Menggunakan kruk , seorang perempuan berjalan dari arah reruntuhan bangunan. Suaranya terdengar “ bagaimana kita menyembuhkan luka perang?” Pertanyaan yang diikuti pernyataan kuat itu sedetik kemudian diiringi dengan lagu-lagu berbahasa Pamona.
Sekitar 5 menit pertama, gambar tersebut menghiasi layar besar di bioskop petang hari itu. “The Peace Agency” , demikian judul film dokumenter yang menceritakan perjalanan sekolah perempuan Mosintuwu. Film dokumenter yang dibuat oleh Sue Useem, seorang filmmaker dari Amerika Serikat resmi dilaunching pada bulan Maret 2017, dalam Respect Human Rights Film Festival di Belfast .
Launching film ini diikuti oleh pemutaran film lainnya di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, Belanda, Kroasia, Makedonia, Amerika Latin . Film dokumenter yang dibuat sejak tahun 2010 ini telah memenangkan penghargaan John Micheal’s Award dalam festival film Big Muddy ke 39 di Amerika . Terhitung 9 negara dan 23 kota telah memutar film The Peace Agency. The Peace Agency menjadi film pilihan berbagai festival antara lain Women’s Rights Nights Film Festival in Skopje, Macedonia yang diikuti Women’s Film Festival of San Diego; New Haven International Film Festival sebuah festival film yang fokus pada HAM dan Perdamaian; MicGénero Film Festiva di Mexico; Festival Internacional de Cine de Fusagasugá di Colombia; Awareness Film Festival at Las Angeles, Balinale International Film Festival; Black Bear Film Festival di Milford, PA; VOX Faminae Festival di Zagreb, Croatia; Oregon State International Film Festival di Oregon; Social Justice Film Festival di Seattle, Just Films Series di Pittsburgh; FilmFest52 – Bennington.
The Peace Agency menceritakan bagaimana perempuan di wilayah paska konflik Poso melampaui trauma, membangun kepercayaan, bekerja bersama-sama, menyuarakan pendapat dan terlibat secara aktif dalam membangun perdamaian dan keadilan di Poso. Judul kecil film dokumenter ini menegaskan “ Saat perang / konflik berakhir, perjuangan perempuan dimulai”. Selama ini peran perempuan dalam pembangunan perdamaian dianggap tidak penting bahkan disenyapkan. Film dokumenter ini menceritakan cerita yang senyap tersebut melalui figur beberapa anggota sekolah perempuan Mosintuwu seperti Martince Baleona, dan Ramlah . Kedua figur perempuan rumah tangga ini menggambarkan bagaimana melalui sekolah perempuan Mosintuwu mereka melakukan dekonstruksi atas konflik yang mereka alami lalu mentransformasi diri dari korban menjadi penyintas bahkan agen perdamaian.
Dalam wawancaranya dengan www.wearemovingstories.com , Sue Useem menjelaskan bahwa pada awalnya dia tidak berencana membuat film dokumenter melainkan film pendek yang menceritakan mimpi Lian Gogali, pendiri Sekolah Perempuan Mosintuwu dan Institut Mosintuwu. “ Saya tidak pernah terpikirkan membuat film lain di Poso setelah sebelumnya saya membuat film dokumenter tentang konflik Poso dengan judul ‘Which Way to the War”. Saat itu saya hanya mengunjungi Lian yang saat itu baru saja mengalami kecelakaan yang parah dengan motor dan tidak dapat berjalan dengan baik. Saya kagum melihat bahwa meskipun dia tidak dapat berjalan, orang tua tunggal dan sedang sakit tubercolosis, dia tetap memulai sekolah perempuan untuk membangun perdamaian dan keadilan di teras rumahnya dengan beberapa ibu-ibu. Awalnya saya pikir oh okay saya akan membuat film pendek tentang apa yang dia lakukan. Lalu kemudian yang terjadi justru akhirnya saya meliput perjalanannya ke New York dan semua hal menarik yang terjadi. Saya kemudian membuat film dokumenter ini selama 6 tahun untuk memperlihatkan semangat perubahan yang Lian dan anggota sekolah perempuan lainnya lakukan melalui sekolah perempuan. Inilah yang saya saksikan , yaitu “The Peace Agency”, atau Agen Perdamaian”
Selanjutnya Sue menjelaskan bahwa perkembangan luar biasa yang terjadi di sekolah perempuan Mosintuwu membuatnya kesulitan untuk memutuskan kapan mengakhiri proses filmnya ini . Katanya “ Saya merasa seperti membuat 10 film yang berbeda dalam membuat film dokumenter ini. Setelah dua tahun membuat film dokumenter ini, saat Lian memenangkan Coexist Prize, saya sempat berpikir sudah akan melalui proses edit dan launching filmnya. Tapi kemudian saya akhirnya memutuskan untuk tetap mengambil film, dan saya senang akhirnaya melakukan itu karena film ini kemudian menunjukkan bagaimana sebuah penghargaan di Coexist Prize bisa memberikan dampak yang besar pada banyak orang, dan ini bukan hanya cerita Lian saja”
Seperti semangat yang dianut oleh Mosintuwu, organisasi masyarakat akar rumput yang bekerja bersama kelompok rentan dan masyarakat marjinal, The Peace Agency berharap lebih banyak ditonton oleh komunitas atau organisasi akar rumput sehingga memberikan harapan tentang gerakan masyarakat yang dapat mempengaruhi perubahan mencapai perdamaian di wilayah paska konflik. Demikian harapan Sue. The Peace Agency pada akhirnya adalah potret perjalanan kekuatan perempuan akar rumput membangun perdamaian dan keadilan. “ Kami juga berharap film ini bisa menginspirasi orang untuk melakukan upaya perdamaian dan perjuangan keadilan itu dimulai dari diri dan lingkungan mereka sendiri”
Peluncuran film di berbagai negara mendapatkan respon sangat positif. Seorang penonton dalam peluncuran film di Belanda mengatakan “ Saya sangat tersentuh, dalam hidup saya tidak pernah saya melakukan hal yang penting untuk orang lain, meskipun saya hidup normal. Melihat bagaimana para perempuan di Poso melakukan upaya serius membangun damai di situasi perang dan situasi ketimpangan geder” Sambil menangis, Bella 26 tahun melanjutkan “ Film ini mengingatkan saya untuk melakukan sesuatu untuk orang lain”. Sementara itu salah satu penonton di Belanda yang berasal dari Indonesia menyampaikan “Sejak peristiwa politik di Jakarta saya sangat pesimis dengan apa yang bisa dilakukan di Indonesia, menonton film ini membuat saya lebih optimis dan merancang untuk pulang kembali ke Indonesia untuk berbuat sesuatu”