Sulap Rotan Punya Harga Jual, Rura Menginspirasi Warga Poso

0
4098

Setiap ketekunan akan membuahkan hasil, demikian Rura Topuha (48) telah membuktikanya. Mulanya rotan tidak banyak dimanfaatkan sebagai barang yang memiliki nilai ekonomis. Namun, di tangan Rura rotan sebagai salah satu kekayaan alam di lembah Bada, menjadi berbagai barang, seperti bakul, topi, tas dan sebagainya.

Keterampilan yang dimiliki Rura itu tidak langsung diperolehnya dari mengikuti pelatihan atau mewarisi usaha orang tua. Keterampilan itu berawal dari ingatan masa kecilnya pada usia 12 tahun ketika melihat pamannya membuat peci dari rotan. Suatu ketika ia sakit berat dan dokter mengharuskannya istirahat total. Sisa ingatan masa kecil itulah yang membuatnya bangkit dan mengisi hari-harinya di kala sakit dengan membuat anyaman peci dari rotan. Ternyata tidak mudah membuat peci rotan. Peci yang dibuatnya malah melenceng menjadi piring.

Tetapi ia terus berlatih dan berusaha hingga menghasilkan peci rotan yang layak jual. Rurah pun berhasil. Bahkan ia juga membuat anyaman rotan lainnya. Tantangan muncul saat barang hasil anyaman rotan hendak di jual. Awalnya, banyak yang ragu apakah membuat anyaman rotan bisa mendatangkan penghasilan lebih. Namun dia tetap yakin dan berusaha untuk memasarkan. Ia pernah mencoba memasarkan 8 buah bakul yang dijualnya sambil berjalan kaki ke desa-desa tetangga sejauh 8 kilometer.

Baca Juga :  Kartini dan Kisah Perempuan Memimpin Desa di Poso

Namun berkat kegigihan, hasil anyamannya banyak dipesan dan laku dijual. Bakul yang dia buat bukan hanya menjadi barang jualan tapi juga menjadi salah satu benda penting dalam setiap ritual adat di Poso.

Warga sekitar rumahnya di Desa Tomehipi, Kecamatan Lore Selatan banyak memesan bakul buatanya. Terlebih pada Januari hingga Februari yang menjadi bulan penuh pergelaran pesta pernikahan adat. Dalam upacara adat, bakul menjadi salah satu benda penting yang digunakan untuk menaruh seserahan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.

Agar model bakul buatannya beragam, ibu Raru meminta anaknya, Yabes yang duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar untuk menggambarnya. “Kadangkala untuk menemukan motif baru, saya mengkhayal dulu,” kata Rura tertawa.

Selain itu, suami Rura tidak hanya membantunya mencarikan rotan tapi juga mulai belajar menganyam rotan. Koleksi anyaman Rura dan suaminya kini bisa didapatkan di rumah mereka yang juga menjadi galeri. Warga tertarik dengan karya mereka biasanya datang membeli atau memesan menurut model dan motif yang diinginkan.

Baca Juga :  Warga Korban MIT dan Kegagalan Operasi Keamanan

Lambat laun, kegigihan Rura mengolah rotan menjadi barang berharga membuka mata banyak orang. Apalagi setelah karena profesi barunya dapat membantunya menyekolahkan anak-anaknya hingga ke universitas. Bahkan dia bisa mempekerjakan 3 orang warga untuk membantu usahanya itu.

Keterampilan Rura memberikan harapan masyarakat untuk melirik pemanfatan kekayaan alam sebagai mata pencaharian. Terlebih hampir tidak banyak pilihan pekerjaan Tomehipi. Warga umumnya berkerja sebagai petani, pegawai negeri atau pergi mendulang emas di desa tetangga, Bulili atau Bakekau.

Saat bertemu tim Usaha Ekonomi Solidaritas Institut Mosintuwu, Martince Baleona pada tanggal 23 Februari 2018, Rura menceitakan kendala yang tengah dihadapinya. Rura masih kesulitan terkait dengan pengembangan produk dan peningkatan keterampilan untuk menghasilkan anyaman yang lebih halus. Termasuk merancang motif-motif baru.

Selain itu, di tengah usahanya mengembangkan kerajinan rotan ini, Rura dan suaminya mulai kesulitan mendapatkan bahan baku rotan. Mereka berharap dibantu untuk menadapat jalan ke luar dari kesulitan tersebut.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda