Mencicipi Rasa 40 Tahun Kukis Bagea

0
3411

Tangan-tangan itu berkerut menandakan usia yang tidak lagi muda. Namun gerakan tangan Mbah Tentram, 62 tahun masih lincah membolak balikkan kukis bagea di pemangangan. Tidak kalah cekatan, Ahmad Tamrin 69 tahun memasukkan kukis bagea yang baru keluar di pemanggangan ke dalam oven. Bau harum gula merah yang bercampur dengan adonan sagu yang sudah dibakar tercium ke hampir semua ruangan. Sekitar 20 menit kemudian, kukis bagea dikeluarkan dari oven, siap disajikan.

Selama 40 tahun, kegiatan yang sama terus menerus dilakukan keduanya. Kue olahan dari sagu ini adalah bukti kesetiaan keduanya pada kuliner khas desa di Poso. Bertempat di Kelurahan Tegalrejo, rumah kedua orang tua ini mudah ditemukan. Semua orang di kelurahan bahkan dari luar mengenal mereka sebagai pembuat kukis Bagea. Maklum, kesetiaan membuat kukis Bagea dikenal di seluruh Kabupaten Poso . Tidak heran kukis buatan mereka meskipun tanpa nama khusus mudah ditemukan di kios dan toko di sekitaran Tentena atau Kota Poso.

Mbah Tentram dan Ahmad tidak langsung mahir menghasilkan kue yang juga merupakan kue khas Maluku dan Palopo itu. Mbah Tentram menceritakan, awal tahun 1970 dia belajar membuat kue itu saat anak-anak mereka masih kecil. Berapa kali mereka mengalami kegagalan terutama soal rasa. Untuk berhasil membuat Bagea yang bisa dimakan dan terasa enak, beberapa kali mereka harus mengulang hingga 7 kali. Sagu dan gula merah didapatkan dari Desa Tombiano, Kecamatan Tojo Barat Kabupaten Tojo Una-una. Sementara, bahan lainnya seperti telur dan vanili dibeli di kios dekat rumah.

Baca Juga :  Menilik Rancangan Sempadan Danau Poso : Untuk Siapa?

“ Rahasianya tidak susah cuma memang harus tekun dan setia tidak ubah-ubah itu adonan” ujar Mbah Tentram saat ditanya resep rahasianya.

Rahasia lainnya, lanjut Mbah Tentram, sabut kelapa yang digunakan untuk memanggang haruslah dari kelapa yang belum kering betul . Ini akan membuat asap yang dihasilkan dari sabut kelapa memberikan aroma sekaligus menjaga agar Bagea yang dipanggang tidak langsung masak. Setelah dipanggang, Bagea akan dipanggang lagi di dalam oven.

Keduanya berbagi tugas dalam mengolah kukis Bagea. Mbah Tentram yang mengolah adonan, selanjutnya suaminya, Ahmad yang memanggangnya diatas oven yang berasap tebal dan membuat mata perih. Bagi yang belum terrbiasa, proses memanggang ini sangat berat, sebab mata pasti perih. Kecintaan pada Bagea membuat keduanya tetap meneruskan usaha ini. Bahkan bagi Mbah Tentram, merasa sakit kalau tidak membuatnya dalam seminggu. Bagi mbah Tentram membuat kukis Bagea menjadi terapi, karena itu akan tetap membuatnya meskipun pemasaran tidak selalu mudah saat ini.

Yang menarik, selama puluhan tahun menghasilkan bagea lezat, keluarga ini masih tetap hidup sederhana dan tetap menjadikan kue berwarna cokelat ini sebagai produk utama . Meskipun Bagea menjadi produk utama, keduanya mulai membuat produk lain yakni kacang telur, kacang bawang dan kripik pisang. Pesanan kue dan camilan yang mereka buat dijual di kios-kios maupun toko disekitar kota Poso hingga Tentena. Di Tentena, kue Bagea buatan mereka bisa didapatkan di Dodoha Mosintuwu.

Baca Juga :  Anak Muda Adat Poso : Tolak Nama Yondo mPamona di Jembatan Poso Energy

Pesanan menjadi lebih banyak dari hari biasanya saat hari-hari raya keagamaan baik Islam maupun Kristen.

“Untuk penjualan memang tidak menentu kadang untuk kios-kios saja, kadang ada juga yang pesan. Yang biasanya pesan karena sudah bertahun tahun buat ini jadi kenalan sudah banyak, tapi itulah tidak rutin. Nanti ada kegiatan mereka baru pesan tapi dalam seminggu pasti ada walau hanya 1 toples” cerita mbah Tentram

Dari hasil penjualan Bagea, anak-anak mbah Tentram bisa mendapatkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Anak-anak mereka juga ikut belajar membuat kue Bagea

“Ini warisan keluarga yang kami akan jaga” kata anak Mbak Tentram.

Kehadiran kue maupun cemilan baru terutama berbahan cokelat dan krim memang membuat pemasaran kue ini mendapat tantangan serius. Namun mbah Tentram dan suaminya memiliki keyakinan, Bagea akan selalu mendapat tempat dihati orang-orang Poso.

Program Usaha Desa Institut Mosintuwu memberikan dukungan pada usaha kecil yang dikembangkan oleh Mbah Tentram. Memberikan penamaan dan label dengan kemasan khusus untuk kukis Bagea buatan Mbah Tentram dan Ahmad adalah salah satu bentuk dukungannya . “Kita akan membantu melakukan kampanye lebih luas sehingga usaha seperti ini bisa menjadi salah satu ciri khas ole-ole di Poso” ujar Martince Baleona, koordinator Usaha Desa Institut Mosintuwu

Baca Juga :  Rekomendasi Kongres Perempuan Poso : Partisipasi Politik Perempuan

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda