“Kami punya ide, punya usulan program, tapi tidak pernah ada ruang untuk didengarkan” Eda, warga Desa Patiwunga mengeluhkan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di desanya.
“Kami punya rencana dan sudah mengatur siapa yang bisa mengerjakan apa. Bahkan kami merencanakannya hingga pada anggaran” tambah Marlis, warga lainnya.
Keluhan para perempuan dari berbagai desa tentang Musrenbang bermunculan seiring dengan pelaksanaan Musrenbang di 142 desa di Kabupaten Poso. Musrenbang yang seharusnya menjadi sarana pemerintah desa dengan masyarakatnya bertukar pikiran, menggali gagasan, masih dilaksanakan untuk kebutuhan formal saja. Akibatnya proses penggalian gagasan dari masyarakat tidak pernah terjadi. Padahal, Musrenbang menentukan masa depan pembangunan di desa.
Marlis, salah seorang warga desa Patiwunga mengatakan, dalam rapat musyawarah desa, yang diundang sebagian besar laki-laki. Itupun kesan terburu-buru . Tidak ada diskusi tentang akar kebutuhan di dalam desa. Yang ada, hanya usulan yang sudah disusun terlebih dahulu oleh pemerintah desa. Itupun, warga dibatasi dalam mempertanyakan program yang sudah disusun oleh pemerintah desa.
“Bayangkan, pertanyaan dibatasi sehingga saran, usulan dan ide sulit mau diungkapkan. Bukan itu saja, pemerintah desa langsung membentuk tim pengelola kegiatan (TPK) desa tanpa melibatkan masyarakat. Tidak ada diskusi berdasarkan keahlian dan kebutuhan masyarakat. Pemerintah desa langsung main tunuuk tim pengelola kegiatan” ujarnya.
Seharusnya, kata Eda, musyawarah desa itu dimulai dari musyawarah tingkat dusun sesuai dengan peraturan pelaksanaan Musrenbang lalu bertahap hingga pada musyawarah desa. “ Tidak ada penggalian gagasan dari tingkat dusun, tapi langsung dilaksanakan di tingkat desa”
Dalam Musyawarah Desa Patiwunga yang baru-baru ini dilaksanakan, masyarakat yang hadir hanya sekitar 50 orang dari jumlah 600 kepala keluarga yang ada di desa itu. Kesan kurang partisipatif itu berimbas pada program kerja yang dihasilkan dimana pembangunan sarana fisik menjadi paling dominan, sementara pemberdayaan minim sekali. Pelibatan suara perempuan dalam perencanaan desa menjadi penting bukan hanya karena mereka menjadi bagian dari kelompok masyarakat tetapi juga karena suara perempuan bisa mengakomodir kebutuhan masyarakat yang bukan sekedar pembangunan fisik.
Di Desa Patiwunga, sayangnya suara perempuan sangat sering diabaikan untuk menentukan rencana pembangunan. Ibu Marlis mengatakan, yang ada hanya anggaran untuk PKK. Dia berharap, kedepan Musrenbang dilaksanakan berjenjang sesuai aturan dan mengakomodir usulan-usulan yang disampaikan oleh perempuan di desa, sehingga program pemerintah desa tidak semata-mata hanya urusan proyek-proyek fisik yang rawan di korupsi.
Mengenai dominannya usulan proyek pembangunan fisik dalam Musrenbang juga sudah disampaikan oleh kepala Bapelitbangda, dulunya Bappeda, Suratno Teguh. Menurut dia, usulan pembangunan proyek fisik dikarenakan masih banykanya kebutuhan infrastruktur seperti peningkatan jalan kantong produksi dan jembatan.
Namun seperti dikatakan ibu Marlis, usulan pembangunan yang tidak mendengarkan usulan-usulan yang disampaikan perempuan sejak di desa ujungnya pasti pembangunan fisik berbentuk proyek. Jika sebagian besar alokasi anggaran di desa ditumpahkan di pembangunan fisik, masyarakat justru tidak akan mendapatkan manfaat secara langsung, sebab uang yang berasal dari dana desa misalnya, mengalirnya ke luar desa, kepada perusahaan-perusahaan yang menyediakan material seperti semen, besi dan pasir, sementara jika program pemberdayaan dilakukan maka lebih banyak masyarakat yang menikmatinya.
Diam-diam dan terburu-buru, hasil Musrenbang tidak diketahui
Bukan hanya tidak melibatkan masyarakat, Musrenbang juga dilaksanakan terburu-buru bahkan terkesan diam-diam. Hal ini antara lain terjadi di Desa Kilo, Kecamatan Poso Pesisir Utara.
Margaretha Tandi warga desa Kilo yang juga kepala dusun mengatakan, kesan terburu-buru bisa dilihat ketika Musrenbang desa dilaksanakan pada tanggal 19 Maret 2018 lalu. Mereka yang hadir hanya 37 orang, diantaranya 10 orang perempuan, lalu hanya diberikan kesempatan berkelompok menurut dusun, lalu disiapkan kertas untuk menuliskan usulan masing-masing dusun. Setelah selesai, kertas itu dikumpulkan dan tidak lagi dibahas bersama-sama dalam forum. Karena tidak dibahas bersama dalam forum terbuka itu, hasil diskusi di dusun tidak diketahui oleh dusun lain, apalagi masyarakat desa.
“Tahun-tahun sebelumnya, sebelum musyawarah desa, terlebih dahulu dilaksanakan musrenbang tingkat dusun. Tapi tahun ini tidak dilaksanakan, menurut perangkat desa musrenbang desa ini mendadak dilaksanakan karena pihak kecamatan sudah mau melaksanakan musrenbang kecamatan”kata ibu Margaretha.
Selain tidak terinformasikan kepada masyarakat soal Musrenbang, informasi tentang hasil Musrenbang juga sangat jarang diketahui oleh masyarakat. Ketika ditanyakan apakah ada tindak lanjut dari hasil musrenbang yang mereka bahas di desa? pengalaman ibu Margaretha mengatakan, masyarakat tidak mengetahui kalau usulan-usulan yang disampaikan ditindaklanjuti dalam bentuk turunnya program dari pemerintah kabupaten maupun desa.
Margareta, Marlis, dan Eda adalah beberapa perempuan di desa yang sudah mengenal pentingnya partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan. Mengikuti kelas sekolah perempuan Mosintuwu, mereka belajar tentang pembuatan RPJMDes ( rencana pembangunan jangka menengah desa ) dan APBDes ( Anggaran pendapatan dan belanja desa ). Bukan hanya itu, sekitar 200 anggota sekolah perempuan lainnya dibekali dengan pengetahuan tentang analisis sosial sehingga bisa merancang pembangunan di desa sesuai kebutuhan masyarakat. Sayangnya pengetahuan dan ketrampilan mereka bukan cuma diabaikan tapi tidak dianggap penting.
“Kami punya usulan untuk mengembangkan usaha desa seperti VCO , minyak kelapa murni. Ini bukan hanya karena mampu mendorong ekonomi masyarakat khususnya perempuan tapi juga bisa menjaga kebun-kebun kelapa dna menciptakan lapangan pekerjaan. Itupun tidak ada kepastian apakah bisa dapat prioritas dari desa” keluh Margareta
Sebagaimana desa lainnya, pemerintah desa Kilo masih memprioritaskan anggaran untuk proyek infrastruktur saja. Pilihan pada program fisik memang menjadi primadona para petinggi desa, sebab selain mudah, penyerapan anggaran juga besar
Mengenai dominannya usulan proyek pembangunan fisik dalam Musrenbang juga sudah disampaikan oleh kepala Bapelitbangda, dulunya Bappeda, Suratno Teguh. Menurut dia, usulan pembangunan proyek fisik dikarenakan masih banykanya kebutuhan infrastruktur seperti peningkatan jalan kantong produksi dan jembatan.
Namun seperti dikatakan ibu Marlis, usulan pembangunan yang tidak mendengarkan usulan-usulan yang disampaikan perempuan sejak di desa ujungnya pasti pembangunan fisik berbentuk proyek. Jika sebagian besar alokasi anggaran di desa ditumpahkan di pembangunan fisik, masyarakat justru tidak akan mendapatkan manfaat secara langsung, sebab uang yang berasal dari dana desa misalnya, mengalirnya ke luar desa, kepada perusahaan-perusahaan yang menyediakan material seperti semen, besi dan pasir, sementara jika program pemberdayaan dilakukan maka lebih banyak masyarakat yang menikmatinya.