Pasar Desa 04.00 : Narasi Pemberdayaan Mama-mama Poso

0
5859

Mama Seno menggerutu hari itu, mesin jahit kelompok di desanya tidak bisa digunakan, rusak katanya. Padahal pesanan jahitannya lumayan banyak . Dia mencoba meminjam pada ketua kelompoknya “So tidak ada , te tau dimana itu mesin jahit, mungkin dijual seperti anggota kelompok yang lain. Cuma saya te berani tanya soalnya dia ketua, dan dulu katanya dia yang kase akses sama kami untuk bisa dapat pelatiihan menjahit” cerita Mama Seno.

Cerita Mama Seno, dialami juga oleh Mama Agus di desa lainnya. Mama Agus dan belasan teman-teman lainnya mendapat kesempatan mengikuti training menjahit selama dua bulan. Training ini diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang dibantu oleh organisasi masyarakat sipil. Kelompok perempuan Kristen dan Islam berbaur dalam training tersebut. Pada akhir training, setiap kelompok diberikan mesin jahit. “ Baru tiga bulan itu mesin jahit so dijual, kita rame-rame jual karena so tidak ada modal lainnya”

———————————–

Tahun-tahun paska konflik di Poso, puluhan hampir ratusan program yang menyebut diri pemberdayaan masyarakat masuk di wilayah Kabupaten Poso. Beragam organisasi, berbagai bentuk kegiatan memiliki metode yang sama. Dimulai dari serangkaian training atau workshop dengan tema ketrampilan tertentu, dilanjutkan dengan pemberian bantuan dengan harapan ada tindak lanjut. Pola yang sama masih dilanjutkan sampai sekarang . Cerita mama Seno adalah salah satu hasil dari proses itu. Tentu tidak semua seperti kisah Mama Seno. Tulisan ini ingin mendiskusikan ulang konsep pemberdayaan yang dibangun dari pengalaman dan pengetahuan mama-mama di Poso.

Pemberdayaan ekonomi menjadi salah satu kata kunci yang melekat pada perempuan dalam pembangunan, termasuk pembangunan paska konflik. Pemberdayaan ekonomi diasumsikan dapat mengatasi salah satu kebutuhan masyarakat untuk membangun masyarakat yang sejahtera, adil dan damai. Demikian sebagian besar asumsi yang lahir dari kebijakan program pemberdayaan yang dialami oleh Mama Seno dan Mama Agus.

Dalam salah satu kesempatan , Martince, koordinator ekonomi solidaritas Institut Mosintuwu ditanyai oleh staff bidang pemberdayaan perempuan dan anak Kabupaten Poso, apakah punya program pemberdayaan. Saat Martince menjelaskan kegiatan Sekolah Perempuan yang mampu mendorong mama-mama di Desa Salukai membuat pasar desa sendiri yang mengakomodir kebutuhan pangan satu kecamatan; atau yang mendorong diproduksinya kopi Kojo Desa Bancea dan Desa Panjo, direspon dengan menyampaikan ” jadi tidak ada pelatihan ketrampilan?”

Menilik dari katanya, Merriam Webster dan Oxford English Dictionary, menyebutkan pemberdayaan adalah empowerment, dan memberdayakan adalah empower. Kata ini mengandung dua arti pokok yaitu, to give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keperdayaan ( Mardi, 2000 ) . Keduanya mengandung dampak yang berkelanjutan, bukan sementara. Merujuk kata tersebut, Mardi memberikan catatan adanya tiga pandangan yang muncul sebagai aksi atas konsep ini, yakni pemberdayaan adalah penghancuran kekuasaan atau power to nobody; pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to everybody); pemberdayaan adalah penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat ( power to powerless ).

Ketiga pandangan ini memiliki kecenderungan mengabaikan kekuatan , sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat yang diasumsikan lemah.

Sejarah kata dan konsep pemberdayaan sendiri muncul saat masa revolusi industri, saat itu industrialisasi menciptakan dua jenis masyarakat yakni masyarakat penguasa faktor industri dan masyarakat sebagai pekerja yang dikuasai. Kondisi ini mendorong sebuah gerakan untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai , melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai. Sementara itu, literatur lain menyebutkan konsep pemberdayaan muncul saat lahirnya Eropa modern pada abad 18 atau zaman renaissance ketika orang mulai mempertanyakan diterminisme gereja serta monarki. Selanjutnya, konsep ini menjadi bagian dari diskursus pembangunan ketika orang mulai mempertanyakan makna pembangunan. Secara khusus di negara-negara berkembang seperti Indonesia ketika pembangunan menimbulkan disentraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumberdaya alam dan alienasi masyarakat dari faktor-faktor produksi oleh penguasa ( Mardi, 2000:1 )

Baca Juga :  Aksi Damai Perempuan Poso untuk Perdamaian dan Keadilan

Mengutip Madir, menurut Karl Marx, pemberdayaan masyarakat adalah proses perjuangan kaum powerless untuk memperolah surplus value sebagai hak normatifnya. Perjuangan memperoleh surplus value dilakukan melalui distribusi penguasaan faktor-faktor produksi yang dilakukan melalui perjuangan politik. Sementara menurut Fiedmann, pemberdayaan harus dimulai dari rumah tangga. Pemberdayaan rumah tangga adalah pemberdayaan yang mencakup aspek sosial, politik, dan psikologis. Yang dimaksud dengan pemberdayaan sosial adalah usaha bagaimana rumah tangga lemah memperoleh akses informasi, akses pengetahuan dan ketrampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial, dan akses ke sumber-sumber keuangan. Yang dimaksud dengan pemberdayaan politik adalah usaha bagaimana rumah tangga yang lemah memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik yang mempengaruhi masa depan mereka. Sedang pemberdayaan psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang lemah. Selain Karl Marx dan Friedmann, masih banyak pandangan mengenai pengertian pemberdayaan yang pada prinsipnya bahwa pemberdayaan adalah penguatan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, penguatan masyarakat untuk dapat memperoleh faktor-faktor produksi, dan penguatan masyarakat untuk dapat menentukan pilihan masa depannya.

Dalam konteks pembangunan paska konflik, maka kata pemberdayaan mengasumsikan sebuah upaya untuk memastikan konsep pembangunan di Kabupaten Poso tidak melahirkan situasi dikotomi penguasaan ekonomi oleh sekelompok orang dan menguasai yang lain. Juga mengasumsikan agar pembangunan di Kabupaten Poso tidak menimbulkan disentraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumberdaya alam dan alienasi masyarakat dari faktor-faktor produksi oleh penguasa. Dalam hal ini, perempuan menjadi kelompok masyarakat yang rentan mengalami ketidakberdayaan ekonomi atau dikuasai, mengalami alienasi. Maka untuk mengubahnya perlu mengurai penguasaan dan kekuasaan atas ekonomi menjadi adil dan setara.

Perempuan, dalam konteks pembangunan adalah kelompok rentan yang lemah atas akses informasi, akses pengetahuan dan ketrampilan, akses untuk berpartisipasi termasuk akses pengambilan keputusan dalam pembangunan.

Sayangnya, dalam banyak cerita pembangunan, perempuan adalah obyek pembangunan. Sebagai obyek pembangunan dan pemberdayaan, pada pikiran dan tubuh perempuan dilekatkan target-target pembangunan. Target tersebut memiliki ukuran angka-angka dan benda/ bentuk materil. Salah satu hasil penelitian di Kabupaten Poso yang dikerjakan oleh organisasi masyarakat sipil di Jakarta bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak RI, menyebutkan pada bagian kesimpulan penelitian, bahwa kebutuhan intervensi program dalam rangka upaya perlindungan dan pemberdayaan perempuan paska konflik di Kabupaten Poso adalah : menyelenggarakan pelatihan yang bersifat pemberdayaan baik lifeskill maupun livelihood; memberikan bantuan langsung dalam bentuk modal usaha maupun logistik/barang.

Baca Juga :  Merajut Damai di Gempa Poso

Kesimpulan ini memiliki asumsi mendasar bahwa pemberdayaan perempuan adalah isu ekonomi semata. Karena isu pemberdayaan perempuan adalah ekonomi, maka bisa dipisahkan dari politik. Akibat dari asumsi ini, maka program dari pemerintah atau donor yang baik hati untuk membagikan mesin jahit, alat tata rias, beras, bibit-bibit pertanian, modal uang dan sebagainya menjadi indikator perempuan telah diberdayakan. Akhirnya, sebagai obyek pemberdayaan, suara perempuan dikurangi atau menjadi senyap tidak berarti, menjadi subjek pasif yang menunggu penyelamatan dari pihak luar.

Mama-mama Pasar

Di bulan April 2017, sekelompok perempuan di Desa Salukaia memulai pasar organik . Awalnya beranggotakan 10 orang dengan menggunakan 2 meter meja, sekarang sudah mengakomodir 75 ibu-ibu dari berbagai agama dan suku. “Biasanya hasil bumi ini busuk di kebun atau di rumah, bahkan dibagi sama tetangga juga tidak habis” ibu Yeni, pengurus pasar bercerita. Beberapa perempuan yang lain bergegas untuk bisa mengambil hasil bumi lainnya . “ Saya punya rempah daun, punya pepaya, punya pisang dan selada air, saya tadi ragu mau mengambilnya, sekarang tolong ibu tunggu ya, saya akan ambil “ kata seorang ibu pada saya dan calon pembeli lainnya sambil bergegas memanggil temannya ke kebun yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya.

Jika sebelumnya pasar dibuka satu kali dalam seminggu, ramainya pembeli membuat pasar desa dibuka setiap hari Rabu dan Sabtu. Para pembeli tidak hanya datang dari dalam desa “ Saya dengar dari banyak orang, setiap hari Sabtu tidak perlu lagi ke kota untuk cari bahan makanan, kita ke Desa Salukaia. Bahkan sangat murah” ujar Ros, salah satu pelanggan pasar Desa Salukaia. Berita mengenai keberadaan Pasar Desa Salukai mengajak 4 desa di sekitarnya berdatangan setiap hari pasar. Pasar Desa Salukaia berkembang dari 10 orang menjadi 70 perempuan yang terlibat aktif. Di Pasar desa, sistem yang dikembangkan sederhana, setiap ibu di desa membawa bahan-bahan yang akan dijual dari kebun atau halaman rumah masing-masing . Jika hasil bumi yang dijual tidak laku hari itu, mereka akan saling tukar satu sama lain. “Nanti kalau sayur selada air tidak habis, saya tukar dengan labu, boleh?” mereka mulai saling merencanakan sambil tetap berharap jualan mereka bisa tetap laku dari pembeli lainnya. Semua hasil bumi yang dibawa dan yang dijual tercatat untuk menjadi bagian dari analisis ibu-ibu tentang kebutuhan hasil bumi oleh masyarakat di sekitarnya. Pasar dijaga secara bergantian oleh ibu-ibu, agar aktivitas lain di kebun dan di rumah bisa tetap dilakukan, sehingga meskipun tidak sempat menjaga pasar, hasil bumi mereka bisa tetap dijual.

Ide pasar desa dikembangkan oleh anggota sekolah perempuan Mosintuwu untuk menjawab kebutuhan, dan fenomena pembelian bahan makanan yang mulai dimonopoli oleh sekelompok / individu pemodal. Di kelas sekolah perempuan Mosintuwu, dalam kurikulum ekonomi solidaritas, perempuan mengembangkan prinsip mempertahankan peredaran uang di dalam desa dan membawa uang dari luar masuk ke dalam desa. Tentu dengan adil. Dalam konteks masyarakat pertanian/perkebunan dan nelayan, perempuan menganalisis fakta monopoli sumber daya alam yang sebenarnya sumbernya dari para petani, para nelayan, para perempuan.

Belajar mama-mama di Pasar Salukaia, pemberdayaan perempuan pun dalam konteks ekonomi menyasar kebutuhan perubahan politik, perubahan struktur dan dibongkarnya cara berpikir yang mendiskriminasikan perempuan. Hal ini harus dimulai dari mengurai dan membongkar cara berpikir bahwa perempuan adalah obyek pembangunan dan pemberdayaan. Sebaliknya melihat kekuatan aktivitas dan cara berpikir perempuan bersamaan dengan ketersediaan sumber daya alam di desa mereka sebagai modal pemberdayaan. Ini membutuhkan didengarkannya suara perempuan, dipahaminya konteks ekonomi sosial budaya dan politik yang melingkupinya. Berbeda dengan kesimpulan yang dihasilkan oleh organisasi di Jakarta, apa yang dilakukan Mama-mama di Pasar Salukaia adalah berpikir kritis dengan menganalisis konteks ekonomi, sosial, budaya dan politik di desanya. Hasilnya, para perempuan menciptakan lapangan pekerjaan yang mandiri, menciptakan sistem ekonomi sendiri dan membawa perubahan ekonomi yang cukup masif dalam desa .

Baca Juga :  Di Sekolah Perempuan:Perempuan Bicara,Dunia Dengarkan

Mengubah cara berpikir dalam dinamika konteks yang terus bergerak adalah tantangan bagi isu pemberdayaan ekonomi perempuan. Rhenald Kasali, seorang ahli ekonomi, menyebutkan adanya shifting dalam perkembangan ekonomi. Shifting ini mulai mempengaruhi perekonomian di desa, termasuk pola produksi. Jika sebelumnya beras menjadi pangan pokok, keberadaan roti dan makanan instan mengubah pola produksi. Jika sebelumnya memanen padi menggunakan ani-ani, tergantikan dengan mesin pemanen ( Odong-odong ) yang hanya dimiliki oleh orang kaya. Rhenald menyampaikan bahwa berinovasi adalah cara untuk melawannya agar tidak terhisap. Dalam konteks masyarakat miskin paska konflik di Poso, membaca gerakan pemberdayaan ekonomi yang demikian adalah agar tidak terjadi dikotomi ekonomi, menguasai dan dikuasai. Dalam konteks itu, Institut Mosintuwu mengembangkan ekonomi solidaritas yang mengajak dan mendorong kelompok perempuan dalam desa untuk membangun kepercayaan diri dan menciptakan pola ekonomi yang berakar pada prinsip : memastikan uang tidak keluar dari desa, dan mengusahakan uang masuk ke dalam desa.

Memastikan uang tidak keluar dari desa dalam konteks pemberdayaan ekonomi perempuan, berarti mendorong terciptanya inovasi dalam desa yang mampu memenuhi kebutuhan pangan, papan, bahkan sandang. Jika seseorang memerlukan kursi, maka tukang kayu atau bambu yang bisa membuat dalam desa dapat memproduksi. Kebutuhan sayur mayur diperoleh dari desa yang ditanam dari kebun dan sawah masyarakat, bukan dari penjual sayur dari luar. Sementara itu mengusahakan uang masuk ke dalam desa adalah sebuah usaha untuk menciptakan usaha yang khas desa dan berakar dari potensi masyarakatnya. Di Desa Bancea, perempuan membuat kopi Kojo. Di Desa Kilo, ibu-ibu dari berbagai agama bergabung membuat produk minyak kelapa murni, di Desa Tokorondo terdapat produk suvenir dari Sampah.

Perubahan politik , perubahan struktur , dan pola berpikir dalam pembangunan ini seharusnya mendapatkan ruangnya dalam implementasi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Selanjutnya menjiwai semangat pembangunan di Kabupaten Poso yang disusun dalam rencana pembangunan daerah. Dalam konteks ini, pemberdayaan ekonomi adalah perubahan politik, dimana suara dan rencana perempuan didengarkan dan diimplementasikan. Maka keterlibatan perempuan dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan desa adalah wajib.

Lalu apa hubungannya antara keberdayaan ekonomi dengan rekonsiliasi? Mama-mama di Pasar Salukaia menggambarkan dengan jelas, bahwa pangan tidak beragama. Seluruh kehidupan manusia bersuku dan beragama apapun bergantung dan terpusat pada pangan . Tidak ada sayur pakis beragama Kristen, atau ikan Katombo beragama Islam.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda