwu mengajak masyarakat umum untuk terlibat dalam paduan suara yang membawakan lagu-lagu daerah Poso dengan tema alam dan hasil bumi Poso.