Namanya Komang, berusia 17 tahun saat kami kunjungi. Hari itu kami menjumpainya di rumahnya yang sederhana di Desa Leboni. Matanya yang sering bergerak kesana kemari nampak bersinar lebih fokus saat melihat buku-buku yang dibawa. Tangganya bergerak antusias, membuka salah satu buku komik . Di bawah lampu bohlam yang temaram, Komang terlihat kesulitan membaca sehingga hanya membolak balik gambar-gambar yang ada.
“Ada pensil warna di dalam tas, Komang” kata Cici, koordinator Sekolah Pembaharu Mosintuwu. “mana, mana?” Komang menyambut antusias dan segera membongkar satu tas lainnya. Menarik meja kayu dari ruangan lainnya, meletakkan buku gambar kosong dan mulai menggambar.
“Mau gambar kakak lagi jaga adik” jawabnya ketika ditanya, lalu kembali sibuk menggambar. 30 menit berlalu, Komang menyelesaikan gambar pertamannya. Bulatan-bulatan tidak beraturan dan garis-garis lurus yang terletak berdampingan dengan bulatan-bulatan besar dan kecil terlihat di keseluruhan kertas putih. Komang menjelaskan satu persatu, bulatan pertama yang agak besar adalah kakaknya. Bulatan kedua yang agak kecil adalah adik , satu garisan yang menumpuk dicoret berulang-ulang disebutnya sebagai jalan dan tanaman. Masih ada beberapa bulatan lainnya yang dengan antusias diceritakan Komang sebagai orang tua dan teman-temannya.
“Ini Ari” tunjuk Komang pada bulatan kecil-kecil. Orang tua Komang menjelaskan bahwa Ari adalah teman bermain Komang yang paling dekat. Teman-teman Komang berumur 10 – 12 tahun.
Berteman dengan anak-anak di usianya, Komang sering disebut-sebut oleh masyarakat di sekitarnya mempunyai keterbelakangan mental. Komang sudah lama tidak bersekolah karena kedua orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya. Komang juga jarang memiliki teman bermain karena keistimewaannya, sebaliknya seringkali mendapatkan pandangan kasihan atau melecehkan dirinya. Akhirnya, Komang tidak punya cara lain untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuannya yang unik.
Project Sophia, perpustakaan keliling yang dikelola oleh Institut Mosintuwu satu-satunya yang memberikan akses untuknya membaca dan bermain bersama lebih banyak teman-teman sekampungnya. Kotak-kotak buku yang dibawa oleh Project Sophia, menjadi satu-satunya tempat Komang menemukan dan mengekspresikan. Seringkali dianggap sebelah mata karena keistimewaan yang dimilikinya, Komang menemukan tempat dan teman bermain di Project Sophia sejak kunjungan pertama.
Di Project Sophia, Komang punya banyak teman baru. Ari misalnya “ Komang bagus sekali kalau bermain” Komang ternyata adalah anak yang asyik diajak bermain. Bagi Komang, teman-temannya tidak lagi melihat dirinya aneh. Mereka berbaur bersama, di Project Sophia. Seringkali dianggap sebelah mata karena keistimewaan yang dimilikinya, Komang menemukan tempat dan teman bermain di Project Sophia sejak kunjungan pertama.
Buku-buku di Project Sophia bukan hanya memberikan akses bermain dan bersahabat, seperti yang Komang rasakan, atau seperti banyak anak-anak dari berbagai latar belakang agama lainnya bertemu pertama kalinya pasca konflik Poso di Project Sophia.
Jika Project Sophia mengunjungi desanya, Komang paling antusias mengumpulkan teman-teman untuk membaca buku. Awalnya hanya melihat gambar, sesekali Komang bertanya pada teman-temannya apa arti tulisan di bawah gambar. Komang memang belum bisa membaca. Teman-temannya tidak ragu-ragu menjelaskan pada Komang bahkan beberapa berebutan menjelaskan pada Komang atau membacakannya.
“Saya suka ini” tunjuk Komang suatu saat pada gambar burung di udara. “Ini burung apa? kenapa warnanya begini” Setelah mendengar penjelasan temannya, Komang berdiri dan menirukan gerakan burung “ saya terbang, saya terbang…”
Lihat, buku bisa membuatnya terbang berimajinasi , bisik orang tua murid lainnya saat melihat Komang.
Perpustakaan Sophia, Baca dan Terbanglah Raih Mimpi
Terletak di sebuah rumah bambu Dodoha Mosintuwu yang juga merupakan kantor Institut Mosintuwu, perpustakaan Sophia, memberikan perhatian khusus pada akses buku bagi anak-anak. Saat ini terdapat 1000-an buku untuk anak-anak yang merupakan sumbangan dari masyarakat. Sebagian buku-buku yang ada di bangunan berbentuk setengah lingkaran bola dunia ini, berkeliling desa-desa menjumpai anak-anak melalui program perpustakaan keliling.
Perpustakaan keliling mengunjungi desa-desa sebanyak empat kali dalam satu desa untuk memberikan ruang pengetahuan alternative yang selama ini tidak dimiliki anak-anak di tempat lain. Buku-buku yang dibawa dalam kotak-kotak kardus ini kemudian disebut kotak-kotak ajaib.
“Setelah empat kali kunjungan, kita akan menerapkan Kampung Literasi Anak” jelas Yeni, koordinator Project Sophia” Setiap desa bisa memiliki buku-buku sebanyak 50 buah yang diberikan setiap bulannya dan diganti setiap bulan dengan buku baru
” Yang mengorganisir anak-anak membaca buku adalah anak-anak sendiri. Mereka saling memanggil jika sudah ada buku baru tiba di desa mereka. Orang tua perempuan yang bergabung di Sekolah Perempuan Mosintuwu ikut membantu mengajak lebih banyak anak-anak” lanjutnya
Saat ini, Project Sophia sudah mengelilingi 50 desa di Kabupaten Poso. Bukan hanya memberikan akses bagi buku, sebelum aktivitas di Project Sophia, terdapat aktivitas bermain bersama yang mengakrabkan anak-anak dan ketrampilan khusus membuat origami. Setelah bermain dan melatih ketrampilan dengan membuat berbagai jenis origami, anak-anak menyerbu deretan buku-buku yang sudah dipajang.
Beberapa anak tidak hanya membaca satu buku, dua hingga tiga buku dipegang sekaligus “mau baca semua” kata Dini, salah satu anak di Desa Peura. Interaksi antar anak tidak hanya terbangun saat bermain tetapi juga saat membaca. Dini, yang membawa adiknya yang tidak terlalu lancar membaca, penuh kesabaran membacakan cerita buat adiknya. Segerombolan anak perempuan dan laki-laki nampak membaca bersama satu buku jika buku-buku yang dibawa tidak cukup. Seru. Tidak ada kata bosan, sebaliknya setiap saat anak-anak merindukan untuk dikunjungi kotak ajaib. Mereka yang bergabung dalam aktivitas berbagi buku dipercayai seperti pemintal yang merajut kain menjadi benang untuk menjadi pembungkus tubuh.
Menyambut hari buku anak se-dunia dan hari anak autis yang jatuh pada tanggal 2 April, tepatlah merayakan bersama anak-anak dengan buku. Di Project Sophia, motto To read is to Fly, atau membacalah untuk terbang / berimajinasi, menggambarkan semangat anak-anak dalam dunia buku yang bisa membuka cakrawala pikiran, pengetahuan bahkan pengalaman mereka.