Telusuri Budaya Peradaban Danau Poso : Cara Anak Muda Mengingat dan Jaga Warisan

0
3187

Saat itu pukul 09.20, Sabtu tanggal 24 Maret 2018. Matahari masih bersinar hangat di wilayah sekitar Danau Poso ketika sekitar 30 orang anak-anak muda dari desa-desa berperahu menyusuri danau. Beberapa diantaranya menggunakan siga dan tali bonto, simbol adat Poso yang melekat di kepala. Terdapat empat perahu berbagai ukuran menjadi alat transportasi mereka, tiga diantaranya menggunakan mesin sementara satunya didayung oleh tiga anak muda yang berani mengarung arus Danau. Mereka mengarah ke mulut Danau Poso bagian Utara. Sepanjang perjalanan, lagu-lagu daerah tentang Danau Poso dari Radio Mosintuwu terdengar lantang membuat perjalanan ini lebih hangat. Anak-anak muda dari Desa Panjo, Bancea, Salukaia, Dulumai, Peura dan Kelurahan Tegalrejo terlihat antusias mengikuti tur budaya Danau Poso yang diorganisir oleh Project Sophia Institut Mosintuwu.

Waya Masapi, menjadi tujuan awal penelusuran anak-anak muda yang rata-rata berusia 13 sampai 25 tahun ini. Waya Masapi atau Pagar Sogili adalah bangunan ditengah sungai yang disangga oleh tiang-tiang kayu dan bambu untuk menangkap Sidat atau Sogili. Teknologi ramah lingkungan ini sudah dikenal sejak 100 an tahun lalu oleh masyarakat pesisir danau. Keberadaan Waya Masapi kini terancam oleh sebuah proyek besar pengerukan sungai Poso yang rencananya akan dilakukan oleh sebuah perusahaan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) PT Poso Energi milik keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Di Waya Masapi mereka disambut dua penutur budaya, Papa Untung Kalengke dan Papa Gebi. Dua Waya Masapi menjadi tempat belajar mereka hari itu. Wajah sebagian dari anak muda terlihat tegang karena kuatir dengan kekuatan pagar dari bambu “ selamat datang, jangan ragu, tidak apa-apa, ini bisa untuk 15 orang sekaligus” sambut Ngkai Kalengke, salah satu pemilik Wayamasapi yang nampak siap dengan geso-geso, alat musik tradisional Poso di tangannya.

Menapakkan kaki di pagar Sogili adalah yang pertama kali bagi hampir semua anak muda yang hidup di sekitar Danau Poso “Saya sudah 25 tahun hanya melihat Danau Poso dari atas jembatan atau foto, ini pertama kalinya ada di dalamnya langsung” ujar Christian haru.

Sambil berdiri, beberapa duduk, mereka mendengarkan cerita Papa Untung dan Papa Gebi. Kedua sesepuh pendiri pagar Wayamasapi ini bertutur tentang teknologi budaya Waya Masapi yang dibangun berdasarkan pengalaman dan pengetahuan nenek moyang mereka. Pertimbangan utamanya adalah tidak mengganggu alam sekitarnya dan di dalam danau “Untuk menangkap sogili, alat yang dibuat dari pagar bambu, dan kurungan dari bambu yang ruas bambunya ada 9” cerita mereka

Baca Juga :  Ketika Bangun Lebih Pagi, Tidur Lebih Malam adalah Cara Berbagi dan Belajar

“Mengapa 9? bagaimana dengan anak-anak Sogili apa mereka juga ditangkap?” tanya seorang anak muda

“9 itu angka ganjil, karena yang genap hanya sang khalik” jawab Papa Gebi sambil tersenyum” bentuk alat penangkapnya tidak kecil tapi lobangnya besar sehingga hanya Sogili yang besar yang tidak bisa lolos”

Matahari terus naik, namun pertanyaan demi pertanyaan disertai kekaguman masih terus diungkapkan anak-anak muda. Kedua penutur budaya sabar dan ikut antusias melayani pertanyaan. Pagar Sogili, menurut mereka juga melambangkan kesatuan dan kerjasama karena pemilik satu pagar sogili bukan hanya satu keluarga tapi bisa 9 keluarga . Para keluarga ini bergantian menjaga pagar sogili. Para nelayan di Pagar Sogili ini juga belajar bagaimana saat Sidat atau Masapi ini bisa masuk sendiri ke dalam perangkap tanpa menggunakan umpan, yang menunjukan bahwa alam melalui Masapi “menghidupi” para nelayan.

“ada nelayan  Waya Masapi disini yang anaknya menjadi dokter dan dibiayai dari Waya Masapi, yang lainnya dapat gelar master” tutur Papa Gebi.

Diskusi antara para pemuda dengan para nelayan pagar Sogili yang berlangsung ceria, santai namun serius. Misalnya saat diskusi tengah berlangsung serius, Ibu Wilantowe yang ikut dalam tur ini nyeletuk, “sangat nikmat kalau torang bisa sambil bikin dui di sini dan ikannya masapi “. Lagu Wayamasapi dinyanyikan bersama-sama semua peserta tur budaya di lokasi Waya Masapi, beberapa orang tua yang ikut menyertai perjalanan tur nampak berkaca-kaca.

Meskipun beberapa masih ingin berdiam dan menikmati teknologi budaya yang diciptakan ratusan tahun lalu itu, perjalanan dengan perahu harus dilanjutkan kembali ke Jembatan Yondompamona.

Di jembatan Yondompamona, beberapa anak muda lain nampak menunggu dengan memutarkan lagu-lagu daerah tentang Danau Poso. Kedatangan rombongan anak muda dari pagar Sogili disambut dengan tepuk tangan dan pertanyaan penasaran bagaimana mereka menikmati suasana pagar Sogili . “Nanti mau rencana menginap semalam di Pagar Sogili” ujar seorang peserta

Sambil bersandar di dinding jembatan yang terbuat dari kayu , sebagian lagi duduk di tengah jembatan, mereka mendengarkan penuturan sejarah dari Nenek Bayona. Nenek Bayona duduk di bangku Sekolah Pendidikan Keguruan, saat jembatan Yondompamona dibangun. Ayahnya adalah kepala bas pekerjaan jembatan Yondompamona.

Baca Juga :  Sanggar Anak Lintuyadi: Ber-teater dan Healing Trauma

Dengan suaranya yang masih lantang, nenek berumur 65 tahun ini bercerita bagaimana gotong royong dilakukan bersama oleh seluruh masyarakat dari berbagai desa untuk membangun jembatan. Proses pembangunannya mulai dari penyediaan kayu hingga mengangkutnya dari hutan di pedalaman ke lokasi jembatan membutuhkan pengorbanan tidak sedikit dari orang-orang tua orang Pamona. Ada kesungguhan dan perjuangan keras hingga akhirnya jembatan bisa dilalui untuk memudahkan hubungan antara mereka yang tinggal diseberang.

“Ini yang bangun jembatan bukan hanya orang di sekitar Tentena, tapi dari desa-desa lain datang semua gotong royong disini” tutur Nenek Bayona “orang-orang Pamona Bare’e dari beberapa desa dipinggir danau sampai yang waktu itu masih pedalaman seperti Kamba, Kelei dan Taripa dan desa pinggir danau seperti Buyumpondoli sampai Bancea semua datang saling bantu”

Beberapa kali tepuk tangan menyertai penuturan Nenek Bayona yang menegaskan pentingnya menjaga sejarah dan makna jembatan Yondompamona. “Saya dan orang-orang di kampung Bancea sepakat supaya jembatan ini tidak dibongkar apapun alasannya, karena ini warisan untuk kitorang semua” ujar Tian

Dalam penuturannya dihadapan peserta tur budaya, sepuh Pamona, nenek Bayona mengatakan, pembangunan jembatan dilakukan atas kerjasama orang-orang Pamona Bare’e dari beberapa desa dipinggir danau hingga yang agak ke pedalaman seperti Kamba, Kelei dan Taripa dan desa pinggir danau seperti Buyumpondoli hingga Bancea. Dengan rasa haru, nenek Bayona juga menceritakan bahwa saat peresmian jembatan Yondompamona dilakukan dirinya menyanyikan lagu yang masih diingatnya sampai sekarang.

Suara Nenek Bayona masih jernih dan lantang ketika anak-anak muda memintanya menyanyikannya lagi. Semua peserta tur terharu mendengarkan syair demi syair dilantunkan bercerita tentang keindahan Yondompamona sebagai bukti kerjasama dan kerja keras orang-orang tua terdahulu.

Perjalanan budaya ini berakhir dengan lagu Yondompamona yang dinyanyikan bersama oleh semua peserta dipimpin oleh nenek Bayona. Rasa haru dan bangga mendapatkan identitas sebagai orang Poso dari penuturan para orang tua nampak masih menyertai semua peserta saat kembali ke Dodoha Mosintuwu menggunakan perahu.

“Sejarah dan makna dari sejarah yang diwariskan oleh orang-orang tua kita harus dijaga” tekad Aldi, seorang anak muda dari Desa Dulumai

Menjaga Warisan Peradaban Poso

Telusur budaya peradaban Danau Poso adalah yang pertama diadakan oleh Project Sophia Institut Mosintuwu untuk menjembatani narasi sejarah yang hampir hilang dari generasi muda.

Baca Juga :  Provokasi Kekerasan dan Ujian Solidaritas Kita

“Banyak kok dan sangat banyak anak muda yang mau mendengarkan dan belajar dari sejarah yang pernah ada dari orang-orang tua di Poso” ujar Yeni, koordinator Project Sophia” tapi memang tidak ada ruang untuk mempertemukan narasi itu sehingga kuatirnya tidak ada warisan sejarah yang diingat oleh generasi muda di Poso. Akibatnya? generasi kita kehilangan identitas dalam membangun sesuatu. Padahal kebudayaan adalah identitas kita ”

Apalagi diketahui bahwa PT Poso Energy dan Pemda Kabupaten Poso berencana melakukan pembongkaran jembatan Yondompamona dengan alasan merenovasi bentuknya, serta mengeruk Danau Poso untuk kepentingan menggerakkan turbin PLTA. Pengerukan Danau Poso rencananya akan dilakukan dengan kedalaman 4 meter, selebar 40 meter dengan panjang pengerukan 12,8 km. Aktivitas pengerukan akan menggunakan kapal keruk dan exavator sehingga Waya Masapi juga jembatan Yondompamona secara otomatis akan dibongkar.

Meskipun kemudian direncanakan setelah pembongkaran akan dibangun kembali jembatan yang lebih megah dan dibuatkan kembali pagar sogili oleh perusahaan, pemilik pagar Sogili Fredi Kalengke meragukan

“ Sudah sulit mendapatkan tiang-tiang kayu yang bisa dipancangkan ketengah sungai. Sebab setidaknya dibutuhkan kayu sepanjang 7 meter untuk membangun kerangka Waya Masapi. Jikapun harus dibangun dipinggir sungai, para nelayan sangsi Sogili bisa mereka dapatkan seperti sebelumnya” katanya.

Seperti kata Nenek Bayona “ anak-anak muda, kami orang-orang tua ini berharap kalianlah yang menjaga sejarah kita orang Poso, ini bukan sekedar jembatan tempat penyeberangan. Ini adalah jembatan yang menjadi simbol bersatu, bekerjasamanya orang-orang Poso”

Yeni menyebutkan telusur budaya ini adalah sebuah gerakan literasi di kabupaten Poso yang mengajak generasi muda, khususnya yang tinggal di sekitar danau Poso untuk menapaki kembali kebudayaan tana Poso yang mulai terlupakan. Pudarnya pengetahuan akan tradisi, kata Yeni, bisa jadi karena saat ini hampir tidak ada lagi yang menuturkannya kepada anak-anak mulai dari keluarga apalagi di sekolah.

Kedatangan anak-anak muda ke Waya Masapi merupakan salah satu langkah yang dilakukan untuk membangkitkan kembali semangat kebudayaan para pemuda Poso. Yeni mengatakan, dengan cara melihat langsung kekayaan budayanya maka mereka mengerti apa yang sebenarnya harus mereka perjuangkan dan mengapa harus memperjuangkannya.

Project Sophia Institut Mosintuwu sendiri, menurut Yeni, masih akan melanjutkan kegiatan telusur budaya ini dengan mengajak semakin banyak anak-anak muda berkomunikasi dengan para orang tua tentang peradaban yang kelak akan diwariskan buat mereka.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda